Kocidkedua
Semprot Baru
- Daftar
- 27 Mar 2023
- Post
- 35
- Like diterima
- 422
Setelah sebelumnya menulis satu universe sendiri yang terdiri dari sekian banyak cerita, kali ini izinkan ane memulai lembaran baru dengan cerita dan konsep yang lebih segar.
Sekarang ane juga nggak sekosong pas pandemi, jadi ane gak bisa update serutin dulu. Ditambah sekarang dengan GF yang protektif banget (meski untung konsep cerita yang ini lolos hahahahaha). Tapi ane akan berusaha untuk update serutin yang ane bisa.
Terimakasih buat suhu-suhu yang beri ane respon positif di karya-karya ane sebelumnya, dan semoga cerita kali ini bisa menghibur pula.
AND PLEASE DON’T PIRATE MY STORY AGAIN.
Alrighty, then. Without further ado, here goes:
=====
Mulustrasi:
=====
Episode 1: When the Sun Goes Down
=====
“Eh, Dil! Maneh malem ini ikut ngeliput, teu?” ujar salah satu rekan kerjaku.
“Nggak, euy! Aku nggak ambil jatah malem ini, ada agenda lain soalnya.” jawabku sembari memutar kunci motor yang telah tertanam.
“Walah! Panggungan lagi, ya pasti?”
“Nggak, atuh. Kemaren baru manggung, kan aku. Modar kalo malem ini masih liputan lagi juga.”
Rekan kerjaku terlihat kecewa. Mungkin ia akan meliput acara dimana kami diundang sebagai media partner sendiri karena aku memutuskan untuk tidak ikut karena aku juga sudah berkali-kali mengambil jatah tiket konser gratis. Ia yang tadinya bersemangat pun sentak lesu dan genggaman pada press-card di tangannya tidak sekencang sebelumnya.
“Aku duluan, ya kang!”
=====
Beberapa bulan ini menjadi ajang perkenalanku kepada kehidupan yang sesungguhnya. Jujur aku saja bahkan tak menyangka bila aku bisa mendapatkan pekerjaan setelah aku lulus. Dengan aku lulus tepat waktu saja sudah mengejutkan satu fakultas. Bagaimana tidak? Siapa sangka seorang Fadi Hardhan yang terkenal dengan kehidupannya di luar perkuliahan –terlebih merintis karir di dunia musik– bisa memiliki gelar sarjana di akhir namanya, apalagi langsung mendapatkan pekerjaan tak lama setelah aku lulus.
Pekerjaanku juga tak jauh dari apa yang aku minati. Kini aku bekerja sebagai pekerja freelance dibawah nama tim redaksi dari media musik di Bandung. Meski memang gajinya tidak seberapa karena aku juga bekerja freelance, aku cukup menikmati kehidupan pekerjaan ini. Dengan aku kerja freelance juga membatku bisa tetap fokus merintis karir di band-ku saat ini. Memang agak melelahkan dengan gaji yang tak seberapa. Namun ketika aku bisa dibayar menonton musisi-musisi favoritku dengan embel-embel “kerja” dan terus bermusik, I’m living the dream now, what more could you ask?
Tentu orangtuaku tidak begitu mendukungku untuk terus menjalani kehidupan seperti ini, meskipun aku juga mendapatkan DNA musik dari mereka. Ayahku dulu gagal menggapai impiannya untuk menjadi rockstar meski ia sangat ahli dalam bergitar hingga kini menjadi seorang kolektor gitar setelah pensiun, dan ibuku juga dulu merupakan penyanyi paduan suara. Keduanya bertemu di sebuah acara pentas seni dan tiga tahun kemudian mereka menikah dan satu tahun setelahnya aku terlahir ke dunia, dan menjadi satu-satunya anak mereka hingga saat ini. Mereka juga memiliki ekspektasi besar kepadaku dan selalu berusaha untuk memberikanku fasilitas terbaik meski kami bukan dari golongan orang kaya. Namun selera musikku yang mengarah kepada aliran-aliran keras seperti hardcore dan semacamnya menjadi tembok pemisah antara aku dan kedua orangtuaku.
Mereka pun juga sebenarnya membebaskanku, tapi melihat kemana visiku dan kondisi pasar di industri musik membuat orangtuaku meminta untuk mempertimbangkan kembali. Ditambah juga dengan status kerjaku dengan gaji yang standar di daerah dengan UMR yang lebih rendah dari tempat kelahiranku, Jakarta. Wajar, aku sudah harus bisa berdiri dengan kedua kakiku sendiri dan harus menghidupkan keluargaku nantinya. Tapi selagi idealismeku masih bisa selaras dengan apa yang menjadi kondisi di sekelilingku, kenapa nggak?
=====
Aku telah sampai di kediamanku. Sore ini cuacanya cerah, dan penghuni kosanku memanfaatkan waktu senja ini dengan nongkrong di halaman asri yang selalu dirawat oleh bapak kos, menikmati pancaran halus langit jingga.
Kosanku memang bukan kosan yang megah, namun untuk ukuran segini sudah lebih dari cukup. Kamar yang luas, halaman yang hijau, rooftop yang sering digunakan untuk tempat berkumpul, ditambah dengan fasilitas-fasilitas yang lengkap. Kosanku juga terhitung bebas. Tak jarang aku melihat ada alas kaki wanita di depan pintu kamar tetanggaku di malam hari yang mungkin menjadi nilai plus bagi penghuni. Sayangnya saja kebanyakan penghuninya bersikap individualis, namun mungkin masuk akal juga mengingat di kos ini tidak semuanya mahasiswa atau pekerja. Diantaranya juga masih ada yang saling berteman antara satu sama lain.
Sebagai pribadi yang berasal dari Jakarta dan tidak memiliki keluarga di Bandung, aku menyewa kos sebagai tempat peristirahatan. Kos ini memiliki fasilitas yang cukup mewah yang membuatku rela menyisihkan sepertiga penghasilan bulananku. Bahkan saat aku berkuliah saja kosanku tidak semewah ini. Namun aku merasa diriku pantas untuk bisa memiliki fasilitas ini.
Setelah memasuki kamarku, aku langsung melempar tasku kesamping dan melompat ke kasurku tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu. Aku memang menikmati kehidupanku di kantor dan diluarnya, tapi aku begitu benci dengan apa yang harus aku lalui untuk mendatangi tempat itu. Kemacetan di kota ini begitu gila dan melelahkan.
Acara tadi malam sangat meriah. Waktu terus berjalan dan putaran botol minuman keras terus berlanjut hingga aku dan yang lain menggila. Efeknya? Aku begitu kelelahan hari ini dan aku masih harus menghadapi kerasnya kemacetan kota Bandung. Di kantor saja aku benar-benar tidak melakukan apa-apa selain bekerja. Biasanya aku masih bisa mencuri waktu untuk nongkrong bersama kang Dayat yang menjadi editor di media ini. Atau aku bisa menyempatkan diri untuk berbincang dengan teh Laras, rekan terdekatku di kantor dan seringkali menjadi partnerku ketika kami harus meliput.
Malam ini aku juga tidak bisa beristirahat selama yang kumau karena teman-teman band-ku ingin merayakan rilisnya lagu terbaru kami di berbagai streaming platform dan acara kemarin yang menjadi gig terbaik yang pernah kami mainkan. Entah apakah akan ada alkohol lagi malam ini, namun lambungku mungkin tak akan kuat menerimanya lagi.
Speak of the devil, seseorang membuka pintu kamarku.
“Woy! Tidur bae, lu!” Ujar temanku sambil melempar serenceng makanan ringan tepat ke wajahku.
“Anying, ketok dulu kalo mau masuk, ngentot!” Balasku kesal.
“Yaelah, Dil. Udah lama kenal juga kan, kite.” Jawabnya dan kini mereka semua berjalan menghampiriku dan duduk diatas karpet.
Ah, sial. Setidaknya biarkan aku tidur sejenak.
=====
Unwanted. Itulah perasaan kami semua pada saat itu hingga kami membuat gerakan pemberontakan semasa pendidikan putih abu-abu kami. Band ini didirikan saat aku bertemu dengan Seno di ekstrakulikuler musik SMA. Pertemuan pertama kami juga begitu lucu bila diingat. Kala itu kami tanpa ada rencana mengenakan kaos merchandise Turnstile yang sama, band hardcore asal Amerika Serikat. Tawaan saat itulah yang menjadi awalan dari persahabatan kami hingga saat ini, bahkan sempat mengontrak bersama semasa kuliah kami sebelum kami berpisah karena Seno yang mencari kos lebih dekat dari kampus dan aku yang juga harus pindah ke kos karena tak sanggup mengontrak sendiri.
Kami pun mulai sering melakukan jamming bersama memainkan musik-musik hardcore saat latihan. Namun pada saat itu kami mendapat kritikan pedas dari senior dan siapapun yang ikut jamming bersama kami karena kami dinilai tidak pantas untuk menjadi perwakilan ekskul untuk perlombaan atau momen apapun, hanya karena aliran musik yang ingin kami mainkan.
Semenjak saat itu, kami memulai pergerakan kami dan di tongkrongan kami bertemu dengan Morris yang meski tidak menyanyikan lagu-lagu keras, tetapi ia memiliki suara teriakan yang pas untuk band kami. Kami pun mengajaknya untuk bermain bersama kami meski harus kami sogok dengan alkohol karena ia tidak begitu berminat awalnya. Untungnya bagi kami juga saat itu ada senior yang juga tertarik untuk bermain bersama kami, namun sayangnya setelah ia lulus kami harus kehilangan sosoknya.
Meski hal ini merupakan momen langka, kami akhirnya bisa mendapatkan kesempatan untuk bermain di acara sekolah, dan kami menjadi anomali pada saat itu dimana beberapa penampil lainnya memainkan lagu-lagu reggae dan RnB. Namun, kamilah yang menjadi pemeriah acara dan menjadikan momen itu sebagai satu-satunya momen dimana ada yang ber-moshing di dalam acara sekolah kami. Namun kerusuhan sehat itu dipotong oleh pihak sekolah meski kami belum selesai menampilkan performa kami. Kami mendapat sedikit permasalahan dari pihak sekolah dan dari ekskulku juga sudah lepas tangan seolah mereka tak ingin memiliki urusan apapun dengan kami. Akan tetapi, semua orang —yang menyukai musik keras— terus menyuarakan nama kami dan mengharapkan penampilan kami.
Memasuki masa perkuliahan, kami mulai memfokuskan band ini dan mulai merintis karir di dunia musik. Kami bahkan bersikeras untuk berkuliah di kota Bandung supaya kami tidak begitu jauh terpisah dan menjadikan kota ini sebagai titik awal karir kami. Di saat inilah kami dipertemukan dengan Umair berkat Morris yang kuliah terpisah dengan kami.
Sudah empat tahun band kami berjalan dan dari koneksi-koneksi yang kami dapat dari gig-gig underground di kota ini, kami sudah memiliki ribuan pengikut di media sosial kami dan ribuan pendengar bulanan di streaming platform.
=====
“Cheers!”
Seperti dugaanku, Morris datang membawa dua botol alkohol keras untuk menemani malam kami. Namun aku yang sudah kelelahan lebih memilih untuk membeli bir karena aku sudah tidak kuat. Seno juga seorang straight edge, tidak merokok dan bukan pemabuk, yang membuat Morris dan Umair harus meneguk minuman haram itu berdua.
Satu botol telah ditenggak, dan mereka berdua sudah mulai teler. Aku dan Seno yang tidak ‘naik’ kini fokus bermain game Moba Analog di hape kami. Morris juga sudah mulai meracau tidak jelas dengan Umair yang menghasilkan komunikasi tingkat tinggi dan hanya orang sedeng yang bisa memahami pembicaraan mereka. Kelucuan itu juga membuat fokusku sedikit buyar yang membuat Seno emosi.
“Fadil! Balik ke base, bego!” Teriaknya yang masih begitu fokus menatap layar.
“Ahhh… kalooo lu maunya sama siapa, Mir…” ucap Morris tiba-tiba yang membuatku tak kuat menahan tawa.
“Aduh, bentar anjing. Gak kuat gua!” Jawabku cekikikan tak kuat menahan tawa.
“Ah, babi! Kalah, kan?!” Balas Seno yang meluapkan kekesalannya.
Seno membanting hapenya ke kasurku dan ia langsung melahap satu potong Pizza yang kubeli. Akupun juga langsung menaruh hapeku dan membakar sebatang rokok sembari melihat kebodohan yang diciptakan oleh Morris dan Umair. Umair juga sudah nyaris tak sadarkan diri dan Morris terus menggodanya dengan kondisinya yang sudah mulai tidak jelas.
“Udah, lah Mir! Kalo mau muntah mah… muntah ajaa!” Ledek Morris.
“Berisik lu, ah! Gua ‘ge masih sadar ini!” Balasnya sewot.
“Mir… kita kan udah kenal empat tahun, nih… paham banget gua, mah ama elu!” Jawab Morris terus meledek Umair meski sangat tidak jelas.
“Udah lah, Mir… Muntahin aja… kita belom masuk ke bahasan serius, nih! Masih ada satu botol juga!”
Dengan Morris yang terus-terusan meledek Umair dan memberi gimmick memuntahkan sesuatu di depannya, Umair mulai tidak tahan. Tiba-tiba Umair beranjak dari duduknya dan melompat ke kamar mandi dan membanting pintunya kencang. Belum lama setelah itu juga aku mulai mendengar suara muntahan yang sedikit satisfying meski agak menjijikan.
“Yah, keluar siluman WC-nya.” Candaku yang membuat Morris tertawa kencang.
Setelah memuntahkan isi perutnya, Umair akhirnya keluar dari kamar mandi dan ia langsung merebahkan dirinya diatas karpet. Morris yang masih belum puas pun kembali membuka botol yang tersisa dan menuangkan cairan laknat itu untuk dirinya sendiri.
“Nah… mulai kali, ya…” mulainya. “kan udah rilis album, nih… kita nggak ada niatan mau bikin showcase, gitu?…”
“Lah, ayo aja gua mah.” Jawab Seno mengiyakan. “Mau showcase dimana aja? Jangan di Bandung doang lagi, cok.”
“… sampe Bali kali, ya…”
“Wah, ngaco lu, Ris. Itu mah lu doang yang berangkat sisanya kagak.” Bantahku. “Kalo mau showcase juga belom kita nyari crew-nya, nyari band yang mau ikut ama kita, budget juga perlu gede kalo kita mau sekalian tur ala-ala.”
“Oh iya, ya.” Balas Seno. “Sponsor kita juga gimana?”
“Kata gua, mah kita perlu manajer dah sekarang.” Ujarku.
“Udah, Dil… Urusan manajer-manajeran udah aman sama lu… Masalah duit juga gampang… Gua tombokin…” sanggah Morris.
“Udah, Ris. Lu tidur aja, udah. Lu ngomongin beginian jangan sambil mabok.” Perintahku sembari merebahkan Morris.
“Ah, mau ngentot, gua!” Jawabnya kencang dan sembari ia berbaring ia membuka ponselnya.
Dengan Morris yang kini sibuk dengan hapenya, aku dan Seno yang masih bisa berpikir jernih melanjutkan pembicaraan kami. Kami juga memiliki pemikiran yang sama. Dengan momentum yang kami miliki saat ini juga kami harus gencar mempromosikan EP terbaru kami.
Mengadakan showcase adalah hal yang baru bagi kami. Meski kami sering diundang untuk bermain di berbagai acara, kami tak pernah mendirikan acara sendiri. Hal ini juga disebabkan oleh kondisiku yang kini sudah lulus dan hasil dari panggungan band juga aku sarankan untuk dialokasikan ke masing-masing personil dengan persentil yang lebih besar dibanding kepada pemasukan band.
Hal itu juga terkadang menghambat kami dalam beberapa hal, terutama produksi merchandise. Modal yang tak besar dan peminat yang ‘naik-turun’ kadang membuat kami tak bisa tak bisa membuka slot pre-order yang banyak, meski penjualan merchandise juga menjadi sumber pemasukan terbesar kami.
“Terus kita belom ada tawaran manggung lagi, nih?” Tanya Seno.
“Beloman, sih. Cuma kata gua kalo emang mau nyari dana sambil nunggu sponsor mending kita kencengin merch lagi, terus liat minat dari audiensnya. Misal kita taro di tenant buat jualan pas kita manggung dan demand-nya gede, baru kita produksi gede lagi.” Jelasku.
“Nah, ada gak panggungannya?”
“Nah, belom ada.”
Bahkan dua orang yang masih bisa berpikir jernih juga tidak bisa memecahkan masalah ini. Benar apa kata orang. Jangan berharap bisa kaya dengan cepat bila memilih untuk menjadikan musik sebagai karir.
“Dah, ah! Mau cabut dulu!” Teriak Morris tiba-tiba mengejutkan kami.
“Anjing, mau kemana, lu?” Tanyaku heran.
“Mau ngewe dulu bray, hahahah.” Jawabnya santai tanpa beban.
“Lah terus ini Umir balik ama siapa entar, sat?” Balasku.
“Lu masih kuat nyetir mabok gini?” Sambung Seno.
“Gua dijemput, kok. Mobil gua tinggal disini entar pagi gua balik lagi.” Jawabnya sembari merapihkan diri.
“Enak juga hidup lu, Ris. Duit banyak, ampe memek juga yang ngejemput lu bukan lu yang jemput memek.” Gurau Seno.
“Eh, nggak, nggak, anjing! Urusin Umir dulu baru lu cabut!” Sanggahku.
“Dah, ah. Gua cabut dulu, ya.”
Morris beranjak meninggalkan kamarku, dan bertepatan dengan kepergiannya, suara gemuruh siluman WC terdengar dari belakang kami.
“Hoeeeek….”
Aku dan Seno pun langsung menoleh kearahnya. Benar saja, Umir telah memuntahkan segala isi perutnya tepat diatas karpetku yang baru saja kuambil dari laundri.
Satu hal yang pasti, aku akan menggunakan kas band untuk menyuci karpetku.
=====
DAFTAR ISI
EP. 1: WHEN THE SUN GOES DOWN (page 1)
EP. 2: DEER IN THE HEADLIGHTS (page 1)
EP. 3: BEAUTIFUL DAY (page 3)
EP. 4: WHEN CAN I SEE YOU AGAIN? (page 4)
EP. 5: YELLOW (page 8)
EP. 6: IF IT MEANS A LOT TO YOU (page 10)
EP. 7: IT STARTED OFF WITH A… (page 11)
EP. 8: HERE AFTER (page 15)
EP. 9: SUNDAY MORNING (next update)
Sekarang ane juga nggak sekosong pas pandemi, jadi ane gak bisa update serutin dulu. Ditambah sekarang dengan GF yang protektif banget (meski untung konsep cerita yang ini lolos hahahahaha). Tapi ane akan berusaha untuk update serutin yang ane bisa.
Terimakasih buat suhu-suhu yang beri ane respon positif di karya-karya ane sebelumnya, dan semoga cerita kali ini bisa menghibur pula.
AND PLEASE DON’T PIRATE MY STORY AGAIN.
Alrighty, then. Without further ado, here goes:
=====
Mulustrasi:
=====
Episode 1: When the Sun Goes Down
=====
“Eh, Dil! Maneh malem ini ikut ngeliput, teu?” ujar salah satu rekan kerjaku.
“Nggak, euy! Aku nggak ambil jatah malem ini, ada agenda lain soalnya.” jawabku sembari memutar kunci motor yang telah tertanam.
“Walah! Panggungan lagi, ya pasti?”
“Nggak, atuh. Kemaren baru manggung, kan aku. Modar kalo malem ini masih liputan lagi juga.”
Rekan kerjaku terlihat kecewa. Mungkin ia akan meliput acara dimana kami diundang sebagai media partner sendiri karena aku memutuskan untuk tidak ikut karena aku juga sudah berkali-kali mengambil jatah tiket konser gratis. Ia yang tadinya bersemangat pun sentak lesu dan genggaman pada press-card di tangannya tidak sekencang sebelumnya.
“Aku duluan, ya kang!”
=====
Beberapa bulan ini menjadi ajang perkenalanku kepada kehidupan yang sesungguhnya. Jujur aku saja bahkan tak menyangka bila aku bisa mendapatkan pekerjaan setelah aku lulus. Dengan aku lulus tepat waktu saja sudah mengejutkan satu fakultas. Bagaimana tidak? Siapa sangka seorang Fadi Hardhan yang terkenal dengan kehidupannya di luar perkuliahan –terlebih merintis karir di dunia musik– bisa memiliki gelar sarjana di akhir namanya, apalagi langsung mendapatkan pekerjaan tak lama setelah aku lulus.
Pekerjaanku juga tak jauh dari apa yang aku minati. Kini aku bekerja sebagai pekerja freelance dibawah nama tim redaksi dari media musik di Bandung. Meski memang gajinya tidak seberapa karena aku juga bekerja freelance, aku cukup menikmati kehidupan pekerjaan ini. Dengan aku kerja freelance juga membatku bisa tetap fokus merintis karir di band-ku saat ini. Memang agak melelahkan dengan gaji yang tak seberapa. Namun ketika aku bisa dibayar menonton musisi-musisi favoritku dengan embel-embel “kerja” dan terus bermusik, I’m living the dream now, what more could you ask?
Tentu orangtuaku tidak begitu mendukungku untuk terus menjalani kehidupan seperti ini, meskipun aku juga mendapatkan DNA musik dari mereka. Ayahku dulu gagal menggapai impiannya untuk menjadi rockstar meski ia sangat ahli dalam bergitar hingga kini menjadi seorang kolektor gitar setelah pensiun, dan ibuku juga dulu merupakan penyanyi paduan suara. Keduanya bertemu di sebuah acara pentas seni dan tiga tahun kemudian mereka menikah dan satu tahun setelahnya aku terlahir ke dunia, dan menjadi satu-satunya anak mereka hingga saat ini. Mereka juga memiliki ekspektasi besar kepadaku dan selalu berusaha untuk memberikanku fasilitas terbaik meski kami bukan dari golongan orang kaya. Namun selera musikku yang mengarah kepada aliran-aliran keras seperti hardcore dan semacamnya menjadi tembok pemisah antara aku dan kedua orangtuaku.
Mereka pun juga sebenarnya membebaskanku, tapi melihat kemana visiku dan kondisi pasar di industri musik membuat orangtuaku meminta untuk mempertimbangkan kembali. Ditambah juga dengan status kerjaku dengan gaji yang standar di daerah dengan UMR yang lebih rendah dari tempat kelahiranku, Jakarta. Wajar, aku sudah harus bisa berdiri dengan kedua kakiku sendiri dan harus menghidupkan keluargaku nantinya. Tapi selagi idealismeku masih bisa selaras dengan apa yang menjadi kondisi di sekelilingku, kenapa nggak?
=====
Aku telah sampai di kediamanku. Sore ini cuacanya cerah, dan penghuni kosanku memanfaatkan waktu senja ini dengan nongkrong di halaman asri yang selalu dirawat oleh bapak kos, menikmati pancaran halus langit jingga.
Kosanku memang bukan kosan yang megah, namun untuk ukuran segini sudah lebih dari cukup. Kamar yang luas, halaman yang hijau, rooftop yang sering digunakan untuk tempat berkumpul, ditambah dengan fasilitas-fasilitas yang lengkap. Kosanku juga terhitung bebas. Tak jarang aku melihat ada alas kaki wanita di depan pintu kamar tetanggaku di malam hari yang mungkin menjadi nilai plus bagi penghuni. Sayangnya saja kebanyakan penghuninya bersikap individualis, namun mungkin masuk akal juga mengingat di kos ini tidak semuanya mahasiswa atau pekerja. Diantaranya juga masih ada yang saling berteman antara satu sama lain.
Sebagai pribadi yang berasal dari Jakarta dan tidak memiliki keluarga di Bandung, aku menyewa kos sebagai tempat peristirahatan. Kos ini memiliki fasilitas yang cukup mewah yang membuatku rela menyisihkan sepertiga penghasilan bulananku. Bahkan saat aku berkuliah saja kosanku tidak semewah ini. Namun aku merasa diriku pantas untuk bisa memiliki fasilitas ini.
Setelah memasuki kamarku, aku langsung melempar tasku kesamping dan melompat ke kasurku tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu. Aku memang menikmati kehidupanku di kantor dan diluarnya, tapi aku begitu benci dengan apa yang harus aku lalui untuk mendatangi tempat itu. Kemacetan di kota ini begitu gila dan melelahkan.
Acara tadi malam sangat meriah. Waktu terus berjalan dan putaran botol minuman keras terus berlanjut hingga aku dan yang lain menggila. Efeknya? Aku begitu kelelahan hari ini dan aku masih harus menghadapi kerasnya kemacetan kota Bandung. Di kantor saja aku benar-benar tidak melakukan apa-apa selain bekerja. Biasanya aku masih bisa mencuri waktu untuk nongkrong bersama kang Dayat yang menjadi editor di media ini. Atau aku bisa menyempatkan diri untuk berbincang dengan teh Laras, rekan terdekatku di kantor dan seringkali menjadi partnerku ketika kami harus meliput.
Malam ini aku juga tidak bisa beristirahat selama yang kumau karena teman-teman band-ku ingin merayakan rilisnya lagu terbaru kami di berbagai streaming platform dan acara kemarin yang menjadi gig terbaik yang pernah kami mainkan. Entah apakah akan ada alkohol lagi malam ini, namun lambungku mungkin tak akan kuat menerimanya lagi.
Speak of the devil, seseorang membuka pintu kamarku.
“Woy! Tidur bae, lu!” Ujar temanku sambil melempar serenceng makanan ringan tepat ke wajahku.
“Anying, ketok dulu kalo mau masuk, ngentot!” Balasku kesal.
“Yaelah, Dil. Udah lama kenal juga kan, kite.” Jawabnya dan kini mereka semua berjalan menghampiriku dan duduk diatas karpet.
Ah, sial. Setidaknya biarkan aku tidur sejenak.
=====
Unwanted. Itulah perasaan kami semua pada saat itu hingga kami membuat gerakan pemberontakan semasa pendidikan putih abu-abu kami. Band ini didirikan saat aku bertemu dengan Seno di ekstrakulikuler musik SMA. Pertemuan pertama kami juga begitu lucu bila diingat. Kala itu kami tanpa ada rencana mengenakan kaos merchandise Turnstile yang sama, band hardcore asal Amerika Serikat. Tawaan saat itulah yang menjadi awalan dari persahabatan kami hingga saat ini, bahkan sempat mengontrak bersama semasa kuliah kami sebelum kami berpisah karena Seno yang mencari kos lebih dekat dari kampus dan aku yang juga harus pindah ke kos karena tak sanggup mengontrak sendiri.
Kami pun mulai sering melakukan jamming bersama memainkan musik-musik hardcore saat latihan. Namun pada saat itu kami mendapat kritikan pedas dari senior dan siapapun yang ikut jamming bersama kami karena kami dinilai tidak pantas untuk menjadi perwakilan ekskul untuk perlombaan atau momen apapun, hanya karena aliran musik yang ingin kami mainkan.
Semenjak saat itu, kami memulai pergerakan kami dan di tongkrongan kami bertemu dengan Morris yang meski tidak menyanyikan lagu-lagu keras, tetapi ia memiliki suara teriakan yang pas untuk band kami. Kami pun mengajaknya untuk bermain bersama kami meski harus kami sogok dengan alkohol karena ia tidak begitu berminat awalnya. Untungnya bagi kami juga saat itu ada senior yang juga tertarik untuk bermain bersama kami, namun sayangnya setelah ia lulus kami harus kehilangan sosoknya.
Meski hal ini merupakan momen langka, kami akhirnya bisa mendapatkan kesempatan untuk bermain di acara sekolah, dan kami menjadi anomali pada saat itu dimana beberapa penampil lainnya memainkan lagu-lagu reggae dan RnB. Namun, kamilah yang menjadi pemeriah acara dan menjadikan momen itu sebagai satu-satunya momen dimana ada yang ber-moshing di dalam acara sekolah kami. Namun kerusuhan sehat itu dipotong oleh pihak sekolah meski kami belum selesai menampilkan performa kami. Kami mendapat sedikit permasalahan dari pihak sekolah dan dari ekskulku juga sudah lepas tangan seolah mereka tak ingin memiliki urusan apapun dengan kami. Akan tetapi, semua orang —yang menyukai musik keras— terus menyuarakan nama kami dan mengharapkan penampilan kami.
Memasuki masa perkuliahan, kami mulai memfokuskan band ini dan mulai merintis karir di dunia musik. Kami bahkan bersikeras untuk berkuliah di kota Bandung supaya kami tidak begitu jauh terpisah dan menjadikan kota ini sebagai titik awal karir kami. Di saat inilah kami dipertemukan dengan Umair berkat Morris yang kuliah terpisah dengan kami.
Sudah empat tahun band kami berjalan dan dari koneksi-koneksi yang kami dapat dari gig-gig underground di kota ini, kami sudah memiliki ribuan pengikut di media sosial kami dan ribuan pendengar bulanan di streaming platform.
=====
“Cheers!”
Seperti dugaanku, Morris datang membawa dua botol alkohol keras untuk menemani malam kami. Namun aku yang sudah kelelahan lebih memilih untuk membeli bir karena aku sudah tidak kuat. Seno juga seorang straight edge, tidak merokok dan bukan pemabuk, yang membuat Morris dan Umair harus meneguk minuman haram itu berdua.
Satu botol telah ditenggak, dan mereka berdua sudah mulai teler. Aku dan Seno yang tidak ‘naik’ kini fokus bermain game Moba Analog di hape kami. Morris juga sudah mulai meracau tidak jelas dengan Umair yang menghasilkan komunikasi tingkat tinggi dan hanya orang sedeng yang bisa memahami pembicaraan mereka. Kelucuan itu juga membuat fokusku sedikit buyar yang membuat Seno emosi.
“Fadil! Balik ke base, bego!” Teriaknya yang masih begitu fokus menatap layar.
“Ahhh… kalooo lu maunya sama siapa, Mir…” ucap Morris tiba-tiba yang membuatku tak kuat menahan tawa.
“Aduh, bentar anjing. Gak kuat gua!” Jawabku cekikikan tak kuat menahan tawa.
“Ah, babi! Kalah, kan?!” Balas Seno yang meluapkan kekesalannya.
Seno membanting hapenya ke kasurku dan ia langsung melahap satu potong Pizza yang kubeli. Akupun juga langsung menaruh hapeku dan membakar sebatang rokok sembari melihat kebodohan yang diciptakan oleh Morris dan Umair. Umair juga sudah nyaris tak sadarkan diri dan Morris terus menggodanya dengan kondisinya yang sudah mulai tidak jelas.
“Udah, lah Mir! Kalo mau muntah mah… muntah ajaa!” Ledek Morris.
“Berisik lu, ah! Gua ‘ge masih sadar ini!” Balasnya sewot.
“Mir… kita kan udah kenal empat tahun, nih… paham banget gua, mah ama elu!” Jawab Morris terus meledek Umair meski sangat tidak jelas.
“Udah lah, Mir… Muntahin aja… kita belom masuk ke bahasan serius, nih! Masih ada satu botol juga!”
Dengan Morris yang terus-terusan meledek Umair dan memberi gimmick memuntahkan sesuatu di depannya, Umair mulai tidak tahan. Tiba-tiba Umair beranjak dari duduknya dan melompat ke kamar mandi dan membanting pintunya kencang. Belum lama setelah itu juga aku mulai mendengar suara muntahan yang sedikit satisfying meski agak menjijikan.
“Yah, keluar siluman WC-nya.” Candaku yang membuat Morris tertawa kencang.
Setelah memuntahkan isi perutnya, Umair akhirnya keluar dari kamar mandi dan ia langsung merebahkan dirinya diatas karpet. Morris yang masih belum puas pun kembali membuka botol yang tersisa dan menuangkan cairan laknat itu untuk dirinya sendiri.
“Nah… mulai kali, ya…” mulainya. “kan udah rilis album, nih… kita nggak ada niatan mau bikin showcase, gitu?…”
“Lah, ayo aja gua mah.” Jawab Seno mengiyakan. “Mau showcase dimana aja? Jangan di Bandung doang lagi, cok.”
“… sampe Bali kali, ya…”
“Wah, ngaco lu, Ris. Itu mah lu doang yang berangkat sisanya kagak.” Bantahku. “Kalo mau showcase juga belom kita nyari crew-nya, nyari band yang mau ikut ama kita, budget juga perlu gede kalo kita mau sekalian tur ala-ala.”
“Oh iya, ya.” Balas Seno. “Sponsor kita juga gimana?”
“Kata gua, mah kita perlu manajer dah sekarang.” Ujarku.
“Udah, Dil… Urusan manajer-manajeran udah aman sama lu… Masalah duit juga gampang… Gua tombokin…” sanggah Morris.
“Udah, Ris. Lu tidur aja, udah. Lu ngomongin beginian jangan sambil mabok.” Perintahku sembari merebahkan Morris.
“Ah, mau ngentot, gua!” Jawabnya kencang dan sembari ia berbaring ia membuka ponselnya.
Dengan Morris yang kini sibuk dengan hapenya, aku dan Seno yang masih bisa berpikir jernih melanjutkan pembicaraan kami. Kami juga memiliki pemikiran yang sama. Dengan momentum yang kami miliki saat ini juga kami harus gencar mempromosikan EP terbaru kami.
Mengadakan showcase adalah hal yang baru bagi kami. Meski kami sering diundang untuk bermain di berbagai acara, kami tak pernah mendirikan acara sendiri. Hal ini juga disebabkan oleh kondisiku yang kini sudah lulus dan hasil dari panggungan band juga aku sarankan untuk dialokasikan ke masing-masing personil dengan persentil yang lebih besar dibanding kepada pemasukan band.
Hal itu juga terkadang menghambat kami dalam beberapa hal, terutama produksi merchandise. Modal yang tak besar dan peminat yang ‘naik-turun’ kadang membuat kami tak bisa tak bisa membuka slot pre-order yang banyak, meski penjualan merchandise juga menjadi sumber pemasukan terbesar kami.
“Terus kita belom ada tawaran manggung lagi, nih?” Tanya Seno.
“Beloman, sih. Cuma kata gua kalo emang mau nyari dana sambil nunggu sponsor mending kita kencengin merch lagi, terus liat minat dari audiensnya. Misal kita taro di tenant buat jualan pas kita manggung dan demand-nya gede, baru kita produksi gede lagi.” Jelasku.
“Nah, ada gak panggungannya?”
“Nah, belom ada.”
Bahkan dua orang yang masih bisa berpikir jernih juga tidak bisa memecahkan masalah ini. Benar apa kata orang. Jangan berharap bisa kaya dengan cepat bila memilih untuk menjadikan musik sebagai karir.
“Dah, ah! Mau cabut dulu!” Teriak Morris tiba-tiba mengejutkan kami.
“Anjing, mau kemana, lu?” Tanyaku heran.
“Mau ngewe dulu bray, hahahah.” Jawabnya santai tanpa beban.
“Lah terus ini Umir balik ama siapa entar, sat?” Balasku.
“Lu masih kuat nyetir mabok gini?” Sambung Seno.
“Gua dijemput, kok. Mobil gua tinggal disini entar pagi gua balik lagi.” Jawabnya sembari merapihkan diri.
“Enak juga hidup lu, Ris. Duit banyak, ampe memek juga yang ngejemput lu bukan lu yang jemput memek.” Gurau Seno.
“Eh, nggak, nggak, anjing! Urusin Umir dulu baru lu cabut!” Sanggahku.
“Dah, ah. Gua cabut dulu, ya.”
Morris beranjak meninggalkan kamarku, dan bertepatan dengan kepergiannya, suara gemuruh siluman WC terdengar dari belakang kami.
“Hoeeeek….”
Aku dan Seno pun langsung menoleh kearahnya. Benar saja, Umir telah memuntahkan segala isi perutnya tepat diatas karpetku yang baru saja kuambil dari laundri.
Satu hal yang pasti, aku akan menggunakan kas band untuk menyuci karpetku.
=====
DAFTAR ISI
EP. 1: WHEN THE SUN GOES DOWN (page 1)
EP. 2: DEER IN THE HEADLIGHTS (page 1)
EP. 3: BEAUTIFUL DAY (page 3)
EP. 4: WHEN CAN I SEE YOU AGAIN? (page 4)
EP. 5: YELLOW (page 8)
EP. 6: IF IT MEANS A LOT TO YOU (page 10)
EP. 7: IT STARTED OFF WITH A… (page 11)
EP. 8: HERE AFTER (page 15)
EP. 9: SUNDAY MORNING (next update)
Terakhir diubah: