Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT ANCAMAN YANG SEMPURNA

Status
Please reply by conversation.
Nunggu update dan TS sembih dari jetlag
 
sepertinya para wanita bersatu mengorbankan apapun buat bebasin Ridwan... termasuk diantara siap memberi kenikmatan buat sang pelapor.. diantos ahh mangga
 
BAGIAN XV

***

Di sebuah ruangan khusus di ruang tahanan. Ridwan duduk berhadap-hadapan dengan Donny, suami Soraya yang menjadi pengacara.

“Tuduhan yang berat, Mas Ridwan,” ujar Donny menghela napas dalam, menatap Ridwan sambil menggeleng-gelengkan kepalannya.

“Tt-tapi..., tapi saya tidak mungkin membunuh bapak saya sendiri, Pak Donny,” sahut Ridwan dengan wajah pucat.

Donny tak menjawab, ia mengambil sesuatu dari tasnya. Beberapa buah berkas potocopi, didorongnya ke depan Ridwan.

“Barang bukti tak terbantahkan dari korban, Mas,” katanya.

Ridwan menunduk mengamati kertas-kertas tersebut.

Fotocopi dari selembar kertas yang sudah diperbesar yang berisi sebaris kalimat pendek yang sekilas seperti coretan tak karuan dari seorang anak kecil yang baru menulis, serta printout sebuah foto pensil yang ujungnya gepeng.

‘RIDWAN BUNUH AKU!’

Begitu bunyi dari kalimat pendek tersebut.

Sesak sekali napas Ridwan membaca bunyi kalimat tersebut.

“Tapi..., tapi bapak kan sudah lumpuh, Pak Donny. Bb-bagaimana mungkin....”

Donny mengangguk, namun ia menunjuk ke kertas satunya lagi yang berambar sebuah poto pinsil gepeng.

“Bapak Mas Ridwan menulis kata-kata tersebut memakai mulutnya. Coba lihat bekas gigitan dari ujung pinsilnya.”

Ridwan menggigit bibirnya, “Saya bersumpah, Pak Donny. A-apa untungnya saya membunuh bapak saya sendiri.”

Donny menggeleng-gelengkan kepala, “Sumpah saja tidak cukup untuk membebaskan Mas Ridwan dari tuduhan, Mas. Kita perlu alibi, saya perlu menggali fakta sesungguhnya agar bisa dipakai melawan tuduhan di persidangan nanti. Dan semua itu harus saya dapat untuk menolong Mas Ridwan tidak sampai dihukum oleh negara.”

“Bb-bagaimana caranya?” tanya Ridwan dengan penuh harap.

“Mas Ridwan katakan sejujurnya kronologis dari malam itu kepada saya. Mungkin saya bisa menemukan sesuatu yang bisa saya pakai untuk sedikitnya menanggguhkan penahanan Mas Ridwan,” sahut Donny santai.

Ridwan terhenyak. Menatap wajah tampan tetangganya itu dengan perasaan bersalah.

Bagaimana mungkin ia bisa bicara jujur tentang malam itu kepada Donny? Apa ia harus blak-blakan bahwa semalam ia telah berselingkuh dengan istri Pengacara itu? Lalu dalam sisa malam tersebut ia bercinta juga dengan ibunya sendiri? Gila! Kalau semuanya itu ia ceritakan saat ini, mungkin tak perlu menunggu besok, sekarang juga ia akan dihukum gantung tanpa persidangan!

Terpaksa ia harus berbohong.
Akhirnya, dengan dengan terbata-bata Ridwan menceritakan bahwa malam itu ia meronda di depan rumahnya, demi menjaga rumah Donny dan Soraya yang khawatir bahwa penjahat yang mencoba memerkosa Soraya beberapa waktu yang dulu kembali ke rumah, ketika mengatahui Donny tidak sedang berada di rumah.

Donny dengan cermat menulis setiap kalimat yang dianggapnya penting dari yang diucapkan Ridwan dan sesekali ia memotong untuk menanyakan pukul berapa-berapanya setiap tindakan Ridwan tersebut.

“Maaf, Mas. Sebelumnya punya dugaan tidak kepada Bu Maya, ibu Mas. Bahwa beliau bosan mengurus bapak, atau pernah melihat tindakan tidak seperti biasanya dari Bu Maya kepada Almarhum bapak?” tanya Donny kemudian.

“Maksudnya?” Ridwan menatap tidak mengerti.

“Barangkali ibunya Mas Ridwan pernah marah-marah, berkata-kata kasar kepada Bapak?”
Ridwan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat, “Tidak! Ibu selalu merawat bapak tanpa mengeluh, Pak Donny. Tidak mungkin....!”

Donny mengangguk-angguk.

“Baiklah, Mas Ridwan. Hari ini cukup, apabila Mas Ridwan teringat sesuatu yang terlewat pada keterangan hari ini, harap dicatat dalam ingatan Mas untuk dikatakan lagi ke saya, oxe?”

Ridwan mengangguk lesu, “Saya bisa bebas, Pak Donny? Saya berani bersumpah bahwa saya tidak membunuh bapak saya sendiri!”

“Sabarrr, saya akan berusaha sekuat tenaga untuk membantu Mas Ridwan, asal Mas Ridwan sendiri membantu saya untuk menguraikan misteri kematian bapak Mas, oxe?”

“Tapi kami tidak punya uang untuk membayar ongkos Pak Donny. Kk-kami orang miskin, Pak,” kata Ridwan menundukkan kepalanya.

“Tidak usah dipikirkan. Kita sebagai tetangga sudah sewajarnya saling membantu, apalagi Mas Ridwan pernah membantu istri saya dari tindak percobaan pemerkosaan, sudah sewajibnya saya membalas budi,” sahut Donny sambil menepuk-nepuk bahu Ridwan yang mencelos hatinya.
Betapa baiknya tetangganya ini, namun apa yang ia perbuat untuk kebaikan Donny? Malah ia terbuai rayuan Soraya dan melakukan hubungan terlarang dengan istri dari pengacara yang tampan dan baik ini. Terkutuklah kau, Ridwan. Desis hati pemuda itu dengan hati pedih.

Ridwan kembali diantarkan ke tahanan tanpa diijinkan bertemu dengan Bu Maya yang menunggu di depan. Karena memang bukan jadwalnya besuk. Sementara Donny yang sudah ditunjuk menjadi kuasa hukum Ridwan sebagai terdakwa, tentu mempunyai ijin khusus untuk menemui Ridwan.

Keluar dari ruang interogasi, Donny disambut oleh tiga orang perempuan, Soraya, istrinya Donny, Bu Maya juga Alexa, putri dari Koh Ahong, bos bengkel tempat Ridwan bekerja.

“Bagaimana, Pah?” tanya Soraya menyambut kedatangan Donny.

Soraya lah memang yang pertama-tama meminta suaminya untuk menjadi pengacara Ridwan. Donny yang tengah bertugas di luar kota dipaksa untuk pulang oleh Soraya.

“Kita harus menggali fakta, juga Mas Ridwan harus mempunyai alibi malam itu tidak berada di rumah. Alibi itu sendiri harus dikuatkan oleh saksi. Semisalnya, Mas Ridwan katanya diminta kamu untuk menjaga rumah kita pada malam itu, kita harus bisa menguatkan alibi itu dengan fakta bahwa sepanjang malam itu, kamu menyaksikan Mas Ridwan ada di dalam rumah kita tanpa sempat ke luar rumah,” sahut Donny sambil berjalan ke tempat parkir diikuti oleh ke tiga perempuan tersebut.

Langkah Soraya agak terhenti mendengar perkataan suaminya itu, dengan hati tercekat tanpa sadar dia menoleh kepada Bu Maya yang juga sedang menatapnya dengan tatapan aneh.

“Oh ya, Bu Maya,” tiba-tiba Donny berbalik. “Demi menyelamatkan Mas Ridwan, ibu sebagai keluarga satu-satunya dari almarhum, saya mau meminta ijin khusus dari ibu, nanti saya mau mengajukan autopis kepada almarhum, mencari fakta bahwa almarhum meninggal bukan karena kekerasan. Bagaimana bu?”

“Tt-terserah, Pak Donny. Ibu mengikuti saja, asal Ridwan bisa bebas. Ibu berani bersumpah bahwa Ridwan samasekali tidak membunuh bapaknya!” sahut Bu Maya dengan sedih.
“Baiklah, nanti saya siapkan berkasnya. Dan..., Mbak Alexa mau bareng kami?” tanya Donny kepada perempuan muda yang sejak dari tadi hanya diam.

Alexa menggeleng sambil tersenyum, “Tidak, Pak Donny. Saya bawa mobil sendiri, kalau boleh saya tanya, bisakah kita memberikan uang jaminan agar Mas Ridwan bisa bebas sementara sambil menunggu proses persidangan nanti?”

Donny termenung sejenak.

“Bisa saja sih. Cuma ini kasus pembunuhan, beda dengan kasus pidana lain, kalau pun bisa, uang tebusannya juga sangat mahal. Belum lagi prosesnya yang berbelit-belit....”

“Uang bisa saya siapkan, Pak Donny. Asal Mas Ridwan bisa bebas!” potong Alexa dengan suara mantap.

Tiga pasang mata penuh rasa ingin tahu, menatap wajah putih mulus itu yang langsung merona kemerah-merahan.

“Mas Ridwan pernah menyelamatkan nyawa saya, Pak Donny. Saya yakin dengan hatinya yang baik, tidak mungkin Mas Ridwan mempunyai niat jahat kepada bapaknya sendiri!” ujar Alexa dengan hati-hati.

Donny manggut-manggut mengerti.

“Oxe, nanti saya akan coba usahakan!”

Mendadak Bu Maya meraih tangan Alexa dengan mata berlinang-linang.

“Ibu sangat berterima kasih banyak atas bantuan, Mbak Alexa. Ibu tidak punya apa-apa untuk membalas kebaikan Mbak,” katanya.
“Tidak usah dipikirkan, Bu. Saya akan bantu semampu saya agar Mas Ridwan bisa bebas kembali dan berkumpul kembali dengan kita semua,” sahut Alexa lembut, mengelus-elus tangan ibunya Ridwan itu.


*

Sepi.
Maya merasakan kesepian yang teramat sangat di rumah kontrakannya. Ketika malam mulai merayap menuju ke puncak kegelapannya, satu per satu, para tetangganya yang menemani seusai tahlilan, berpamitan pulang ke rumahnya masing-masing. Soraya sempat menawari Maya untuk menginap di rumahnya yang ditolaknya dengan halus.

Berbaring di kamar Ridwan, Maya sama sekali tidak bisa tidur. Yang bisa ia lakukan hanya terisak-isak, mengingat nasib hidupnya yang menyedihkan. Suami meninggal dan anak yang dicintainya dipenjara dengan tuduhan telah membunuh bapaknya. Ia tak habis mengerti, Rudi, almarhum suaminya dalam keadaan lumpuh total, namun menurut Donny, suami Soraya yang menjadi pengacara anaknya, ada robekan kertas yang berisi tuduhan bahwa Ridwan lah yang membunuh suaminya itu, kertas itu didapat oleh Pak RT Kosim dari genggaman erat tangan Rudi saat hendak memandikan jenazahnya.

“Ridwan? Mana mungkin?” hatinya bertanya-tanya. Bukankah Ridwan tak pernah masuk ke dalam kamar bapaknya.

Di saat pikirannya sedang berkecamuk. Ia seperti mendengar sesuatu di ruang depan. Seperti mendengar derit pintu yang terbuka perlahan-lahan.

Maya merasakan tengkuknya merinding. Bukannya bangun, ia malah makin meringkuk dengan hati berdebar-debar. ia seperti mendengar langkah lembut yang perlahan-lahan. Dan...;

Ada bayangan sesosok tubuh yang tengah berdiri di depan kamarnya, bayangan dari sorot cahaya lampu ruangan tengah yang tercetak di tirai kamar!
Dan sosok tersebut secepat kilat kini telah berada di dalam kamarnya!

Maya segera menyadari sosok itu bukanlah hantu, melainkan sosok seorang manusia yang masuk ke dalam rumahnya tanpa permisi. Dan ia mengenal sosok tersebut yang bukan lain adalah...;

“P-pak..., Hendi?”

Hanya itu yang sanggup diucapkannya sebelum sosok itu menerjang ke atas tempat tidur, membekapnya tanpa Maya sempat bangkit.

Maya meronta-ronta hebat sebelum merasakan sebilah benda dingin dan tajam telah mengancam lehernya yang putih.

“Diam! Atau lu ingin menyusul laki lu ke alam baka!” dengus sosok yang kini telah menindihnya itu.

Maya sontak terdiam, wajahnya pucat pasi dengan mata masih berlinang air mata penuh ketakutan.

“Mmfftth,” hanya suara itu yang bisa keluar dari mulutnya yang dibekap erat-erat.

Maya merasakan pipinya dicium dan dijilat.
“Gue menyukai elu, May. Cuma lu jual mahal, ini jalan satu-satunya agar gue bisa kembali merasakan kehangatan tubuh lu yang seksi montok ini. Jadi diamlah, sebelum gue gelap mata menggorok elu!” ancam sosok itu yang memang bukan lain adalah Hendi, satpam konveksi yang memang tergila-gila kepada Maya. Mulut Hendi berbau alkohol saat berbisik di telinga Maya, “Bekapan gue bakal gue lepas asal lu janji ga tereak, sekali terak, mati! Paham?”

Tubuh Maya menggigil ketakutan. Tak ada jalan lain selain ia mengangguk.

“Nah, begitu. Kan kita sama-sama enak!” kekeh Hendi melepas bekapannya. Menatap penuh napsu kepada Maya yang sedang ditindihnya di atas pembaringan.

“Bret! Bret!”
Saking tidak sabarannya, Hendi sudah tak mau lagi membuka kancing baju daster yang dipakai Maya, ia langsung menariknya sehingga kancing-kancing daster tersebut terlepas.

Sepasang bukit montok nan padat, membusung dan menangtang. Liur Hendi sampai menetes saking tergiurnya dengan pemandangan tersebut. Setelah pisau yang tadi dipakai mengancam Maya dilemparkan begitu saja ke lantai kamar, Wajahnya segera dibenamkan dibelahan payudara tersebut, mencucup, menggigit dan menjilat.
Maya yang tahu bahwa ia sudah terbebas dari ancaman pisau, segera memberontak dari tindihan Hendi. Hampir saja ia bisa melepaskan diri ketika Hendi terguling ke sisi ranjang. Namun ketika Maya hendak kabur, disertai geraman pendek, Hendi melompat dan merangkul tubuh montok tersebut. Sambil telapak tangannya kembali membekap mulut Maya, khawatir perempuan itu berteriak.

Ke dua tubuh mereka kembali terjatuh di atas ranjang yang menderit keras. Ke duanya bergumul, sebelum Hendi yang menang tenaga telah kembali menindih tubuh Maya.

“Pingin mampus lu ya! Pingin mampus lu ya!” geram Hendi berulang-ulang dengan napas terengah-engah. Matanya melotot merah.

Namun mendadak tubuhnya tertarik ke atas dengan kepala terdongak. Mukanya mengerenyit kesakitan ketika rambutnya serasa ditarik seseorang.

“Buk!” sebuah hantaman bogem mentah, telak menumbuk kupingnya yang langsung terasa pengang.
“Akh!” seru Hendi ngeri, ketika tubuh gempalnya seakan diangkat tenaga raksasa, melayang lalu jatuh ke atas lantai kamar.

“Bajingan! Beraninya sama perempuan lu!” geram satu sosok lain sambil mendaratkan tendangan ke arah perut Hendi yang tengah berusaha bangun.

“Buk!”
Kembali tubuh Hendi terguling.

Saat sosok itu hendak menendang kembali, tanpa disangka Hendi yang berguling segera kabur dengan kecepatan mengagumkan. Sosok yang baru datang menolong Maya mengejar sampai ke luar rumah. Namun Hendi telah tinggal bayangannya jauh berlari menyusuri gang ke arah jalan raya.

Sosok itu kembali masuk ke dalam rumah, hendak memastikan Maya tidak kenapa-napa. Saat berada di dalam rumah kebetulan Maya telah berdiri di depan kamar dengan tubuh gemetar dan wajah pucat.

“Tante nggak kenapa-napa?” sapa sosok itu dengan wajah khawatir.

“Ss-Sobari?” seru Maya dengan wajah kaget.

Sosok itu ternyata benar Sobari adanya. Tersenyum sedikit nakal melihat Maya berdiri dengan daster yang terobek dibagian dadanya, memperlihatkan sepasang payudara padat yang menggantung montok.

“Kk-kamu mau..., mau apa?” tanya Maya sibuk membenahi dasternya, menyembunyikan payudaranya dari tatapan nakal Sobari.
“Lho, kalo nggak ada saya barusan, apa jadinya tadi di kamar? Atau saya udah ngeganggu keasyikan tante?”

“B-bukan begitu, tapi..., n-namun, .... tt-terima kasih,” sahut Maya kebingungan. Entah harus bersyukur atau menyesal. Ia seperti pelanduk yang lepas dari mulut buaya masuk ke mulut harimau. Karena ia tahu benar kenapa Sobari sampai malam-malam bisa masuk ke rumahnya. Yang tentulah ada kemauannya.

Memang betul. Sobari memang sengaja datang ke rumah kontrakan Maya malam-malam dengan harapan bisa menyalurkan hasrat birahinya kepada perempuan pujaannya itu, karena tahu semenjak Ridwan ditahan di kantor polisi dengan tuduhan pembunuhan, tentulah di rumah itu tinggal Maya sendirian. Dia berharap bisa merayu Maya agar bisa jatuh ke pelukannya dan melayani hasratnya dengan penuh kepatuhan tanpa paksaan dan ancaman.

Hanya sayang, malam itu Sobari keduluan oleh Hendi yang memiliki keinginan yang sama dengannya. Dengan dibantu Rohmat, Hendi membobol kunci pintu rumah kontrakan Maya dan berhasil masuk.

Sobari yang datang belakangan, terheran-heran mendapati pintu rumah sedikit terbuka akibat keteledoran dari Hendi, karena Rohmat, temannya telah pergi ke rumah kontrakan Hendi hendak bermesraan dengan istri temannya itu sesuai perjanjian mereka. Yang kejadian selanjutnya seperti yang sudah diceritakan di atas.

“T-ttante mohon, Ri. Jangan...,” kata Maya ketakutan ketika Sobari menghampirinya.

“Tidak! Sobari hanya ingin memastikan tante tidak kenapa-kenapa, jangan khawatir, barusan kebetulan aja Sobari lewat di depan dan mendapati pintu terbuka, karena penasaran tanpa permisi mamsuk dan mendapati bajingan itu yang hendak memperkosa tante. Tante betul tidak apa-apa kan?” tanya Sobari sambil duduk di sofa mengawasi Maya yang masih berdiri di pintu kamar dengan tubuh masih gemetaran.

“Tt-tidak-tidak, tante tidak kenapa-napa.... terima kasih banyak, kalau kamu tidak datang, entah apa jadinya tante,” sahut Maya disertai isak tertahan.

“Bagus lah. Bajingan itu kayanya Si Hendi satpam konveksi ya. Kurang ajar dia, nanti biar saya kasih pelajaran dia,” kata Sobari mengepalkan tangannya.

“I-iya...,” jawab Maya masih terisak.

“Yaudah, tante tidur aja deh, beristirahat. Biar Sobari berjaga di sini.”

“T-tapi...,” Maya menatap penuh curiga.
“Jangan gitu dong, saya tau tante masih berduka dengan meninggalnya Om Rudi, terus Ridwan juga kan sedang berada di tahanan polisi, tante sendirian di sini, mana saya tega meninggalkan tante, siapa tau Si Hendi masih penasaran datang kembali. Jangan khawatir, saya nggak akan seperti Si Hendi yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Tenang aja, tante bisa beristirahat. Lagipula pintu rumah tante rusak kuncinya, besok saya bantuin betulin deh, oxe?”

Maya berdiri kebingungan. Dirinya benar-benar dalam posisi serba salah. Dan ia hanya bisa terdiam ketika Sobari dengan keinginannya sendiri membuatkan teh manis hangat untuk diminum perempuan itu demi menenangkan diri.

Mendapat perlakuan hangat tanpa mencurigakan dari Sobari, hati Maya sedikit tenang juga, setelah berterima kasih kembali atas pertolongan Sobari, perempuan itu kembali masuk ke dalam kamar mencoba untuk memejamkan mata.

Di ruangan tengah, Sobari terpaksa menyabarkan hatinya dan meredam hasratnya yang bergejolak. Dia memang harus membuat siasat bagus untuk menarik hati perempuan itu, bukan sifatnya harus menaklukkan perempuan dengan kekerasan, dia menginginkan Maya menyerahkan tubuhnya dengan kepasrahan penuh bukan dengan paksaan. Jadi dia harus lebih bersabar dengan keinginannya yang menggebu-gebu.

Pagi harinya.
Tidak seperti biasanya Maya bangun agak terlambat. Begitu keluar kamar, di meja telah terhidang segelas teh hangat dan sebungkus nasi uduk. Tampak Sobari menyambutnya dengan senyuman hangat.

“Selamat pagi, Tante. Sobari mau pamit pergi ke bengkel, kunci pintu sudah diperbaiki, dan ini uang untuk keperluan tante sehari-hari, kalo perlu apa-apa jangan ragu-ragu buat kontak Sobari secepatnya, oxe,” kata Sobari lembut, mengangsurkan sejumlah uang kepada Maya yang kembali berdiri kebingungan.

“J-jangan..., tttidak usah, terima kasih,” tolak Maya kemudian.

“Sudahlah, Tante pegang aja. Sobari tau tante sedang dalam masalah. Oxe, saya pamit dulu, mungkin saya akan sering-sering menengok tante,” kata Sobari memaksa menjejalkan uang ke tangan Maya, kemudian dia pun segera berlalu pergi, meninggalkan Maya yang berdiri terlongong-longong.

*

Begitulah, dengan kelihaian dalam merayu dan memanjakan perempuan, Sobari berusaha mengambil hati Maya dengan perhatiannya. Kadang-kadang dia sengaja membelikan perlengkapan kosmetik untuk dipakai Maya dengan disertai pujian-pujian penuh rayuan gombal. Belum lagi keroyalannya dalam memberi uang yang lumayan banyak. Bahkan biaya tahlilan almarhum suami Maya dia tanggung sampai ke tujuh harinya.

Tak terkira betapa besarnya rasa terima kasih Maya kepada Sobari yang dianggapnya sangat baik itu, walau pun tentu ia juga mempunyai kecurigaan berdasarkan pengalaman sebelumnya, bahwa semua kebaikan Sobari itu tentulah ada maunya. Namun sampai begitu lama, Sobari belum menunjukkan gelagat ‘maunya’ itu, yang tentulah menenangkan hati Maya yang makin terbuai dan masuk dalam perangkap Sobari.

Sementara Hendi, semenjak kepergok oleh Sobari hendak memperkosa Maya, di hari-hari selanjutnya tak pernah menunjukkan batang hidungnya, entah pergi ke mana, mungkin takut perbuatannya dilaporkan ke pihak yang berwajib. Karena dua hari kemudian, hanya Rohmat, teman jaganya yang selalu pulang ke rumah kontrakannya Hendi.

Selewat maghrib, selepas menjenguk Ridwan di tahanan. Maya pulang dengan dibonceng motor Sobari, yang memang rutin mengantar jemput Maya saat membesuk Ridwan, setelah sebelumnya mewanti-wanti agar jangan mengatakan bahwa dirinya yang mengantar Maya ke kantor polisi. Tiba-tiba, tanpa tanda-tanda sebelumnya, hujan deras turun mengguyur jalanan. Jelas saja, lalu lintas yang sedang macet-macetnya menjadi makin semrawut oelh para pengendara motor yang mendadak ribut mencari tempat berteduh. Begitu juga dengan Sobari dan Maya yang berboncengan motor. Untunglah, jalur sedikit melonggar dengan banyaknya motor yang menepi ke pinggir jalan. Sobari segera tancap gas, zig-zag diantara kendaraan-kendaraan yang tercegat macet.

Tapi tak urung juga, mereka bawah kuyup oleh air hujan. Tanpa ragu, Maya merapatkan tubuhnya ke tubuh Sobari, dalam keadaan seperti itu, masih sempat-sempatnya Maya terkenang dengan kejadian beberapa minggu yang lalu dengan keadaan hampir sama persis dengan keadaan sekarang, hanya untung saja Sobari tidak membawa motornya ke arah pasar, karena pasar itu sudah terlewati jauh sebelum hujan turun.

Maya merasakan tubuhnya sedikit menggigil, bukan oleh dinginnya air hujan, tapi oleh sesuatu yang meronta hangat dari dalam hatinya. Perempuan seusia Maya memang sedang panas-panasnya oleh gelora hasrat yang pada hari-hari sebelumnya mampu dipuaskan oleh Ridwan, namun semenjak Ridwan ditahan polisi, otomatis hasrat tersebut terpaksa dipendamnya dalam-dalam. Namun kini dengan kenangan saat di pasar itu, membuat Maya yang berusaha membuang kenangan yang membuat napasnya sedikit sesak, sedikit terbangkitkan bulu-bulu di tubuhnya. Apalagi sejak ia banyak menerima kebaikan dari Sobari, diam-diam rasa takutnya terhadap pemuda itu berubah menjadi rasa asing lain yang membuat hatinya sedikit senang. Begitulah hati perempuan yang dalamnya sukar diduga.

Akhirnya mereka tiba juga di depan rumah kontrakan Maya. Dengan setengah berlari masuk ke dalam rumah diikuti Sobari yang memarkir motornya terlebih dahulu. Sobar yang menyusul, tiba-tiba terpeleset jatuh persis di depan pintu, tubuhnya terhuyung sejenak sebelum kemudian jatuh dengan kepala terantuk ujung lemari yang letaknya dekat pintu.

Maya segera memburu sambil berseru kaget. Diraihnya kepala Sobari yang sedikit berdarah.

“Kepalanya berdarah, Sayang..., ups!” Maya sedikit tersipu oleh spontanitas ucapannya.

Sobari yang menyeringai kesakitan, menyembunyikan senyumnya mendengar ucapan Maya barusan. Ia merakan pipinya menempel digundukan hangat dada Maya yang berdebur kencang.

Tangannya mengusap lembut rambut Maya yang masih meneteskan air hujan.
“Ih, kepalamu berdarah nih,” kata Maya dengan suara bergetar merasakan usapan lembut jari-jari Sobari yang menelusuri belakang telinganya.

“Nggak apa-apa, begini terus sampai pagi, Sobari rela kok,” sahut Sobari dengan suara hampir berbisik.
“Hush! Maunya...,” Maya mendelik manja.
“Emang mau...,” potong Sobari menarik tengkuk Maya agar menunduk, dia sedikit mengangkat kepalanya.

Maya memejamkan mata ketika bibir mereka saling menempel. Kecupan lembut dari Sobari membuat dirinya serasa melayang.

“Stop! Jangan, Ri..., takut ada orang, pintu masih terbuka,” desah Maya terengah-engah.

Dengan ujung kakinya, Sobari mendorong pintu hingga tertutup. Dia mempererat pelukannya, kembali mencium bibir basah dan lunak milik Maya yang segera memejamkan matanya, menikmati pagutan Sobari.

“Riii..., jangaaannnhhh,” keluh Maya mencoba menekan deburan hasratnya.

“Tante cantik sekali. Sobari jatuh cinta kepada tante,” bisik Sobari penuh rayuan.

“Nn-nakal kamu ah,” Maya mencubit pelan, “Ayo bersihkan luka kamu dulu, Ri. Dan jangan macem-macem dulu ya,” katanya sambil mendorong tubuh Sobari yang sedang berusaha mencium leher jenjangnya.

“Jadi kalo udah bersih, boleh macem-macem dong,” kekeh Sobari.
“Hush!” Maya kembali mencubit lengan Sobari yang iseng mengelus bokongnya.

Dengan telaten, Maya membersihkan luka di kepala Sobari yang tadi terantuk sisi tajam lemari. Sobari yang tak tahan dengan gundukan montok yang terayun di depan wajahnya seringkali iseng menjulurkan lidahnya menjilat belahan yang tersembul dari balik baju basah Maya yang terpaksa menjewer kuping Sobari karena tak tahan dengan geli.

Saking tak tahannya, Sobari yang sudah sangat yakin perempuan itu telah terjatuh ke dalam permainannya, meraih pinggang montok Maya sehingga jatuh ke pangkuannya.

“R-riii, jangaaan. Mm-mau ngapain?” seru Maya tanpa perlawanan samasekali.

“Sobari mau macem-macem sama, Tante. Karena Sobari udah terlanjur jatuh cinta sama tante yang cantik ini,” rayu Sobari dengan berani.
“Baju tante basah, Ri...., tante mau mandi dulu,” desah Maya sambil memejamkan matanya, menikmati ciuman Sobari di lehernya.
“Sobari bantu bukain bajunya yang basah ya, Sayang,” bisik Sobari sambil menjilat kuping Maya yang segera menggelinjang kegelian.
“Kkamu nakal, udah berapa perempuan yang kamu rayu,” desah Maya pasrah.
“Nggak ada perempuan lain, karena Sobari sudah sangat cinta sama tante,” rayu Sobari tak kepalang.
“Bohong kamu ah. Jangaaan, Riii...!”
Namun Sobari sudah tidak perduli, dia membuka kancing baju Maya satu-demi satu. Dan tampaklah sepasang payudara yang masih terbungkus bra berwarna hitam, sungguh kontras dengan kulit yang putih mulus dari perempuan berusia empat puluh tahun itu. Dengan tidak sabar, ditariknya turun bra tersebut sehingga kemudian dua buah daging lunak itu tersembul menawan dengan puting yang sudah mengacung.

Maya hanya bisa merintih ketika mulut Sobari telah bergerilya menghisap dan mencucup-cucup puting payudaranya, sementara ke dua tangan pemuda itu meremas-remas bokong Maya yang besar dan padat.

“Riii, jangannn...,” tolak Maya ketika tangan Sobari menyelinap ke balik roknya. Entah kenapa, tiba-tiba wajah Ridwan melintas di benaknya. Yang mampu menahan gelora hasratnya. Namun itu hanya sementara, ketika kelihaian Sobari dalam menaklukkan wanita mampu menghapus rasa berdosa dari hati Maya kepada Ridwan. Dalam buaian dan rayuan Sobari, Maya serasa melayang-layang di alam kenikmatan.

Sobari benar-benar ingin menikmati kemenangannya saat ini dengan tidak terburu-buru melahap tubuh montok yang kini sudah pasrah sepenuhnya dalam kekuasaannya. Sobari tak menyisakan sesenti pun dari tubuh Maya untuk dilewatkan oleh jilatan, usapan dari mulut, lidah mau pun jari-jarinya.

Hujan di luar makin deras turun disertai petir dan geledek yang sambung menyambung. Angin dingin yang berkesiur di luar sama sekali tak terasa oleh dua tubuh telanjang bulat yang tengah bergulat panas di atas sofa di rumah kontrakan tersebut.

Mereka sedang dalam posisi 69, Penis dengan helm besar milik Sobari tengah berada dalam mulut Maya yang sibuk menghisap dan mengunyah. Sementara jari-jari Sobari juga sibuk mengelus dan menggaruk vagina Maya yang sudah sangat basah sekali oleh lendir kewanitaannya. Lidahnya menghisap-hisap klitoris yang menyembul kencang dari belahan vagina gemuk Maya.

Beberapa saat kemudian Sobari merubah posisinya tubuhnya, telentang dan memberi isyarat Maya agar segera naik. Dengan sedikit tersipu-sipu, Maya segera merayap naik, memposisikan vaginanya ke kepala penis Sobari. setelah dirasa sudah tepat, dengan perlahan-lahan bokongnya menekan ke bawah, bibirnya digigit erat-erat demi menahan agar erangannya tidak keras.

“Blesshhh!”
“Akh!”
Maya mendongakan kepalanya dengan mata terpejam erat. Kepala penis Sobari yang besar, perlahan tapi pasti melesak masuk ke dalam vaginanya. Keringat yang membasahi tubuh mereka dari tadi makin mengucur seiring goyangan erotis dan ayunan penuh semangat dari bokong ke dua insan berlainan jenis itu yang sedang dilanda napsu berahi yang panas menggelora.
“Hohhh..., hohhh,” lenguh Maya disela ayunan bokongnya di atas selangkangan Sobari yang sama sedang merasakan kenikmatan yang luar biasa dari remasan dinding-dinding vagina Maya yang sesuai perkiraannya menjanjikan kelezatan khas perempuan yang sedang mengalami puber ke dua.

Ke dua tangan Sobari sibuk meremas payudara mengkal Maya yang terayun seiring tubuh montok perempuan itu yang mengayun maju mundur. Sesekali jarinya nakal mencolok lubang anus Maya yang segera menyentak merasakan sensasi tersebut. Kadang-kadang jari Sobari dimasukkan ke mulut Maya, di mana perempuan itu segera menghisap-hisap jari-jari tersebut.

Lima belas menit berlalu dengan cepat, goyangan bokong Maya makin cepat dan pendek, tanda perempuan itu hampir mancapai puncak birahinya. Lalu dengan sentakan cepat yang dalam, bokong Maya menekan dalam-dalam, vaginanya berkedut-kedut meremas-remas batang penis Sobari, menyemburkan cairan orgasme yang lumayan banyaknya. tubuh perempuan itu melengkung sebelum ambruk terengah-engah di atas tubuh Sobari.

Sobari yang masih belum mencapai puncak birahinya, tanpa membiarkan Maya menikmati orgasmenya, segera menarik tubuh Maya dan memposisikannya menungging, vagina yang masih sangat basah itu segera disodoknya dari belakang. Dikocok dengan ritme yang cepat karena dia merasakan suatu desakan dari kantung penisnya. Tak perlu waktu yang lama, dengan geraman dahsyat, Sobari menekan dalam-dalam penisnya ke vagina Maya. Semburan lahar panas segera memenuhi lubang surga itu, sebelum akhirnya tubuh Sobari ambruk menindih punggung Maya dengan napas ngos-ngosan.

“Nikmat sekali, terima kasih, Sayang!” bisik Sobari mengecup tengkuk Maya yang banjir keringat.
Maya tak menjawab, ia hanya memejamkan mata dengan perasaan sangat menyesal yang muncul sangat terlambat. Rasa bersalahnya karena telah mengkhianati Ridwan kembali timbul. Ia hanya diam saja ketika Sobari mencium lembut bibirnya sambil berkali-kali mengucapkan kata-kata pujian penuh rayuan.

Dan persetubuhan ke dua insan itu terus berlanjut hampir sepanjang malam dengan posisi bercinta yang berbeda-beda. Hingga ke duanya tertidur pulas di dalam kamar Ridwan dengan posisi saling berpelukan.

Semenjak malam itu, Sobari kini seakan mempunyai rumah ke dua. Bahkan kini setiap malam dia selalu pulang ke rumah kontrakan Maya.

Maya sendiri kini sudah pasrah dengan nasibnya yang terjatuh sepenuhnya ke pelukan Sobari. dikarenakan lihainya Sobari dalam merayu Maya, yang dengan tak sayangnya menghujani Maya dengan berbagai hadiah dan uang, bahkan Sobari membelikan barang-barang mebel dan hape keluaran terbaru, demi menyenangkan Maya. Berangsur-angsur Maya mampu menghapus perasaan bersalah kepada Ridwan.

Hingga pada suatu malam. Maya dengan gelisah menunggu kedatangan Sobari yang tidak seperti biasanya kini belum datang. Ditelepon handphonenya, namun nomor Sobari ternyata tak aktif.

Ketika jam menunjukkan pukul sebelas lewat, Maya baru saja hendak beranjak ke kamar tidur ketika terdengan ketukan di pintu. Dengan bergegas Maya segera membuka pintu. Benar saja, begitu pintu dibuka ternyata memang Sobari yang segera tersenyum menggoda. Maya yang hendak bertanya segera menelan kembali pertanyaannya ketika melihat sesosok tubuh lain yang memakai topi begitu dalam, sekaan menyembunyikan wajahnya dibalik topi tersebut, di yang berdiri di belakang pemuda itu.

Tanpa malu-malu, Sobari segera masuk dan meraih pinggang Maya dengan mesra, namun ketika hendak mencium bibirnya, Maya menghindar sambil matanya tak lepas dari teman Sobari yang hanya menyeringai dan mendahului masuk tanpa menunggu dipersilahkan oleh empunya yang punya rumah.

“Tenaaang, Sayang. Nggak usah kuatir, dia temen Sobari. namanya Anto. Numpang bermalam di sini. Nggak apa-apa kan?” bisik Sobari melepaskan pelukannya setelah Maya meronta.
“Anto?” gumam Maya dengan kening berkerut. Ia seolah-olah merasa familiar dengan nama itu. Namun belum bisa diingatnya kapan dan di mana ia pernah mendengar nama itu.
“Iya, tolong buatkan kopi dua deh. Dia kemalaman, jadi menumpang tidur semalam di sini,” sahut Sobari sambil menepuk bokong Maya yang segera berlalu membuatkan pesanan Sobari.

***

BERSAMBUNG KE JILID XVI

Update selanjutnya di malam minggu
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd