Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Nenekku, Pahlawanku [TAMAT]

Happy ending or sad ending?


  • Total voters
    495
Maaf nih thor bukan maksud mengkritik cerita ini tapi alangkah baiknya kalau di tulis menggunakan bahasa Indonesia di karenakan yang baca bukan hanya orang Jawa, bagi yang gak tau bahasa Jawa malah di skip dan juga suhunya juga gak ribet harus menterjemahkan.
 
Maaf nih thor bukan maksud mengkritik cerita ini tapi alangkah baiknya kalau di tulis menggunakan bahasa Indonesia di karenakan yang baca bukan hanya orang Jawa, bagi yang gak tau bahasa Jawa malah di skip dan juga suhunya juga gak ribet harus menterjemahkan.
Jangan minta maaf kang. Justru saya yg harus minta maaf karena belum bisa mengamini saran dari sampeyan. Sebab, sudah saya katakan di page-page awal jikalau saya tidak akan merubah dialeg bahasa daerahnya.

Pertama, soal ciri khas penulis.

Kedua, memperhatikan lagi latar belakang yg saya usung bertemakan pedesaan, sudah jelas tak lepas dari bahasa Jawa yg khas.

Ketiga, soal menerjemahkan ke bahasa Indonesia saya tidak keberatan agar bisa dibaca juga oleh teman-teman yg tidak bisa bahasa Jawa.

Sekali lagi terima kasih atas sarannya kang. Mungkin di lapak-lapak baru bisa saya pertimbangkan untuk full bahasa Indonesia. Dan mohon maaf sekali kalo cerita sederhana saya ini kurang berkenan karena terkendala bahasa🙏
 
Maaf nih thor bukan maksud mengkritik cerita ini tapi alangkah baiknya kalau di tulis menggunakan bahasa Indonesia di karenakan yang baca bukan hanya orang Jawa, bagi yang gak tau bahasa Jawa malah di skip dan juga suhunya juga gak ribet harus menterjemahkan.
Kalo gak ada bahasa jawanya malah ciri khasnya jadi ilang gan...
Jadi sama aja dong kayak cerbung lainnya

Begini aja udh bagus, toh ada terjemahnya
 
***

Tik, tik, tik!

Bunyi hujan di atas genteng. Rintik gerimis tipis di pagi hari berawan abu-abu. Menambah kesan romantis kelimis keintiman sepasang musang dilanda birahi. Adalah aku yang saat ini memandang keindahan ciptaan Sang Pencipta. Sosok berparas cantik dengan tahu lalat di bawah bibir. Pancaran inner beauty kian menyala meski usianya mendekati kepala empat. Ditunjang lekuk tubuh aduhai serta onderdil memanjakan mata, bisa dibilang Bu Rini berada di puncak kematangan seorang wanita.

Maharini Dera Widyawati.

Rangkaian indah sebuah nama sosok wanita beranak dua yang sempat aku eja beberapa waktu yang lalu kala mataku memandang satu dari lima pigura foto di ruang tamu dengan Bu Rini kecil saat wisuda kelulusan SMP.

Entah mengapa, saat lamunanku masih terpaku di wajah Bu Rini, sekilas aku merasakan percikan perasaan aneh yang semakin kutahan, semakin kuat pula menggedor benteng berlapiskan baja yang susah payah kubangun hanya untuk ditinggali oleh aku dan Nenek. Perasaan aneh ini memaksa hatiku untuk bercabang.

Ah, mencintai dua orang sekaligus ... apa itu mungkin?

Lantas, Tante Ima, si jawara betina suka baku hantam itu bagaimana? Cuk, kalau itu biar aku pasrahkan saja sama si Palu Gatot. Pasti primata kesayanganku itu takkan protes. Lebih-lebih ia tipikal primata rakus yang setiap saat berbisik lembut untuk mencari lubang baru. Lubang lain. Lubang yang tak sepantasnya aku masuki. Lubang kenikmatan yang bukan milikku.

"Kobe ...." Bu Rini memanggil dengan suara parau. Satu tangannya tetap mengelus punggungku, sementara tangan lainnya meraih batang kontolku yang masih tegak menjulang.

"Emak cantik banget." Entah apa maksud panggilan Bu Rini, aku justru melontarkan pujian. Selain itu, aku malah tersenyum. Entah bagaimana ekspresi wajahku di mata Bu Rini, yang jelas aku semakin larut ke dalam lautan tak berpalung.

"Kobe ..." Bu Rini semakin sayu. Nafasnya tertahan. Lalu, ia menghembuskan nafas berat. "Aku senang kamu memujiku. Apa kamu tau kalau wanita tua ini menyimpan rasa cintanya sejak lama kepada seorang bocah tampan sepertimu?"

"Memang benar nafsu dan cinta jaraknya setipis tisu. Sehalus kapas. Aku ... aku sebenarnya nggak ingin melakukan ini. Tapi-"

"Jangan kamu teruskan, Sayang. Nikmati aja kebersamaan kita saat ini. Aku sendiri ndak tau kapan waktu terbaik kalau bukan sekarang."

"Ya. Aku paham."

Tak ingin membuang-buang waktu lagi, segera aku mencium bibir Bu Rini. Bibir, lidah, dan gigi kami saling beradu. Menciptakan suara-suara menambah nafsu.

Selanjutnya, aku dapatkan bibirku menelusuri leher jenjang Bu Rini. Tak kupedulikan tetes demi tetes keringat yang keluar dari tubuhnya. Bagiku, keringat Bu Rini memiliki bau yang khas hingga mampu membangkitkan gairah.

Jengkal demi jengkal tubuh Bu Rini aku telusuri. Aku jelajahi. Dan aku jamah tanpa satu pun terlewat. Sampai di mana badanku semakin merosot ke bawah. Tepat saat kepalaku ingin menyelinap ke area kewanitaan Bu Rini, dengan sendirinya ia merenggangkan kedua pahanya yang padat berisi. Mengangkang lebar mempersilahkan masuk tanpa paksaan.

Sorot mata Bu Rini layu. Atau mungkin sudah terlampaui pasrah. Kedua tangannya langsung mendorong kepalaku untuk segera bermain di memeknya yang ditumbuhi bulu-bulu hitam. Tak terlalu lebat memang.

Kecupan demi kecupan aku lepaskan di pangkal paha Bu Rini. Desisannya langsung terdengar. Lalu, tanganku ikut membantu bibirku untuk segera menikmati hidangan pembuka. Aku buka memeknya dengan kedua tangan.

Aku terpana. Menahan nafas. Bagaimana tidak, di sana terpampang apem tembem berwarna merah segar berhias labia minora berjengger coklat. Di atasnya menyembul klitoris sebesar jempol anak SD. Pun celah memeknya panjang dan berdenyut.

Yang semakin membuat kontolku berdenyut keras adalah baunya. Bau khas memek wanita yang terangsang luar biasa. Entahlah. Aku sendiri tidak bisa menyamakan bau kemaluan Bu Rini dengan bebauan lain. Kalau yang mendekati sih sudah jelas bau sate siput.

Baru saja ingin menyantap daging mentah yang indah ini, tetiba tangan Bu Rini menahan kepalaku. Kontan saja aku mendongak heran.

"Hm, jangan dilihat begitu tempek Emak, Nak." Bu Rini berkata lirih, "Emak malu."

"Bagus kok tempek Emak."

"Tapi Emak malu, udah tua tem-"

Lick!

Tanpa menunggu Bu Rini menuntaskan ucapannya, segera kuberikan jilatan pertamaku secara vertikal dari bawah ke atas. Kontan saja mendapat respon alami dari badannya yang bergetar. Kedua kakinya sampai menjepit kepalaku.

"Sssshhhh ... Kobeee ... jangan digitukan ... langsung masukkan kontolmu ...." Desisan Bu Rini, yang kemudian refleks menjambak rambutku.

Juh! Juh!

Lick! Lick! Lick!


Aku tak menjawab. Tanpa aba-aba, aku lepaskan dua kali ludahku di memek Bu Rini, lalu aku ratakan dengan kedua jari. Sejurus, dengan rakusnya aku menjilat memek Bu Rini penuh nikmat. Sedikit demi sedikit precum-nya keluar. Menambah intensitas lidahku menari-nari di klitoris, juga lubang memeknya.

Sampai di mana gigiku menggigit-gigit kecil labia mayora, dan sesekali menariknya karena gemas, secara perlahan aku susupkan jari tengahku ke dalam liang senggamanya.

Hangat. Basah. Lembab.

Cukup sempit sekaliber wanita yang sudah berumur. Lalu, kutambahkan satu jariku lagi sampai terbenam semuanya.

"Ughhh! Ssshhhhh! Ahhhh! Ssshhh! Mmmhhh!" lenguh Bu Rini, belingsatan. Mataku berputar ke atas. Mendapati Bu Rini yang merem-melek merasakan liang surgawinya aku jilati tanpa rasa jijik, juga terkobel jari.

Perpaduan bibir dan jemari tanganku memberikan efek berkala pada memek Bu Rini. Kedutan demi kedutan kurasakan kala gerakanku yang semula stabil sembari mencari titik g-spot. Setelah menemukan tombol yang kucari, aku obok-obok dengan gerakan cepat.

Clek! Clek! Clek!

Kecipak bunyi memek becek Bu Rini bak dawai asmara di tangan sang pujangga. Mempermudah laju jariku menusuk-nusuk relung memeknya.

"Ahhhh! Ahhhh! Ahhhh! Ahhhhh!" desah Bu Rini terdengar penuh nafsu. Desah nafasnya dapat kurasakan menyapu rambut kepalaku saking kencangnya.

Sejurus, badan Bu Rini menegang. Memeknya berkontraksi menjepit jariku. Kedua pahanya mengapit kuat kepalaku. Hingga pinggul Bu Rini terangkat ke atas menahan gelombang klimaks yang sebentar lagi datang, aku lepaskan jariku, berikut menghentikan hisapanku pada klitoris.

Crats! Crats! Crats!

"Ehmmmm! AHHHHHH!!!" erang Bu Rini tertahan, yang kemudian mendesah keras. Bersamaan dengan keluarnya air mancur berwarna bening memancar kuat menghantam wajahku yang masih beberapa centi dari memeknya. Semburan demi semburan squirt-nya laksana selang pemadam kebakaran.

Wajah dan dadaku sampai terkena muncratannya. Pun sofa yang menjadi saksi bisu kenikmatan yang baru saja Bu Rini raih basah sekali. Luar biasa.

Awalnya aku berpikir ini sudah selesai. Tapi aku terhenyak saat mendapati mata Bu Rini yang masih terpejam dengan nafas tak beraturan tiba-tiba saja terbuka tajam menatapku, dan ...

Currrrrr!

Bajingan!

Beberapa detik setelah Bu Rini meraih squirt-nya, dari memeknya menyembur air seni berwarna putih kekuningan. Mengalir deras dari celah surgawinya hingga mencapai tanganku.

Cuk. Aku malah dikencingi. Gila, gila. Baru ini aku mendapati seorang wanita yang baru saja mendapat kenikmatan langsung pipis. Pipis bukan sembarang pipis. Ini benar adanya air seni. Terbukti dari baunya yang sedikit pesing.

Aku tak bisa berkata-kata dengan apa yang baru aku saksikan. Sekelas Nenek yang seorang penggiat ranjang pun tak pernah aku lihat setelah squirt dilanjutkan kencing. Baru ini. Ya baru Bu Rini yang bersusu brutal ini. Bajingan.

Bu Rini terengah-engah. Ia memejamkan mata. Lemas. Sambil mengatur nafas, ia berkata lemah, "Hhh ... hhhh ... Be ... hhh ... apa ini yang barusan, Be? Hhh ... enak banget, Be ...."

Aku geleng kepala. Kuusap pelan memek berjembutnya meratakan cairan cinta Bu Rini yang berceceran, sebelum akhirnya aku menjawab, "Justru aku yang nanya, Mak. Kok bisa Emak muncrat terus pipis gini?"

Bu Rini membuka mata setengah. "Hhh ... Emak juga ndak tau, Be. Baru pertama begini. Hhh ... hhh ... kamu nakal sama Emak mainin tempek Emak sampai pipis."

"Hehehe, sama Pak No nggak pernah diginiin, ya?" godaku, setengah menyindir.

"Dapako dingenekno, Be. Tempek Emak diklamuti koyok kowe mau nganti kepuyuh-puyuh ae ndak blas." (Jangankan diginikan, Be. Memek Emak dijilati seperti kamu sampai terkencing-kencing saja tidak sama sekali.) Bu Rini menyahut agak kesal. Cemberut.

"Congok berarti bojone sampeyan, Mak. Tempek seger enake koyok ngene lah kok dijarno. Rugi." (Bodoh berarti suami Anda, Mak. Memek segar enaknya seperti ini lah kok dibiarkan. Rugi.)

"Ndak rugi-rugi pisan, Be. Emak malah seneng wong gendeng iku ndak tau ndemok-ndemok seng ngisor. Soale kan lek wes kadung ngaceng, dilebokno, terus metu. Wes, ngunu tok." (Tidak rugi-rugi amat, Be. Emak malah senang orang gila itu tidak pernah pegang-pegang yang bawah. Soalnya kan kalau sudah terlanjur ereksi, dimasukkan, terus keluar. Sudah, begitu saja.)

"Emak seneng soale aku seng pertama ngenekno Emak. Iyo ta gak?" (Emak senang soalnya aku yang pertama beginikan Emak. Iya apa tidak?) todongku.

"Hihihi, iyo, Be. Awale aku ndredek ndak pede soale aku kan aku wes tuwek. Tempekku yo wes elek. Berhubung kowe bablas ae, yo Emak isok opo?" (Hihihi, iya, Be. Awalnya aku grogi tidak percaya diri soalnya kan aku sudah tua. Memekku ya sudah jelek. Berhubung kamu lanjut terus, ya aku bisa apa?) Bu Rini menjawab enteng seolah ia lupa kalau hampir saja pingsan karena muncrat berkali-kali.

Aku ikut terkekeh, seraya memajukan badan menjangkau bibir Bu Rini. Aku kecup singkat, lalu berkata, "Sampeyan tambah ayu lek mudo ngene, Mak." (Anda tambah cantik kalau telanjang begini, Mak.)

"Mosok, seh?" (Masa, sih?) Bu Rini tersipu. Ia memalingkan muka. Tapi ekor matanya menatapku. "Ayu endi ambek pacarmu?" (Cantik mana sama pacarmu?) cicitnya dengan bibir mecucu.

Aku kecup keningnya, sambil mencengkeram buah dada Bu Rini. "Podo ayune. Tapi susune gedhe tek'e Emak, dong." (Sama cantiknya. Tapi susunya besar punyanya Emak, dong.)

"Isok ae bakpao telo. Iki wes gowoan tekan seng ndukur, Be. Nek kowe seneng seng gedhe-gedhe ngene yo Emak melok seneng." (Bisa saja bakpao telo. Ini sudah bawaan dari Yang Atas, Be. Kalau kamu senang yang besar-besar begini ya Emak ikut senang.)

"Lho, lho, lho. Gak trimo seneng tok. Isok-isok tak culik sampeyan terus tak kenthu bendino." (Lho, lho, lho. Tidak terima senang saja. Bisa-bisa aku culik Anda terus aku entot setiap hari.)

"Sopo seng bakal nolak dikenthu cah ganteng koyok kowe Iki. Wes ganteng, manukku gedhe pisan." (Siapa yang bakal nolak dientot lelaki ganteng seperti kamu ini. Sudah ganteng, burungnya besar lagi.)

"Gedhe endi ambek wong iku?" (Besar mana sama orang itu?) aku bertanya, sambil mengedipkan mata.

"Adoh!" (Jauh!) Bu Rini menyahut gemas.

Sembari menunggu Bu Rini menetralkan nafas di dadanya yang masih naik-turun, aku mengambil kotak tisu di atas. Aku bersihkan sisa-sisa cairan bercampur kencing Bu Rini di paha serta memeknya. Juga kuseka cairan cintanya di wajah, dada, perut, dan tanganku.

Aku lanjutkan mengelap keringat di seluruh tubuh Bu Rini sampai bersih. Kemudian, berlembar-lembar tisu bekas cairan aku buang di lantai. Lantas, segera kubimbing Bu Rini untuk bangkit berdiri menuju sisi lain sofa. Jalannya agak pincang. Wajah, Nenek juga suka begitu kalau kubuat squirt.

Setelah itu, aku dudukkan Bu Rini. Sementara aku berdiri dengan kontol mengacung di depan wajahnya. Aku jamah gunung kembarnya yang tak bosan aku mainkan.

"Giliran Emak, nih." Aku menegur, sembari memilin-milin putingnya yang kembali mengeras.

Bu Rini mendongak menatapku ngeri. Dan tanpa kata, ia mengangkat tangannya memegang kontolku. Mencoba sekali lagi untuk menggenggam batang kejantanan di depan matanya. Sudah pasti gagal. Jempol dan kelingkingnya tak bisa bertemu.

Sejurus, Bu Rini memberi kocokan setengah batang. Sambil menatapku sayu, ia memajukan kepala. Bibirnya menutup seolah sedang mengumpulkan sesuatu, lalu ... juh!

Ludah Bu Rini menembak tepat di kontolku. Begitu banyak sampai kontolku berlumuran saliva-nya. Ia ratakan air liurnya dengan tangan kanan. Menambah kenikmatan kocokan tangannya pada batang kontolku.

"Sssshhhhhh ..." Aku mendesis, sambil tanganku mengelus-elus pipi Bu Rini.

Sambil mendongak menatapku, mata Bu Rini yang sayu terpancar penuh nafsu. Telapak tangan nan halus serta jemari tangan memanjakan kontolku. Sesekali jempolnya menggelitik lubang pipisku.

Aku mendesis-desis merem-melek. Begitu lembut tapi bertenaga. Kocokan demi kocokan Bu Rini berikan. Hingga beberapa saat, wajah Bu Rini mendekat. Mencium dan mengendus kontolku.

Hap!

Aku bergidik saat kontolku dilahap masuk ke dalam mulut Bu Rini. Ia diamkan sejenak tanpa melakukan gerakan apa pun. Hanya matanya yang sedikit melotot tanpa berpaling memandang ke atas. Menatap dalam tepat di bola mataku.

Elusan yang kuberikan di pipi Bu Rini berubah haluan mengusap kepala. Yang kemudian, tanganku menekan belakang kepala Bu Rini untuk segera memasukkan kontolku ke dalam mulut.

Ser!

Darahku berdesir saat dua gerakan Bu Rini lakukan secara bersamaan. Melahap kontolku sembari lidahnya menari-nari di helm baja kejantananku. Bajingan.

Aku memejamkan mata sejenak kala batangku sudah amblas setengah. Sementara setengahnya lagi dijadikan Bu Rini pegangan agar ia bisa menikmati jengkal demi jengkal tongkat saktiku mengisi rongga mulut.

Detik demi detik berlalu. Bu Rini hanya mampu memasukkan tiga perempat batang kontolku. Sudah mentok sampai tenggorokan. Sejurus kemudian, mulailah Bu Rini mengulum kontolku. Memaju-mundurkan kepalanya dengan kecepatan pelan.

Glok! Glok! Glok!

Saliva si pemilik tobrut bak baskom itu semakin banyak keluar. Membantu mempermudah servis oral yang ia berikan kepadaku. Dan dengan kedua tangan Bu Rini yang kini berpindah memegangi kedua pahaku, ia mulai terbiasa dengan batangku serta merta mempercepat kuluman membuat pipinya menggelembung.

Ah, shit!

Aku melayang terbang. Lututku lemas. Betapa lihainya Bu Rini dalam urusan kulum-mengelum. Semakin nikmat karena giginya sama sekali tak ikut andil memanjakan si Palu Gatot. Kalau iya, sudah jelas terluka kulit kontolku sedari tadi.

Kontan saja kontolku semakin keras seperti kayu jati. Urat-urat seksinya menegang dengan sendirinya seiring permainan Bu Rini yang kini berubah menjadi gerakan mencucuk-cucukkan kontolku ke sebelah pipi. Nampak penuh sampai terasa sesak.

"Ssshhh ... udah, Mak, ahhhh ...." Aku mengerang. Menghentikan kepala Bu Rini yang mulai bergerak semakin liar. Bukan takut muncrat, hanya saja aku ingin segera memulai menyantap hidangan utama.

Plop!

Perlahan, Bu Rini mengeluarkan kontolku yang berlumuran air liur. Serta merta saliva-nya mengular panjang membasahi dagu hingga menetes ke payudara.

"Huh ... rasane koyok kelebon cagak listrik, Be." ( Huh ... rasanya seperti kemasukan tiang listrik, Be.) Bu Rani terengah-engah. Ia merebahkan badan. Mengambil satu bantal kecil untuk menganggap kepala. Lantas, tangannya mengusap-usap sendiri memeknya saat pahanya merenggang tanpa kusuruh.

"Sek gorong opo-opo iku, Mak." (Masih belum apa-apa itu, Mak.) Aku menjawab santai.

Bu Rini hanya tersenyum. Senyuman binal dengan bibir bawah digigitnya sanggup menggetarkan jiwa mudaku.

Bergerak dinamis, aku naik ke atas sofa. Duduk bersimpuh sambil memegangi lutut bagian dalam Bu Rini agar pantatnya agak terangkat. Memamerkan daging kemerahan syarat akan undangan untuk segera ritual.

Sementara itu, tanganku yang lain mengocok-ngocok kontolku sendiri. Sejurus, aku posisikan moncong torpedoku di depan lubang memeknya. Kuusap-usapkan klitoris secara vertikal sampai menusuk-nusuk ringan memek tembem yang basah itu.

Slebbb!

Aku dan Bu Rini sama-sama menahan nafas kala pinggulku mendorong masuk kepala kontol sampai satu perempat batangnya menyeruak ke dalam liang senggama. Terasa sempit nan berdenyut memijit.

Slebbb! Slebbb!

Sedikit demi sedikit aku benamkan kontolku membelah memek Bu Rini yang kelewat tebal. Tinggal sedikit lagi kontolku masuk sepenuhnya, aku merasakan dengan sadar jikalau memek Bu Rini berdenyut kuat.

Tak ada suara apa pun yang keluar dari mulut Bu Rini. Hanya tangannya yang memegang pinggiran sofa sampai menampakkan urat tipis di kulit.

Blessss!

Tak ingin menyia-nyiakan momentum, aku lesatkan kontolku sampai mentok ke pangkal. Amblaslah sudah seluruh kontolku di dalam memek sempitnya hingga kepala kontol menyentuh bagian terdalam liang senggama. Cincin rahim yang bertumbuk dengan kontolku serta merta berkontraksi hebat.

Serrrrr!

Cuk! Baru mulai kok rasanya kontolku disiram air hangat begini. Bagaimana bisa Bu Rini orgasme secepat ini. Padahal baru satu sentakan kontolku bersarang di memeknya.

"Mmmhhh! Ahhhh! Ahhhh!" badan Bu Rini terkejut-kejat. Tegang. Kepalanya mendongak ke atas mengakibatkan susu jumbonya ikut membusung. Nafasnya menderu sedan. Pahanya ikut serta bergetar. Lalu, ambruk. Tubuhnya melemah.

Aku sendiri masih tidak bisa menerka apa yang terjadi. Meski pengalaman berhubungan badanku hanya bersama Nenek, aku dibuat takjub sekaligus terpekur melihat wanita kedua yang merasakan kebesaran si Palu Gatot hingga lemas tak berdaya.

Sejenak aku mendiamkan kontolku. Aku beri Bu Rini ruang untuk mengatur gejolak birahi panasnya. Yang kemudian, Bu Rini menatapku sayu. Ulurkan tangan mengelus perut kotakku.

"Cepet banget udah keluar lagi, Mak." Aku menyindir, sambil tersenyum jahil.

Bu Rini tertawa kecil. "Emak udah nafsu banget, Be. Apalagi kontolmu yang besar kayak terong itu bikin perut Emak mules."

"Cabut?"

"Tak gigit kamu."

"Hehehe." Aku terkekeh ringan. "Udah enakan, Mak?"

"Sek, Be. Sssshhhh ... sini sambil peluk Emak, Be."

Aku mengiyakan. Aku condongkan badanku ke depan. Kedua tanganku kini berada dibalik punggung Bu Rini. Dada kami bersentuhan. Lembut dan nyaman.

"Ayo, Sayang. Tapi pelan-pelan, ya." Bu Rini berbisik serak.

"Iya, Sayang."

Plok, plok, plok!

Dengan posisi berpelukan dan saling menatap penuh cinta, mulailah aku mengeluar-masukkan kontolku menggunakan tempo sedang dua-satu. Dua kali tarikan sampai setengah batang lalu masuk, dan satu kali tarikan panjang menyusahkan kepala kontol lalu masuk lagi.

Nenek memang pahlawanku. Gerakan ini aku bisa aku dapatkan tidak instan. Butuh jam terbang dengan Nenek sebagai kelinci percobaan.

Praktis, gaya permainanku ini membuat Bu Rini kembali terangsang. Memeknya yang banjir bandang, kembali mengeluarkan cairan cinta. Mempermudah pinggulku bergerak maju-mundur, naik-turun, diimbangi tempo pelan-sedang. Serta merta Bu Rini ikut bergoyang mengimbangi.

Menit demi menit berlalu. Hawa dingin di luar rumah yang mulai deras air hujan tak dapat meredam hawa panas di dalam ruangan.

Dengan posisi kami saling memeluk dan hanya bahasa tubuh yang berbicara membentuk rangkaian tangga nada mengukir sejarah peraduan antar dua kelamin yang tengah bercocok tanam.

Plok! Plok! Plok!

Bunyi benturan demi benturan selangkangan kami yang saling beradu menambah panas persenggamaan penuh adrenalin. Meski sedikit was-was takut jika ada orang iseng mengintip, namun nafsu yang terlanjur dibakar sampai gosong ini mengalahkan itu semua.

Ya, abaikan saja soal Jihan yang masih terpaku menonton adegan dewasa antara aku dan ibu mertuanya. Toh, ini kulakan sekalian memberitahu Jihan secara tak langsung jikalau aku bisa memberinya kepuasan melebihi kepuasan yang diberikan oleh suaminya sendiri, Adam.

Plok! Plok! Plok!

Aku memompa kontolku yang masih setia mengacak-acak memek Bu Rini. Kecepatan genjotan aku berikan hingga membuat kedua susu Bu Rini mengeras, berikut kedua putingnya menegang memberi sensasi geli di dadaku.

Tanpa mengurangi kecepatan sodokan mautku, dengan perlahan aku bangkit dari posisi menindih tubuh bahenol Bu Rini. Duduk bersimpuh sambil menjulurkan tangan menggapai payudara. Memainkannya. Meremas. Menekan. Sesekali menampar.

Sampai di mana tanganku memelintir dan mencubit-cubit kedua puting Bu Rini, wanita bersusu brutal itu kembali tegang. Wajahnya merah padam. Bu Rini sendiri tak terlalu heboh seperti Nenek kalau sedang bercinta. Ia mendesah dan merintih seadanya. Lebih banyak ia diam menikmati, dan tahu-tahu ...

"UGHHHHH!!!" Bu Rini melenguh panjang. Suaranya sengau seiring dinding-dinding memeknya meremasi batang kontolku.

Serrrrr! Serrrrrr!

Gelombang orgasme kedua kali ini lebih dahsyat. Bu Rini meraih klimaksnya yang kedua setelah aku mencabut kontolku dari dalam memeknya dalam sekejap.

Kemudian, tanganku meraba bulu kemaluan hingga berakhir menggesek-gesek klitoris Bu Rini, lalu kumasukkan dua jari ke dalam memek.

Clek! Clek! Clek!

Suara kecipak cairan cinta Bu Rini beradu dengan jemari tanganku mengocok memek dan menyentuh titik g-spot. Alih-alih pasrah, Bu Rini semakin kelojotan. Ia menendang-nendang udara kosong. Badannya bergerak tak beraturan.

Dan sedetik ...

Crats! Crats! Crats!

Rentetan kenikmatan hakiki Bu Rini dapatkan. Ia mendapat multi-orgasme sekaligus squirt. Banjir bandang air bening membasahi badanku. Muncratannya sampai mengotori sofa.

"Hhhh ... hhhhh ... hhhh ...." Bu Rini mendengus dengan nafas ngos-ngosan.

Tanpa memberi jeda, aku mengangkat tubuh Bu Rini yang lunglai. Tidak sulit. Sebab, tenagaku lebih besar darinya. Bu Rini hanya pasrah saja.

Setelahnya, aku tempatkan diriku duduk bersandar di kepala sofa dengan kedua kaki turun menjejak lantai. Pun Bu Rini yang aku posisikan duduk di atasku dengan batang kontol menghadap tepat di depan celah memek.

Slebbb!

Aku tekan pinggul Bu Rini untuk turun secara perlahan. Ya iyalah. Kalau langsung digasak bisa-bisa kontolku nanti salah posisiku. Kemungkinan terburuknya, batangku patah. Bajingan.

Slebbb! Slebbb! Slebbb!

Tak kupedulikan memek Bu Rini yang beceknya bukan main. Aku pegang pantatnya yang besar, lalu kuhujamkan kontolku sembari ikut menekan ke atas hingga ... blessss!

Sekali lagi kontolku amblas tertelan gua kenikmatan yang tak terhitung berapa kali mengeluarkan cairan ajaibnya.

"Ahhhhhh!" Bu Rini tersentak. Dirinya tak memiliki tenaga lebih, dan praktis memilih rebah di atas tubuhku.

Aku memeluk badan Bu Rini. Terasa cepat detak jantungnya belum sepenuhnya mereda. Untuk sejenak aku mengusap-usap rambutnya yang lepek juga punggungnya bergantian penuh kelembutan.

Cup!

Dari samping, bibirku mengecup pipi Bu Rini. Respon wanita paruh baya itu hanya menoleh. Bibirnya terbuka sedikit, tapi tak ada ucapan yang keluar selain hembusan nafasnya yang menambah rangsangan.

"Tahan bentar, ya, Sayang. Bentar lagi aku keluar," bisikku.

Hanya anggukan yang kuterima. Seolah Bu Rini tak lagi membutuhkan perkataan sebagai jawaban. Mungkin ia paham karena sebentar lagi aku akan menuntaskan persetubuhan ini.

Plok! Plok! Plok!

Dari bawah, aku memompa kontolku menggilas memek Bu Rini. Dari yang semula pelan, secara bertahap bertambang kencang hingga menimbulkan suara benturan seperti biasa.

Selain daripada itu, staminaku tak banyak terkuras. Aku sudah pandai mengatur pernafasan sebelum akhirnya kelelahan dan masih belum mengeluarkan sperma yang masih mengendap sejak semalam.

Aku nikmati gesekan demi gesekan kontolku di dinding memek Bu Rini. Tak ada jeda sedikit pun aku menggenjotnya walaupun aku harus mengeluarkan dobel stamina dengan Bu Rini yang menempel di atas badanku.

Sampai suara gemuruh di luar sana terdengar beberapa kali, barulah dorongan sperma yang perlahan berkumpul di batang kontolku terasa.

Ini saatnya!

Aku dorong tubuh Bu Rini sampai kontolku tercabut dari dalam memeknya, kemudian aku rebahkan telungkup di atas sofa. Kedua pahanya yang padat berisi aku renggangkan, lalu aku masukkan dua jariku dengan punggung tangan menghadap ke atas ke dalam celah memeknya. Seketika jariku basah. Becek. Penuh lendir kewanitaan.

Praktis Bu Rini menoleh ke belakang. Ia tak mengatakan apa pun. Hanya kepalanya yang menggeleng dengan ekspresi mengiba.

Masih kurang, aku tambahkan satu jari sampai Bu Rini terperanjat. Ia meronta-ronta ingin lepas. Tapi, satu tanganku yang bebas menahan punggungnya untuk tetap di tempat.

Clek! Clek! Clek!

Tiga jariku yang bersarang di memek Bu Rini tancap gas mencolok-colok dengan tempo yang sangat cepat. Cepat sekali.

"Ahhhh ... ampun ... ampun ... ahhhh ... sudahhhh ...." Bu Rini merintih. Entah kesakitan atau keenakan aku tidak tahu. Pun tak peduli.

Sedetik, air mata Bu Rini meleleh keluar seiring badannya yang kembali belingsatan. Memeknya berdenyut-denyut menjepit tiga jariku yang semakin cepat mengobel memek, sampai ...

Crats! Crats! Crats!

Secepat capung aku keluarkan jariku. Detik itu juga, kencangnya air squirt Bu Rini menembak ke mana-mana. Tak hanya paha, liang senggamanya sampai bergetar hebat.

Pemandangan yang begitu memukau ini semakin membuatku kesetanan. Mengabaikan rintih serta Isak tangis Bu Rini, aku menduduki pahanya, lalu kuposisikan kontolku untuk kembali memasuki liang kewanitaannya.

Blessss!

"Ahhhhh! Ahhhh! Ahhhhh! Sempit banget tempekmu, Rini!" aku mendesah keenakan.

Bersamaan dengan itu, kontolku tertelan sampai mentok menyentuh rahim dengan mudahnya hanya sekali dorong. Sejurus, aku rapatkan kedua pahanya agar semakin menjepit kontolku. Ah, luar biasa. Tambah ketat nan menjepit. Tanpa sadar aku meremas-remas dua buah pantatnya. Beberapa kali tamparan sampai memerah aku lepaskan, lalu mulailah aku menggerakkan pinggul maju-mundur.

Plok! Plok! Plok!

Cepat. Lebih cepat. Masih kurang. Dengan pantat sebagai pegangan, aku menghajar memek Bu Rini sekuat tenaga. Sedikit lagi. Ya, sedikit lagi. Semakin enak meski memeknya becek tak terkira. Justru sensasi seperti ini yang kucari.

Disambung lirih desahan Bu Rini yang kini kepalanya telungkup ke dalam sofa, aku mempercepat tempo genjotan. Kuabaikan peluh keringat yang mulai bercucuran. Adrenalinku kian terpacu. Memilih memfokuskan tujuan menggapai puncakku yang sebentar lagi tiba.

"Ohhhh ... tempekmu enak banget, Riniii!" aku mendengus tak karuan.

Dan sedetik ...

Crot! Crot! Crot! Crot!

Badanku tergetar-getar, kelojotan. Sambil mendongak ke atas, benamkan sedalam-dalamnya kontolku. Membiarkan moncong meriamku melepaskan bola-bola peluru bertubi-tubi. Cengkramanku menguat di bokong Bu Rini yang kujadikan tempat untuk mengebom habis memeknya dengan sperma super sehat yang langsung mengarah ke dalam rahimnya.

Duar!

Kilatan dan sambaran petir di luar sana menjadi pertanda berakhirnya persetubuhan panas di dalam rumah disaksikan seorang gadis di jendela yang kini menghilang entah ke mana.

Tanpa mengeluarkan kontol, aku ambruk menindih tubuh Bu Rini. Menciptakan sengatan listrik statis kala sentuhan kulit kami bertemu satu sama lain. Pun keringat kami berdua bersatu padu menimbulkan sensasi licin.

"Oh, Rini ...." Aku berbisik tepat di telinga Bu Rini.

Wanita paruh baya itu menoleh. Berbagai ekspresi tercipta di sana. Dan hanya satu mimik wajah yang bisa aku tafsirkan: kepuasan.

"Kobe ... kamu tega banget sama Emak." Berkaca-kaca mata Bu Rini mengatakan itu dengan nada merajuk.

"Hhh ... maaf, Mak, maafin aku." Aku mengecup bibir Bu Rini lembut. Lalu, aku pandangi wajahnya yang lelah itu sembari mengelus rambutnya yang lepek. "Sakit?" tanyaku, lembut.

"I-iya." Wajah Bu Rini memerah. Ia memejamkan mata. "Kamu kasar banget. Tempek Emak jadi ngilu," imbuhnya.

"Maaf. Habisnya tempek Emak terlalu nikmat. Aku sampai kebawa suasana."

"Ndak pa-pa, kok. Cuma jangan kayak orang gila gitu mainnya. Emak ini udah ndak muda lagi. Badan Emak sampai sakit semua, tahu!"

Cup!

Aku tak menanggapi. Hanya bibirku yang menjawabnya. Bu Rini pun menyambut. Kami berciuman hangat. Kondisi hujan lebar di luar sana semakin menambah suasana penuh keromantisan kami berdua.

"Kobe?" Bu Rini melepaskan pagutan. Ia mengernyit menatapku. "Ko-kontolmu kok masih keras?"

"Nggak tau. Mungkin masih ketagihan memek sempitnya Emak." Aku menjawab sekenanya. Iseng aku maju-mundurkan pelan sambil tetap berpandangan.

"Sssshhh ... udah, Be, perih tempek Emak. Udah ...." Bu Rini memasang wajah memohon. Melas sekali.

Melihatnya yang sudah tak berdaya ini membuatku kasihan. Mana tega aku melanjutkan persenggamaan ini kalau lawan bermainnya telah mengibarkan bendera putih.

Aku mengganguk mengiyakan permintaan Bu Rini. Setelahnya, bangkit berdiri, lalu pelan-pelan menarik kontolku keluar.

Plop!

Bunyi kontolku yang telah sepenuhnya terbebas dari sangkar ternikmat kedua yang pernah kurasakan. Dan di saat yang bersamaan, mengalir pula lelehan cairan spermaku dari celah memek Bu Rini. Begitu banyak, kental, dan memancarkan aroma pandan bercampur cairan kewanitaan.

Aku bangkit berdiri. Mengambil kotak tisu. Secara mandiri, aku bersihkan cairan yang menempel melumuri batang si Palu Gatot. Kemudian, aku beralih menyeka memek Bu Rini sampai bersih.

Setelahnya, aku buang tisu bekas cairan haram kami berdua ke sembarang tempat. Lantas aku dudukkan Bu Rini terlebih dahulu.

Kami berpandangan. Hanya mata kami yang saling berbicara. Sejurus, senyuman terbit pertama kali di bibir Bu Rini. Disusul bibirku yang menyunggingkan senyum kepuasan.

"Mak, bersih-bersih, yuk!" ajakku, seraya menarik tangan Bu Rini.

"Yuk." Bu Rini seketika berdiri. Baru saja menjejakkan kaki di lantai, ia meringis. Merintih kesakitan sambil memegangi memeknya. "Awww! Sakit!"

"Eh?" tanpa disuruh, aku merengkuh tubuh Bu Rini yang langsung limbung ke arahku. "Aku gendong aja, ya?"

Bu Rini hanya mengangguk lemah. Ia ulurkan kedua tangan merangkul leherku. Sementara kedua tanganku bergerak memerangi pundak dan kaki Bu Rini, dan ... hup!

Ala-ala bridal style, aku bopong tubuh Bu Rini tanpa masalah. Kami bertatapan sejenak. Ada desir aneh saat mata kami saling bertumbuk.

"Mau nambah lah kok sudah lemes begini." Aku membeo jenaka. Mencoba mencairkan suasana yang agak canggung ini.

"Ndak apa-apa kalau Kobe mau nambah. Emak pasrah aja," balas Bu Rini, sambil mengulum senyum.

"Kok gitu?"

"Habisnya enak. Tapi sakit. Eh, apa, ya? Ah, ndak tau, ah!" Bu Rini salah tingkah. Ia membenamkan wajah di tengkuk leherku. Malu-malu kucing.

"Yang bener yang mana? Enak apa sakit?"

"Enak tho, ya. Burungmu yang besar itu sampai mentok di tempek Emak. Tapi ngilu kalau digenjot lama-lama."

"Jadi Emak sukanya digenjot bentaran doang terus crot, gitu?"

"Duh, kah. Ya ndak gitu juga kali."

Sambil aku mulai berjalan menuju belakang rumah tempat kamar mandi berada, aku mendengarkan celotehan Bu Rini membahas persetubuhan paling gila yang baru pertama ia dapatkan.

Setibanya di kamar mandi yang tidak jauh beda dengan kamar mandi di rumah Nenek, aku membantu Bu Rini membersihkan badan. Mengeramasi rambut. Menyabuni dari atas sampai bawah. Setelah itu, ganti aku yang secepat kilat membersihkan badanku sendiri.

Tanpa melepaskan rangkulan di pinggang Bu Rini, aku membilas tubuh kami berdua sekaligus agar tidak memakan waktu. Dilanjutkan mengeringkan badan satu sama lain.

"Udah, Be, Emak coba jalan sendiri," ucap Bu Rini, sesaat ketika aku mengambil ancang-ancang hendak menggendongnya.

"Yang mau gendong Emak itu siapa? Aku cuman mau ngambil sabun."

"Ih, iseng banget."

Saat Bu Rini selesai melilitkan handuk di tubuhnya, aku segera menggendongnya tanpa izin.

Bu Rini yang kaget langsung memeluk leherku agar tidak jatuh. Satu tangannya mencubit pipiku. "Untung ndak jatuh tadi. Kamu ini jahil bener orangnya."

"Hehehe, kalau nggak digendong, nanti Emak kabur." Aku menjawab santai.

Sembari melangkahkan kaki keluar kamar mandi, aku mendongak ke atas menatap langit yang mulai cerah. Sinar mentari mengintip dari balik awan putih, sebelum akhirnya panas mulai membakar kulit.

Saat aku hendak kembali ke ruang tamu, Bu Rini berkata, "Ke kamar Emak aja, Be."

"Siap."

Setelah membaringkan tubuh Bu Rini di atas ranjang, aku balik badan. Melangkah ke ruang tamu. Mengamati sejenak hasil pertempuran kami berdua. Kacau balau.

Satu persatu pakaianku dan Bu Rini aku kumpulkan jadi satu di tangan kanan. Sementara tangan kiri membuang ceceran tisu di mana-mana ke tempat sampah kecil yang berada di pojok pintu.

Saat aku menunduk, kulihat di jendela sudah tidak ada sosok Jihan. Bisa jadi si bumil itu sudah kembali ke warung. Nanti sajalah aku siapa-siapa manja. Sekarang aku ingin bercengkrama terlebih dahulu bersama ibu mertuanya. Hitung-hitung melepas lelah.

Masuk kamar. Aku dapati Bu Rini yang masih berbaring telentang dengan handuk yang masih melekat di tubuhnya.

Aku tersenyum menatapnya. Dibalas pula senyumku olehhnya. Ah, senyum manis penuh keikhlasan yang melengkung indah di bibir tebalnya seakan membawaku larut ke dalam perasaan hangat menyelimuti kalbu.

Pakaian kami yang aku tumpuk kuletakkan di pinggir ranjang. Lantas, aku naik ke atas kasur. Bu Rani menyambut sambil merentangkan kedua tangan.

Kami berpelukan mesra. Berciuman ringan tanpa ada nafsu di benakku. Wajar saja, seluruh nafsuku telah aku tumpahkan bersama Bu Rini beberapa menit yang lalu. Kini, hanya ada perasaan sayang saat tubuh kami kembali bersatu dalam pelukan.

Sejurus kemudian, aku yang maksh telanjang bulat merebahkan diri telanjang di atas ranjang. Bu Rini melepaskan handuknya. Sudah pasti tak ada kain penutup satu pun menghalangi pandanganku menikmati lekuk tubuh montoknya.

Aku elus kepala serta rambut panjang Bu Rini yang basah. Wangi shampoo serta sabunnya kontan menambah kenyamanan diriku berduaan bersamanya di dalam kamar tempat biasa Bu Rini dan Pak Kusno beradu kelamin.

Elusanku di kepala Bu Rini perlahan turun menyusuri punggung. Lalu, berakhir meremas-remas dua buah pantat besar nan padat miliknya.

Bu Rini mengerang. Tangannya ikut bergerilya mencari sesuatu di bawah pusarku. Setelah dapat, ia elus pelan sambil memainkan jempol tangannya di kepala kontolku, lalu berbisik, "Hihihi, kalau bobo gini burungmu lucu, Be," seraya menengok ke bawah menatap si Palu Gatot.

"Hm, jangan dibangunin, dong, Mak. Kalau marah nanti Emak yang bingung."

"Bingung apa coba? Emak sih santai aja tinggal ngangkang, hihihi."

"Bener, ya?" aku mencari-cari lubang memek Bu Rini. Lalu, aku cubit klitorisnya. "Bener tinggal ngangkang?"

Bu Rini tertawa kecil. "Hihihi, bercanda, Be. Emak sudah lemes banget. Istirahat dulu, ya, Sayang."

"Wok, bercandanya bikin ngaceng."

"Sayangku ganteng-ganteng ngacengan."

Kebersamaan kami di dalam kamar memberi ketenangan tersendiri padaku. Disambung obrolan-obrolan ringan, kami semakin mesra dan tak lagi canggung saling meledek dan melontarkan kata-kata jorok.

Sampai kemudian, aku menghentikan canda tawa kami yang mulai menjurus ke selangkangan. Bukannya aku menolak memulai ronde kedua, tapi tenggorokanku haus. Belum lagi perutku yang keroncongan minta asupan gizi karena sejak pagi aku belum sarapan.

"Kamu nyantai aja dulu di belakang, Be. Biar Emak ambilkan makan di warung."

Bu Rini turun dari ranjang. Mengambil celana dalam baru di almari, juga daster baru, lalu memakainya. Sengaja atau tidak, ia tak memakai bra. Membuat gunung kembarnya tercetak jelas dari daster merah muda yang dikenakan. Belum lagi putingnya menonjol samar mengundang mataku jelalatan.

Selesai memilah-milah pakaian serta dalaman bekas percumbuan kami sebelumnya, Bu Rini memasukkannya ke dalam ranjang pakaian kotor di sudut kamar.

Sebelum keluar kamar, Bu Rini menoleh tanpa balik badan, lalu berucap, "Oh, iya. Mau minum apa, Sayang?"

"Es teh aja, Mak. Cocok ini hawanya."

"Cocok gini lagi?" Bu Rini menunjukkan gestur jempol yang terapit jari telunjuk dan tengah kepadaku. Aku menyambutnya dengan tertawa saja.

Sepeninggal Bu Rini yang kembali ke warung, aku putuskan turun dari ranjang untuk memakai pakaianku sendiri. Menghela nafas sejenak, kutinggalkan kamar pribadi Bu Rini.

Baru saja kakiku bergerak tiga langkah, mataku tak sengaja menangkap sebuah foto kecil dalam bingkai model bunga Wijayakusuma yang berada di meja rias. Sebenarnya itu foto biasa saja. Tapi, saat aku memperhatikan dengan seksama, seketika dadaku bergemuruh.

Bagaimana tidak, di dalam foto itu memperlihatkan seorang Bu Rini sewaktu muda. Kira-kira berusia sekitar 21-25 tahunan. Bu Rini nampak anggun memakai kebaya warna putih. Riasan sederhana pada wajahnya, berikut rambut yang disanggul dengan penjepit keemasan memperkuat auranya seperti putri keraton. Dang lagi, masing-masing tangan menggendong dua bayi mungil. Berdiri di depan Bu Rini ada seorang anak laki-laki balita.

Mataku memicing. Perhatianku terfokus pada salah seorang seorang bayi dalam gendongan.

Bajingan!

Bayi itu kan ... bayi itu ... sosok mungil yang sama seperti foto album milik Nenek?

Bagaimana bisa?

Dan apa maksud ini semua?

Kenapa ... kenapa aku berada dalam pelukan wanita yang baru saja menggapai nikmatnya senggama?

Berbagai pertanyaan berputar-putar di kepala. Tanpa memikirkan resiko jika nantinya diomeli Bu Rini, aku mengambil foto itu, lalu kubawa keluar kamar. Tak lupa mengambil rokokku yang ketinggalan di ruang tamu, dengan langkah seribu aku berjalan menuju belakang rumah.

Aku hempaskan pantatku menduduki kursi panjang dari kayu, dan mengambil di sisi kanan. Menunduk. Mengamati sekali lagi diriku yang masih bayi. Meski foto itu sudah sedikit pudar, aku bisa tahu jika itu aku. Tidak salah lagi tahu lalat kecil di bawah mata itu memang milikku.

Helaan nafas sudah aku hembuskan sebanyak empat kali. Membakar rokok sebentar untuk menenangkan diri.

Jujur saja, apa masih meraba-raba alasan logis diriku dikirim ke desa ini oleh orang tuaku dengan dalil menjaga Kakek. Aku punya insting kuat jikalau ada rahasia besar dibalik kebetulan demi kebetulan yang aku alami.

Menelaah lagi ketika aku melepas perjakaku bersama Nenek, bermesraan bersama Tante Ima yang hampir saja aku membelah durennya, dan sekarang permainan gila yang aku mainkan dengan Bu Rini.

Aku berpikir ... apa semudah ini mendapatkan seorang wanita untuk diajak tidur? Apa ada faktor lain, misalnya wajahku yang memang tampan dari lahir, ataukah faktor si Palu Gatot yang menjadi dambaan setiap wanita?

Aku hisap lagi rokokku. Menghembuskannya ke atas. Mataku menerawang jauh hingga menembus awan. Benar adanya ragaku di sini, tapi jiwaku melalang buana entah ke mana. Seolah ada dimensi lain yang repot-repot mengantarkanku menuju tangga kedewasaan. Dewasa dalam menyikapi segala situasi dan kondisi. Seolah memaksaku terus berjuang untuk tetap bertahan dan bergerak selangkah lebih maju.

Entahlah.

"Kobe."

Hampir saja jantungku terlempar saking terkejutnya mendengar suara tipis nan lembut lewat di telinga kiriku. Aku menoleh. Mendapati Bu Rini, yang entah sejak kapan sudah berdiri setengah membungkuk di sampingku. Ia tidak datang hanya modal susu brutalnya saja, melainkan satu porsi sarapan dengan berbagai menu di tangan kanan. Sedangkan tangan kiri memegang es teh gelas jumbo.

Aku paksa bibirku untuk tersenyum guna menutupi keterkejutan serta kepanikanku yang lancang mengambil foto miliknya. Dan dengan bermanuver sedemikian rupa, aku dapat menyembunyikan pigura ke samping paha kanan.

"La-lama banget, Mak. Hampir aja aku mati kelaparan." Aku berseloroh.

"Kobe kenapa?" selidik Bu Rini, seraya meletakkan makanan dan minuman di samping kiriku. Kemudian, Bu Rini ikut duduk sambil menatapku lekat.

"Laper, Mak. Kok masih nanya," jawabku dengan nada naik satu oktaf. Lalu, aku minum es teh melepas dahaga terlebih dahulu sebelum akhirnya menyantap nasi campur dengan lauk rendang.

Bu Rini tidak bodoh. Ia seorang wanita. Wajar kepekaannya lebih tinggi dariku yang notabene seorang lelaki. Hanya saja Bu Rini tak berkata apa pun, dan lebih memilih diam memperhatikan aku makan.

Sampai aku selesai makan pun, Bu Rini masih belum buka suara. Selain adab orang makan tidak boleh diajak ngobrol, bisa jadi ia sedang bergulat dengan pikirannya sendiri.

Namun, aku tak berniat membuat Bu Rini kepikiran sampai harus ia bertanya lagi. Aku tahu diri.

Setelah menyeruput es teh sampai sisa setengah, berikut membakar rokok kedua hingga asapnya memenuhi wajahku, aku membuka obrolan dengan pertanyaan sambil menunjukkan pigura foto yang sebelumnya aku ambil dari kamar, "Bisa jelaskan kenapa aku bisa ada di dalam sini? Bu Rini?"

Sesuai dugaan, ekspresi wajah Bu Rini yang semula datar, kini terkejut sampai kedua matanya membola sempurna. "Kobe ... tunggu. Emak bisa jelaskan."

"Aku mendengarkan."

Bu Rini menarik nafas panjang, lalu ia hembuskan perlahan. Ia perbaiki terlebih dahulu sikap duduknya. Terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya berkata, "Kobe, sebenarnya ...."
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd