Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG G I W A N G

BAB 26


Tuan Naga Tujuh berdiri di teras Villa menghadap lautan di ujung sana. Seorang lelaki yang baru saja turun dari kapal kapal pesiar kecil, berjalan tertatih menuju Tuan Naga.

Dia adalah Muin. Saat sudah sampai di hadapan Tuan Naga Tujuh dia langsung salim layaknya seorang anak kepada ayahnya. Sebelum itu, Muin tak lupa untuk melepas topinya.

"Bagaimana dengan anggota kita?" Tuan Naga Tujuh bertanya dengan sorot mata seriusnya.

"Semuanya telah bekerja dengan baik, Tuan Naga" Jawab Muin.

Tuan Naga Tujuh tersenyum kecut, "Mungkin sekarang Tuan Naga Sembilan sedang bersenang-senang karena melindungi anak asuhnya sendiri”

“Dia tidak tahu siapa Dirga sebenarnya. Kedepan dia mungkin akan kewalahan jika bocah kencur bernama Azka itu sudah menunjukkan taring untuk melawan pamannya."

"Memangnya siapa Pak Dirga sebenarnya, Tuan Naga?" Tanya Muin penasaran.

Tuan Naga Tujuh mengajak Muin untuk duduk di teras Villa. Tak lama kemudian seorang pelayan datang membawa dua gelas minuman dan sepiring camilan lalu menghidangkannya di atas meja.

"Minum dulu!" Tawar Tuan Naga Tujuh.

Muin mengangguk lalu meraih gelas kemudian menyeruputnya. Angin berhembus cukup kencang dari arah laut. Suasana tampak begitu tenang di pulau itu. Kadang Muin berpikir, apakah Tuan Naga Tujuh tidak bosan tinggal sendirian disini, tanpa istri dan hanya ditemani sedikit anak buahnya.

"Semasa kecil, Dirga diangkat anak oleh Kedua Orang Tua kandung Santanu. Dia dipungut dari panti, kedua orang tua Santanu berniat menjadikan anak itu sebagai saudara (Adik angkat) sekaligus pelindungnya kelak”

“Dirga di didik sedemikian rupa agar memiliki ilmu bela diri yang mumpuni dan ketika dia sudah cukup dewasa, kedua orang tua Santanu memasukkannya ke dalam Militer”

“Dirga menjadi tentara yang kuat dan paling berani. Prestasinya adalah membasmi para pemberontak di Irian Jaya dan menyelamatkan seorang Jenderal yang disandera oleh para pemberontak di sana."

Muin terkejut mendengarnya.

Tuan Naga Tujuh kembali melanjutkan kata-katanya.

"Sebelum hal buruk terjadi pada keluarga angkatnya itu, saat dia masih tinggal di panti asuhan dulu, kabarnya dia sudah membunuh lima anak panti lainnya dengan menenggelamkan mereka ke dalam sumur tua."

Muin terngaga mendengar itu.

"Kabarnya, Kedua Orang Tua kandung Santanu meninggal juga gara-gara Dirga" Lanjut Tuan Naga Tujuh.

"Pak Dirga yang membunuhnya?" Gumam Muin tak percaya.

"Sampai sekarang semuanya masih menjadi misteri apa penyebab kematian Kedua Orang Tua Santanu yang mendadak itu”

“Semuanya mengira terkena serangan jantung. Padahal, dialah yang membunuhnya karena iri melihat kedua orang tuanya lebih sayang pada Santanu”

“Dia sadar sebagai anak pungut, namun kerana sudah betah hidup dipenuhi kemewahan, dia memberontak saat merasa dibedakan dan menuntut persamaan."

"Lalu kenapa Pak Dirga sudah tidak aktif bertugas di kemiliteran lagi? Apakah sudah pensiun?" Tanya Muin penasaran.

"Bukan karena pensiun, tapi diduga telah membunuh puluhan tentara yang sedang tertidur di asrama” Jawab Tuan Naga Tujuh.

Muin kian terkejut mendengarnya, "Kenapa Pak Dirga sampai sekarang tidak dipenjara karena hal itu?"

Tuan Naga Tujuh menatap Muin dengan lekat, “Karena Kedua Orang Tua Santanu saat itu dekat dengan penguasa. Mereka menyelamatkan Dirga dengan berbagai macam cara, dengan alasan memiliki gangguan jiwa, tapi balasannya..." Tuan Naga terdiam.

Muin pun ikutan terdiam.

"Apa yang terjadi jika Azka mengomandoi perang dengannya, Tuan?" Tanya Muin beberapa detik kemudian.

“Karena saat ini Pak Dirga dan Azka sama-sama dijaga oleh Kelompok Naga” Lanjut Muin.

Tuan Naga Tujuh terdiam cukup lama, kemudian dia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Matanya terus saja menatap lautan di kejauhan sana.

“Kamu masih ingat saat Indonesia dalam krisis moneter? Gelombang masa yang ingin menggulingkan pemerintahan mengakibatkan konflik terpanas dalam sejarah berdirinya bangsa kita ini. Ekonomi jatuh, ketahanan pangan terancam dan kerusuhan dimana-mana.”

“Kedua kubu saling beradu antara pemerintah dan rakyat. Kelompok Naga yang yang sebagian berjiwa Nasionalis mendukung rakyat namun sebagian mendukung pemerintah karena terikat dengan sumpah pengabdian diri. Sehingga meletuslah perang saudara antara Kelompok Naga.”

"Apa perang saudara itu bisa terjadi lagi, jika anak muda yang bernama Azka itu mengomandoi untuk perang dengan Pak Dirga?" Tanya Muin dengan gemetar.

Tuan Naga Tujuh berdiri dari duduknya.

"Kita harus menyiapkannya sedari sekarang! Siapapun dia yang kita jaga, sejahat apapun dia di dunianya, itu bukan urusan kita. Urusan kita adalah melindunginya!"

Tuan Naga Tujuh melangkah ke dalam rumahnya.

Muin menarik napas berat lalu menghembuskannya, kemudian ia kembali memakai topinya lalu bergegas pergi menuju kapal pesiar kecilnya di dermaga.

---------------------------------

Azka baru saja selesai mempresentasikan konsep untuk memajukan Kastara Indonesia di hadapan team utama.

Di hadapannya, duduk Hardika bersama beberapa petinggi Kastara yang menjadi team utama tampak diam. Azka merasa heran melihatnya.

"Ada yang ingin kalian tanyakan mengenai apa yang sudah dipresentasikan tadi?" Tanya Azka.

Semua masih diam.

"Jika tidak ada yang menyanggah, berarti aku menilai konsep yang kubuat ini tidak ada masalah” Ucap Azka.

Hardika mengangkat tangannya.

"Silahkan" Ujar Azka pada Hardika.

"Kurasa apa yang ingin kukatakan ini akan sama seperti yang berada di dalam isi kepala semua yang hadir di sini" Ucap Hardika dengan menatap Azka.

“Semua yang kamu katakan memang menakjubkan untuk solusi kemajuan Kastara Indonesia mendatang. Tapi masalahnya saat ini keuangan Kastara Indonesia sedang memprihatinkan”

“Aku sebagai bagian keuangan sangat memutar otak untuk memikirkan seluruh karyawan agar Kastara tidak telat memberikan kewajibannya pada mereka”

“Sementara untuk keuntungan Kastara sendiri sudah jauh dari standar. Apa ada cara lain selain berharap pada investor lama? yang belum tentu mereka akan mau kembali pada kita untuk mendapatkan tambahan modalnya. Karena jumlah yang harus kita keluarkan tidaklah sedikit.”

Semua menunggu jawaban Azka.

"Aku sudah memikirkan hal itu" Balas Azka.

“Jika memang kita gagal mendapatkan tambahan investor, aku berniat untuk membuat promosi besar-besaran dengan cara menyediakan satu menu yang sangat akrab di lidah masyarakat dan kita akan menjualnya dengan murah sekaligus bonus minumannya."

Hardika tersenyum kecut, "Itu sudah pernah aku lakukan sejak dulu dan gagal!"

"Itu tergantung bagaimana eksekusinya!" Sahut Azka membalas.

"Apalagi sekarang kita sudah membuat perombakan besar-besaran untuk koki dan sebagainya. Aku yakin mulai saat ini, mereka yang datang ke Restoran Kastara dengan koki terbaru kita, mereka tidak akan kecewa lagi saat selesai menikmati menu”.

"Baiklah! Itu saja dariku!" Hardika lalu berdiri dan keluar begitu saja dari ruangan meeting.

Semua pun masih tampak diam. Di wajah mereka seolah belum yakin akan semua yang sudah di presentasikan Azka pada mereka tadi.

"Ada pertanyaan lain?" Tanya Azka sekali lagi.

"Mengenai promosinya, kenapa tidak menggaet artis yang masih muda saja untuk menjadi brand ambassador kita? Seperti dulu kita pernah menggaet Jonathan selama dua tahun”.

“Lagian untuk menggaet artis yang sudah menjadi seorang ibu, saya rasa itu tidak akan berhasil!" Ujar salah satu team utama.

“Baik aku akan menjawab!”

“Pemilihan artis yang akan menjadi brand ambassador haruslah yang cocok untuk restoran kita yang memiliki cita rasa nusantara. Banyak yang mengatakan bahwa masakan ibu di rumah lebih enak dibandingkan restoran bintang lima. Alasanya apa?” Ujar Azka.

“Aku ingin pelanggan yang datang ke restoran kita sama seperti menikmati hidangan dari para ibu terhebat di dunia" Pungkasnya.

Team utama mengangguk-angguk. Setelah tidak ada yang bertanya lagi, Azka pun memutuskan untuk menyudahi meeting hari ini.

Setelah itu, Azka memasuki ruangan Manopo. Beliau menyambutnya dengan hangat.

"Bagaimana meetingnya?" Tanya Manopo penasaran.

"Semua sudah setuju, Pak. Tidak ada masalah dari Team Utama" Jawab Azka.

Manopo tersenyum senang.

"Bagus! Sekarang silakan lanjutkan rencana berikutnya" Pinta Manopo.

"Kamu boleh mulai bergerak untuk mendatangi semua investor yang telah meninggalkan Kastara. Dan yakinkan pada mereka jika Kastara bisa maju di tanganmu."

"Baik, Pak!" Jawab Azka.

Bersamaan dengan itu, handphone Manopo berbunyi. Beliau langsung meraih handphone-nya lalu menggunakannya saat tahu yang menghubunginya adalah Adirata.

"Halo" Jawab Manopo.

Azka masih duduk di hadapannya. Dia menunggu Manopo selesai telponan baru dirinya akan pamit keluar dari ruangan.

"Segera kemari sekarang juga!” Pinta Adirata terdengar panik.

"Ada apa, Pak?"

"Perihal Tuan Santanu!" Jawabnya.

Manopo tampak terkejut bercampur khawatir mendengar itu.

"Ba... Baik, Pak! Saya segera kesana!" Manopo bergegas menyimpan handphone-nya lalu bangkit berdiri sambil menatap wajah Azka dengan panik.

"Maaf. Aku harus pergi sekarang!".

"Baik, Pak" Jawab Azka lalu bangkit berdiri.

Manopo berjalan tergesa-gesa dengan wajah panik bercampur khawatir. Azka menyembunyikan keheranannya lalu berjalan keluar dari ruangan itu.

Ditempat lain. Adirata di ruangannya sedang duduk penuh khawatir sambil menatap dokter dan para perawatnya yang sedang menggunakan alat pacu jantung di dada Santanu yang terlihat masih koma.

Dia berharap ngedropnya kesehatan yang terdeteksi oleh alat medis yang terpasang di tubuhnya Santanu itu, bukanlah sebuah pertanda bahwa hidupnya akan benar-benar berakhir.

Azka yang baru saja tiba di ruangannya bergegas meraih gelas di atas meja. Entah kenapa tiba-tiba saja gelas di tangannya itu terjatuh ke lantai hingga pecah berserak. Dirinya berpikir mungkin karena dia kelelahan hingga kekurangan darah.

Sekretaris bergegas masuk dengan panik.

"Ada apa, Azka?"

“Tidak” Jawab Azka dengan melambaikan tangannya.

"Tolong panggilkan Udin saja, Bu. Untuk membersihkan ruanganku.”

"Ok!" Risma langsung keluar dari ruangan itu.

Azka duduk di sofa sambil memegangi kepalanya. Dia menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan untuk menenangkan dirinya yang entah mengapa tiba-tiba terserang kecemasan.

Tak lama kemudian handphone-nya berbunyi dan itu adalah panggilan dari Syifa. Azka langsung mengangkat teleponnya bersamaan dengan kedatangan Udin yang membawa pengepel lantai. Azka menunjuk ke arah lantai yang basah pada Udin.

“Siap, laksanakan Bos!” Udin mengerti dan mengangkat sebelah tangannya seperti gerakan menghormat.

"Halo" Ucap Azka terdengar lemah.

Syifa di seberang sana tampak heran, "Lo baik-baik aja, kan?".

Azka merasakan sedih, dia tidak tahu kenapa dirinya mendadak aneh di hari itu.

“Entah kenapa, hati gue merasa cemas bercampur sedih.”

Udin yang turut mendengar saat sedang mengepel lantai dengan spontan menoleh pada Azka, “ Lo sakit?”

Namun pertanyaannya tidak dijawab, hanya dibalas dengan tatapan sehingga Udin melanjutkan mengepel lantainya lagi.

Syifa juga terdiam sedih di seberang sana.

“Mungkin lo kecapean" Ucap Syifa.

“Mungkin” Jawab Azka.

“Gue gak mau ganggu, mendingan lo istirahat aja”.

“Iya!” Kemudian Azka mematikan sambungannya.

Azka yang bersandar di sofa sedang mengusap-ngusap dadanya, dihampiri Udin.

“Lo kenapa sih, sampe pucet gitu mukanya?”

“Emang iya?” Tatap Azka saat Udin ikutan duduk disebelahnya.

“Gak tau deh! Gue merasa mendadak cemas begini, Din”.

“Anggap aja omongan gue ini bener. Kayaknya elo itu kecapean deh. Biasanya kalo kecapean, sesuatu yang sudah berhasil kita tahan semacam kesedihan, kemarahan, semua emosi buruk bakal muncul mendadak. Makanya disarankan minum suplemen biar selalu fit."

“Tumbenan lu pinter, kata siapa lo bisa bilang begitu?” Tanya Azka heran.

“Kata psikolog lah!” Balas Udin.

“Psikolog? Lu kenal orang begitu dimana?” Tanya Azka.

“Bukan kenal sih, Az! Lebih tepatnya nguping saat melayani pelanggan di cafenya Syifa”.

Azka menghela nafas kemudian bergumam, “Mungkin gue harus grounding dengan alam untuk healing sejenak.”

Udin menyahut, “Grounding apaan, Az?”

Namun tak dihiraukan Azka yang rupanya sedang berchatting ria dengan Syifa untuk mengajaknya liburan saat jadwal shooting kosong.

“Kalo gak ada yang lo butuhin lagi, gue balik deh. Lain kali langsung ke gue aja gak usah lewat Bu Risma”.

“Ok! Thanks, Din” Azka menoleh pada Udin yang beranjak keluar dari ruangannya dengan membawa alat pel dan ember di tangan.

-------------------------------

Manopo datang ke ruangan Tuan Santanu dan Nyonya Rahayu dirawat. Adirata berdiri menyambutnya.

"Bagaimana keadaannya, Tuan Santanu?" Tanya Manopo dengan panik.

"Tuhan masih berpihak padanya" Jawab Adirata.

“Dokter bilang Tuan Santanu dari pagi hingga tadi berulang kali mengalami krisis. Setelah ditangani oleh dokter dan perawatnya, sekarang keadaannya membaik meski masih dalam keadaan koma."

Mendengarnya, Manopo kini bisa bernapas dengan tenang. Dia pun duduk di sofa ruangan itu yang diikuti Adirata juga ikutan duduk.

"Aku rasa, kita tidak boleh lama-lama merahasiakan ini pada Azka” Kata Manopo menatap wajah Santanu yang terbaring koma dengan serius.

Adirata terdiam mendengar itu.

"Azka bukan orang gegabah. Anda tidak perlu takut anak itu akan berbuat yang tidak-tidak untuk melawan Pak Dirga jika dia sudah mengetahui semuanya”

“Mendengar kejadian di hari ini, aku jadi berpikir. Mungkin kita akan sangat menyesal merahasiakan ini pada Azka jika sesuatu yang buruk terjadi pada kesehatan Tuan dan Nyonya yang tidak dapat diselamatkan lagi”

“Bagaimanapun juga, Azka harus tahu bahwa kedua orang tuanya masihlah hidup. Dan memberitahukannya bahwa Perusahaan Kastara Indonesia adalah miliknya”

“Jika dia sudah tahu semuanya, aku akan tetap berperan sebagai pemilik Kastara. Aku dan Dia akan bekerjasama untuk merahasiakan ini pada semua orang hingga Tuan dan Nyonya pulih kembali."

Adirata masih terdiam mendengarnya.

"Bagaimana? Anda setuju dengan pendapatku, Pak?" Tanya Manopo.

Adirata menghela nafas.

"Kita berdua memang menjadi bawahannya" Ucap Manopo

"Tapi bagaimanapun selama ini beliau tidak pernah memperlakukan aku kamu dan Risma seperti bawahannya, kita telah dianggap layaknya keluarga” Lanjut Manopo.

“Sekarang kita sudah menemukan anak kandungnya dan aku sudah menganggap anaknya itu seperti anakku sendiri. Aku bisa merasakan bagaimana kesedihan yang dirasakan Azka selama ini. Siapa tahu, saat mendengar suara anak kandungnya di ruangan ini, keadaan Tuan dan Nyonya akan menjadi lebih baik."

"Baiklah!” Ucap Santanu pada akhirnya.

"Kita atur waktunya untuk membawa Tuan Muda kita ke sini."

Manopo tersenyum mendengar itu.

-----------------------------------------

Esoknya, Azka dan Syifa duduk di jembatan bambu kawasan Mangrove Pantai Indah Kapuk. Mereka duduk dengan menjuntaikan kaki. Pohon-pohon mangrove menghijau di sela-sela air laut yang tampak menggenang tenang.

"Sudah tenangan?" Tanya Syifa dengan tersenyum.

Azka mengangguk lalu menoleh ke arah Syifa di sampingnya, “Gimana kabar kedua orang tua lo di Cirebon?"

"Semuanya sehat" Jawab Syifa. "Mereka tetap gak mau dibawa ke Jakarta. Maunya tetap tinggal di sana saja."

"Tapi lo masih sering jenguk mereka kan?"

Syifa mengangguk, Azka kembali menatap pohon-pohon bakau yang menghijau di hadapannya.

"Mumpung mereka masih hidup. Luangkan waktu selalu buat nelpon atau kalo ada waktu libur pulanglah ke sana jengukin mereka. Lo beruntung masih punya keduanya."

"lya" Sahut Syifa. Dirinya tahu bagaimana perasaan Azka saat ini. Dia bisa merasakan bagaimana kehilangan kedua orang tuanya di saat masa pertumbuhannya menjadi dewasa. Dia merasakan itu melalui tatapan Azka yang terlihat sendu.

Dan saat mereka sudah pulang dan tiba di rumah, mendadak Azka mendapatkan telepon dari nomor baru. Azka meminta Syifa untuk turun duluan karena dia mau mengangkat telpon lebih dulu.

Syifa tak protes, dia keluar dari mobil lalu berjalan menuju teras rumah.

"Halo" Jawab Azka.

"Apa kabar, Azka?”.

Azka tergugu mendengar suara itu.

"Pak Adirata?"

"Benar! Ini aku." Jawabnya di seberang sana.

"Bapak dimana? Kenapa Bapak menghilang? Dan kenapa waktu itu Bapak tidak mau menemuiku?" Tanya Azka bertubi-tubi.

"Sekarang kamu pergi ke Rooftop gedung Perusahaan Kastara. Akan ada helikopter yang menjemputmu di sana. Ada yang ingin aku tunjukkan padamu" Ujar Adirata.

"Baik, Pak."

Azka bergegas membawa mobilnya keluar dari gerbang rumahnya. Sementara Syifa yang berdiri menunggu di teras menjadi cemberut manakala melihat pujaan hatinya pergi begitu saja.

Dan saat mobil yang dibawa Azka sudah melaju di jalanan besar kota Jakarta, handphone-nya berbunyi. Panggilan itu dari Syifa dan Azka menjawabnya sambil mengemudi.

"Gue ada meeting mendadak. Sekarang lagi nyetir, nanti gue telepon balik kalo udah sampe."

Azka menyimpan handphone-nya lalu menambah kecepatan mobilnya untuk segera tiba di kantor. Dia tidak tahu apa yang akan ditunjukkan Adirata pada dirinya.

Yang pasti banyak hal yang ingin Azka ketahui tentang ayah dan ibu kandungnya, bukan tentang kekayaan mereka. Dirinya ingin mengenal mereka lebih dalam, dari mana ayah ibunya berasal. Siapa yang melahirkan mereka dan apakah di luar sana masih ada saudara-saudaranya yang lain selain paman Dirga yang kejam itu?

Saat Azka tiba di lobby gedung Perusahaan Kastara, Azka meminta bantuan security untuk memarkirkan mobilnya. Dia pun berlari ke dalam menuju lift. Saat sudah tiba di rooftop gedung Kastara, Azka kembali menghubungi nomor Adirata yang tadi menghubunginya.

"Aku sudah di rooftop, Pak."

"Baik!" Jawab Adirata. "Tunggu sebentar lagi helikopternya segera tiba."

Azka menurunkan handphone-nya. Tak lama kemudian sebuah helikopter datang lalu mendarat di garis landasan. Awak helikopter turun menjemput Azka lalu mengarahkannya untuk naik.

Saat Azka sudah duduk di dalamnya, helikopter itu kembali terbang meninggalkan rooftop Kastara Indonesia. Untuk pertama kali dalam hidupnya Azka menaiki helikopter, dia menatap bangunan-bangunan kota Jakarta di bawah sana yang tampak mengecil di matanya.

Tak lama dari itu, Helikopter akhirnya mendarat di sebuah rooftop gedung apartemen mewah. Azka dituntun awak helikopter untuk turun.

Di ujung sana telah berbaris puluhan lelaki yang mengenakan setelan jas dan berkacamata hitam. Di tangan mereka dipersenjatai senjata api yang sudah siap jika ada bahaya mengancam.

Para bodyguard bersenjata itu pun menyambut kedatangan Azka saat helikopter kembali terbang meninggalkan landasannya. Satu dari mereka mendekati Azka yang tengah berdiri dengan bingung.

"Maaf, Tuan. Sesuai prosedur, kami harus memeriksa Tuan terlebih dahulu" Ujar pimpinan regu para bodyguard itu.

Langkah mereka terhenti di depan pintu penthouse yang lebar dan dijaga empat bodyguard bersenjata. Penjaga langsung membuka pintu lalu dengan hormat meminta Azka masuk. Dia masuk di temani pimpinan regu bodyguard.

Saat keduanya tiba di ruangan yang cukup luas dan tampak sangat mewah, di sana sudah berdiri Adirata dan Manopo yang sudah menunggunya.

Azka terkejut ketika melihat keberadaan Manopo bersama Adirata di dalam sana. Pimpinan regu akhirnya pergi setelah berhasil mengantar Azka ke hadapan mereka berdua.

"Pak Manopo" Sapa Azka heran.

Manopo tersenyum padanya, "Biar Pak Adirata saja yang menjelaskan semuanya."

Azka beralih menatap Adirata dengan penuh tanda tanya. Dia tersenyum lalu mengajak Azka untuk duduk di sofa ruangan itu. Manopo mengikutinya lalu duduk bergabung bersama mereka berdua.

"Apa yang ingin Bapak tunjukkan padaku?" Tanya Azka dengan sejuta pertanyaan di dalam pikirannya.

Adirata menatap wajah Azka dengan lekat.

"Maaf waktu itu aku terpaksa menghindari Tuan Muda" Ucap Adirata dengan penuh rasa bersalahnya.

"Ada hal yang harus aku urus agar semuanya bisa berjalan sesuai rencana."

Azka mengangguk mendengarnya.

"Nanti akan aku jelaskan semuanya. Tapi sebelum itu aku ingin memberitahu bahwa sebenarnya kedua orang tua Tuan Muda masih hidup!”

DUAR!

Azka terkejut mendengarnya. Seketika sepasang matanya berkaca-kaca. Sejak terakhir kali dikabari bahwa dirinya adalah anak kandung Tuan Santanu dan Nyonya Rahayu, sejak itulah dirinya mencari tahu banyak hal tentang ayah dan ibu kandungnya itu.

Dia diam-diam membeli koran ataupun majalah yang menyangkut pemberitaan tentang orang tuanya dan membaca semua artikel yang menuliskan tentang sejarah hidup ayah dan ibunya. Dan sejak itulah dia mulai merasa tahu lebih banyak akan orang tuanya dan sejak itu pula dia mulai merasa kehilangan dan menyesali takdir yang harus memisahkannya selama ini.

Dan disaat dia sudah mengetahui semuanya, justru kedua orang tua kandungnya pergi ke alam baka untuk selama-lamanya. Sekarang dia mendengar kedua orang tuanya masih hidup, membuatnya shock.

"Orang tuaku masih hidup?" Ucap Azka dengan gemetar tak percaya. Dia sangat bersyukur mengetahui hal itu.

"Benar, Tuan Muda!" Tegas Adirata

"Ketika aku menghubungi Tuan Muda untuk mengabarkan hasil tes DNA-nya akurat dulu. Waktu itu aku diserang oleh anak buah Pak Dirga, padahal waktu itu aku berniat menjemput Tuan Muda untuk bertemu dengan orang tuamu, syukurnya aku bisa lolos”

“Setelah itu aku mendapatkan kabar bahwa kedua orang tuamu mengalami kecelakaan, supir dan lima bodyguard yang melindungi orang tuamu turut terbunuh.

“Mendengar kabar itu, aku bersama penjaga bayangan menuju lokasi kecelakaan. Kondisi orang tuamu sangat mengenaskan, meski begitu nafasnya masih berdetak meskipun lemah. Segera aku membawa orang tuamu ke rumah sakit dan mengerahkan para dokter untuk menyelamatkan nyawanya orang tuamu dan itu berhasil”

“Untuk menghindari ancaman bahaya lainnya, aku meminta penjaga bayangan untuk menggantikan Tuan dan Nyonya dengan jenazah lain yang wajahnya sudah kami rusak agar orang-orang Pak Dirga percaya jika orangtuamu sudah meninggal”

Azka mendengar penjelasan Adirata dengan berlinang air mata, wajahnya pucat dengan tubuh gemetar. Luapan emosi dalam hatinya ditekan sebisa mungkin, layaknya gunung berapi yang siap meletus.

"Bagaimana keadaan orang tuaku sekarang?”

“Masih terbaring koma” Jawab Adirata dengan sedih.

“Para dokter mengatakan peluang bertahan hidup untuk Tuan dan Nyonya sangatlah kecil, sewaktu waktu bisa mengalami krisis yang dapat merenggut nyawanya kapan saja.”

Dengan berlinang air mata, Azka bertanya, “Dimana mereka sekarang? Aku ingin bertemu dengannya, Pak!”.

Adirata berdiri, “Ikut denganku!”.

Azka berdiri lalu berjalan mengikuti Adirata menuju sebuah ruangan. Sedangkan Mapono masih duduk di sana menunggu mereka.

Saat Azka dan Adirata tiba di depan pintu ruangan yang dijaga ketat oleh bodyguard bersenjata, mereka membukakan pintu untuknya.

"Papa dan Mamah mu ada di dalam" Ucap Adirata.

“Silahkan masuk, Tuan Muda!”.

Azka mengangguk lalu melangkah perlahan ke dalam ruangan itu. Saat dia melangkah menuju dua buah ranjang yang diatasnya terbaring dua orang pesakitan yang ditubuhnya terpasang berbagai alat medis. Seketika langkah kakinya mendadak lemas untuk mendekatinya, matanya kian berlinang.

Dan saat dia sudah berdiri ditengah kedua ranjang itu, seketika saja air matanya tumpah mengalir deras lalu terisak.

Azka menepi ke sisi ranjang ibunya dengan terisak hebat dan tidak tahu harus berkata apa pada sosok wanita yang masih terbaring koma itu.

Ingatan saat menjadi kuli panggul di kios Koh Liong saat itu terlintas dalam benaknya, bagaimana wanita yang sedang terbaring koma saat ini pernah membelai rambutnya, menanyakan namanya, memberinya sekotak makanan dan uang. Dirinya tak pernah menyangka bahwa wajah yang dilihatnya kala itu adalah wajah yang sama dengan yang sedang terbaring koma saat ini yang tak lain adalah ibu kandungnya sendiri.

“Mamah….” Azka dengan terisak gugu, keharuannya melihat ibu dan ayahnya masih hidup itulah yang membuatnya sesegukan.

Di luar pintu, Adirata dan Manopo yang menunggunya tampak meneteskan air mata mendengar suara tangisan Azka di dalam sana.

Sudah banyak tahun Santanu dan Rahayu habiskan untuk mencari anak kandungnya. Adirata dan Manopo tahu akan hal itu, keduanya diselimuti rasa haru akhirnya bisa mempertemukannya kembali meski sekarang Tuan dan Nyonyanya itu masih belum dapat melihat dan berbicara langsung.

Azka menghapus air matanya dengan tangannya sendiri. Meraih tangan ibunya yang agak dingin dan menciumnya.

"Mah... Ini Azka" Ucapnya pelan memandang wajah ibunya yang terlihat pucat dan tak berdaya membuat hatinya terasa sakit.

“Saat Azka jualan koran dulu, Azka pernah membaca artikel Papa dan Mamah. Sebagai pengusaha sukses, kobaran semangat dan motivasi yang kalian rangkai dalam artikel itu membuat pikiran Azka terbuka. Dan saat itulah Azka mulai menyukai sosok Papa dan Mamah yang ingin menjadi seperti kalian”.

Azka kembali menyeka air matanya.

"Cepat sadar, Mah..." Isak Azka kembali.

“Cepat sadar juga, Pah…” Azka menoleh menatap ayahnya disebelah yang juga terbaring.

Sambil menggenggam telapak tangan ayah dan ibunya, Azka berkata.

“Azka ingin mendengar suara Papa dan Mamah dalam keadaan sadar! Ingin memeluk kalian, bercerita banyak hal tentang apa yang Azka lalui selama ini.”

"Untuk itu Papa dan Mamah jangan pergi, kalian harus kuat dan kembali sehat. Azka tidak ingin berpisah lagi”.

Tanpa Azka sadari genggaman tangan dirinya pada ayah dan ibunya telah memicu Giwangnya beresonansi. Mengalirkan gelombang energi murni yang masuk kedalam tubuh ayah dan ibunya, meregenerasi organ dalamnya sedikit demi sedikit.

Azka yang sedari tadi berbicara, dikejutkan dengan suara alat medis yang selalu terpasang pada Ayah dan ibunya yang tiba-tiba berbunyi.

Seketika dokter dan perawat berdatangan menghampiri Santanu dan Rahayu di sana. Azka terheran, apa yang terjadi dengan ayah dan ibunya?

Dokter meminta Azka untuk keluar sebentar karena mereka akan memeriksanya. Dia lalu keluar dan berdiri di depan pintu ruangan itu bersama Adirata dan Manopo.

Tak lama kemudian dokter dan perawat kembali keluar dari ruangan itu.

"Orang tuaku kenapa, Dok?" Tanya Azka dengan khawatir.

Dokter kepala itu awalnya terkejut atas pengakuan Azka barusan dan lalu dia tersenyum.

“Kondisi orang tuamu semakin membaik. Ritme jantungnya kini mulai stabil dan kuat, meski masihlah koma. Kabar baik lainnya adalah, sepertinya orang tuamu sudah bisa mendengar suara-suara di sekitarnya.”

Adirata dan Manopo saling menatap, tak percaya dengan apa yang didengar Dokter barusan. Keduanya satu dalam pemikiran yang sama, bahwa keajaiban itu benar-benar telah datang.

Azka justru bertanya untuk kedua kalinya pada Dokter Kepala itu bagaimana keadaan orang tuanya, membuat dokter bertanya-tanya apa anak ini tidak mendengarkan penjelasannya tadi?

Hal itu terjadi tepat bersamaan saat Dokter menjelaskan, muncullah sosok Ratu Utara dihadapan Azka. Kemunculannya itu menutup suara dari dunia luar. Ratu itu mengatakan bahwa kesaktian Giwang lainya adalah menyembuhkan penyakit dan dia menyarankan Azka untuk sering-sering mengalirkan energi murninya seperti saat menggenggam tadi. Ratu lah yang memancing energinya keluar, kedepan menyuruh Azka melakukannya sendiri setelah mengajarkannya.

Itulah alasan mengapa Azka bertanya pada Dokter untuk kedua kalinya. Dengan senang hati, Dokter itu mengulang penjelasannya lagi dan berpikir bahwa Azka mungkin tadi tidak menyimaknya.

Azka akhirnya bernafas lega setelah mendengar penjelasan Dokter, meski sebenarnya dia sudah tau dari Ratu, dia hanya ingin tahu bagaimana medis menjelaskannya.

"Sekarang biarkan orang tuamu istirahat dulu”.

“Baik. Terimakasih, Dok!” Ucap Azka dengan mengangguk.

Kemudian Adirata mengajak Azka untuk duduk di tempat semula bersama Manopo. Setelah duduk, Adirata dan Manopo menatap Azka dengan haru.

"Bagaimana Pak Manopo bisa ada di sini juga?" Tanya Azka dengan heran.

Manopo menoleh pada Adirata, dia ingin agar Adirata saja yang menceritakan semuanya.

Adirata pun menatap wajah Azka lalu berkata padanya.

"Perusahaan Kastara sebenarnya milik papamu, Tuan Muda."

Azka terkejut mendengarnya, "Punya papah?"

"Benar!” Manopo ikut menegaskan.

"Selama ini papamu sengaja membuat perusahaan itu dengan diam-diam agar tidak diketahui oleh siapapun setelah dia tahu bahwa anak perempuannya yang dirawat sejak kecil itu bukan putri kandungnya. Dia sengaja menyiapkan semuanya jika terjadi sesuatu yang buruk pada Nusantara Group” Papar Adirata.

“Papamu ingin suatu saat nanti bisa meninggalkan sesuatu untukmu jika dalam pencariannya Tuhan menakdirkan yang lain" Pungkasnya.

"Orang tuaku pasti akan sembuh!” Tegas Azka.

Adirata mengangguk setuju, “Aku percaya itu, bahkan baru saja aku melihat sebuah keajaiban terjadi”.

Adirata kembali melanjutkan perkataannya, "Papamu juga sudah menyiapkan tabungan untuk Tuan Muda"

"Namun semua itu belum bisa diserahkan pada Tuan Muda karena Papamu masih hidup. Dan maaf kami telah merahasiakan ini dari Tuan Muda. Semua kami lakukan untuk keselamatan kedua orang tuamu”

“Sekarang Tuan Muda harus mengembalikan kejayaan Kastara Indonesia, hanya itu satu-satunya perusahaan aktif yang dimiliki Papamu saat ini. Semua ini terjadi atas ulah Pak Dirga, dia bukan keluarga kandungmu, Tuan Muda”.

DUAR!

Azka terkejut mendengar itu, "Bukan keluarga kandungku?"

"Benar! Pak Dirga diangkat anak oleh mendiang kakek dan nenekmu. Dia tidak hanya tidak tahu caranya berterima kasih, dia jugalah yang memisahkanmu saat masih bayi dan berusaha membunuh orang tuamu. Ulahnya itu hampir membuat Tuan Muda menjadi yatim piatu”.

Azka mengeratkan gigi hingga gemeletuk saking geramnya.

Adirata melihat gejolak emosi dari mata Azka segera berkata, "Tapi sekarang jangan dulu bertindak apapun. Tunggu hingga kedua orang tuamu sembuh dan tetap fokus dulu memajukan Kastara”

“Tuan Muda juga harus merahasiakan ini kepada siapapun. Sekarang di Kastara biarlah seperti biasanya. Tuan Muda harus menganggap Pak Manopo sebagai pemilik perusahaan agar tidak ada yang curiga dan orang-orang Pak Dirga tidak mengetahuinya."

"Oke!” Jawab Azka.

"Agar tidak ada yang curiga, untuk sementara Tuan Muda jangan dulu terlalu sering menjenguk Tuan Besar dan Nyonya. Sebagai gantinya, aku yang akan mengabari setiap saat pada Tuan Muda”.

Azka menggeleng, “Tidak! Soal masalah itu aku menolak. Maaf aku akan membuat jadwal seminggu tiga kali untuk menjenguk orang tuaku.”

“Tapi itu sangat beresiko, Tuan Muda!” Sanggah Manopo ikut memberi saran.

“Tenang saja, aku punya caraku sendiri kalian tidak usah mengkhawatirkan hal itu” Balas Azka.

Adirata dan Manopo saling menatap kemudian mengangguk.

“Baiklah jika itu maunya Tuan Muda, sebagai orang tua aku hanya menyarankan agar lebih berhati-hati” Ucap Adirata.

Azka mengangguk.

"Kembalilah ke aktivitasmu, Tuan Muda" Pinta Manopo.

“Aku khawatir orang-orang terdekat Tuan Besar bisa curiga jika terlalu lama disini."

“Baiklah. Tapi aku akan pamit pada Papa dan Mama terlebih dahulu”.

Manopo mengangguk. Azka kembali berjalan ke ruangan orang tuanya dirawat. Sesampainya di sana, dia mencium kening Ayah dan Ibunya dengan lembut bergantian lalu menatap wajahnya dengan tersenyum.

"Azka pulang dulu, Pah.. Mah.. Lekas sadar. Azka akan datang lagi kesini untuk mengobati kalian”

“Azka tidak akan membiarkan orang-orang yang menyakiti Papa dan Mama hidup tenang di luar sana. Anakmu ini akan membalas semua perbuatan mereka. Mereka harus merasakan lebih dari yang Papa dan Mama alami saat ini.

Setelah pamit, Azka melangkah keluar dari ruangan. Diantar oleh Adirata dan Manopo menuju Helikopter yang sudah datang menjemputnya. Hingga akhirnya Helikopter itu kembali membawa Azka terbang menuju landasan Rooftop Kastara.

Setelah Azka tiba di sana, dia turun ke bawah menuju mobilnya yang terparkir dan membawanya pergi.

--------------------------------

Rojak sedang duduk di bale-bale belakang rumahnya sambil menggunakan handphone nya.

"Siapa yang menjemputnya dengan helikopter itu?" Tanya Rojak yang khawatir dengan target nomor satunya.

"Kita tidak dapat mengecek tempatnya, Tuan Naga. Tingkat keamanan disana dijaga sangat ketat. Bahkan kita tidak bisa menyadap satupun handphone pengguna yang berada di sana, termasuk handphone yang dimiliki Target Nomor Satu kita” Jawab seseorang di seberang sana.

Rojak kian penasaran.

"Tapi anak itu sudah pulang dengan aman, kan?" Tanya Rojak memastikan.

"Dia sudah pulang dengan aman, Tuan Naga. Tidak ada yang mengancam hidupnya di sana. Kami menduga itu hanyalah urusan bisnis di Perusahaan Kastara" Jawabnya yang membuat Rojak tenang mendengarnya.

"Yasudah, terima kasih laporannya" Ucap Rojak lalu menyimpan handphone-nya dengan lega.

—-----------------------------------

Sebuah mobil berhenti di depan teras rumah mewah. Azka turun dari mobil sambil membawa tiga buku pemberian Adirata. Dua buku tentang bisnis karya Santanu sendiri dan satu buku lagi berisi autobiografi seorang perempuan bernama Ningrat Sri Rahayu, yaitu ibunya sendiri, yang sengaja ditulis oleh Santanu sebagai hadiah ulang tahun istrinya.

Namun sayang, belum sempat buku itu dihadiahkan pada istrinya, tragedi telah menimpa keduanya.

Azka terkejut mendapati Syifa duduk di teras dengan bingung. Saat dia melihat kedatangan Azka, Syifa berdiri lalu menyambutnya dengan tersenyum.

"Lo ngapain di sini?" Tanya Azka heran.

"Gue ini nungguin elo!" Jawab Syifa.

Azka tersenyum, "Tadi gue ada meeting mendadak dengan Pak Manopo."

"Gue khawatir aja, soalnya di luar sana lo lagi banyak musuh. Apalagi pas denger Ari cerita soal dia yang sekarang lagi dicari-cari sama orang-orangnya Pak Dirga."

Azka mendekat lalu berhenti tepat di hadapannya.

"Gue pasti aman, lo jangan khawatir berlebihan."

Syifa mengangguk lalu memandangi buku yang Azka bawa. Dirinya merasa tidak asing dengan cover buku tersebut.

“Dari mana lo dapet buku itu?” Syifa terheran mengapa Azka membawa buku bercover wajah Bu Rahayu. Seorang wanita yang sangat dikenalnya sewaktu dia menjadi brand ambassador di perusahaan Santanu dulu.

“Buku ini?” Kata Azka.

"Iya… Lo dapet dari mana? Perasaan di toko buku gak ada jual buku seperti itu?".

Azka berusaha menyimpan rahasianya meskipun sekarang Syifa telah menjadi kekasihnya, dia tidak ingin menceritakan semua padanya.

"Dapet dari Pak Manopo" Jawab Azka. "Dia suruh baca buku ini karena tahu gue hobby baca."

Syifa mengangguk, "Bu Rahayu memang pantes dibuatkan buku."

"Lo kenal akrab juga sama Dia, kayak sama Pak Santanu?" Tanya Azka penasaran.

Syifa mengangguk.

“Bisa cerita ke gue soal dia?"

"Boleh" Jawab Syifa. "Tapi setelah kita makan malam bareng nanti ya? Gue udah masakin buat lo."

Azka mengangguk senang, mereka pun masuk ke dalam.

-------------------------------------------

Dirga berdiri geram di hadapan Nasution yang sedang berlutut di hadapannya. Wajah Nasution masih terlihat memar dengan mata kanannya sedikit bengkak bekas ditonjok Juki.

"Kupikir jika kamu yang menanganinya, kasus ini akan tuntas!" Geram Dirga.

"Ampun, Pak!" Ucap Nasution dengan gemetar.

"Saya sudah berusaha semampunya, tapi ternyata rencana kami gagal dan dia mengirim orang-orang tak dikenal untuk menyerang Club."

"Kamu tahu siapa mereka?".

Nasution menggeleng. Dirga hendak menampar wajah manager utamanya itu namun urung karena dia masih membutuhkan lelaki itu untuk mengurus perusahaannya. Padahal Nasution sudah memejam ketakutan.

Dirga menarik napas lalu menghelanya dengan kasar.

“Aku memang salah meminta kamu untuk menyelesaikan masalah itu."

Nasution lega karena Dirga tidak jadi menamparnya.

"Sekarang kamu fokus saja pada Nusantara Group," pinta Dirga.

"Kamu harus mengembalikan keuntungan Nusantara Group yang sekarang sudah jauh berkurang sejak Kakaku Santanu meninggal. Sekarang yang memberikan pemasukan banyak hanya Club Twenty Four dan Restoran Nusantara saja, yang lainnya sudah
merosot tajam".

"Baik, Pak" Sahut Nasution.

"Tapi ingat" Ujar Dirga menatap wajah Nasution dengan lekat.

"Jika kamu tidak berhasil melakukannya, maka lihatlah apa yang akan terjadi dengan nasibmu kedepannya."

Dirga pergi dari ruangan itu meninggalkan Nasution dengan tubuh gemetar setelah mendengar ancaman barusan.

-----------------------------------

Azka sedang makan malam bersama Syifa dan Ari. Malam itu Syifa memasak apa yang pernah mereka makan di sebuah rumah persembunyian dari kejaran orang tidak dikenal di pedesaan Bogor saat itu.

Menu sayur asem, ikan asin goreng, tahu dan tempe goreng serta sambal terasi.

"Berasa kayak di kampung" Celetuk Ari.

"Enak gak?" Tanya Syifa.

"Sudah pasti!" Jawab Ari.

Syifa menatap Azka yang sedari tadi seperti sedang memikirkan sesuatu. Dia khawatir Azka sedang menyimpan masalahnya sendiri, namun dirinya tidak berani bertanya.

"Nasinya mau nambah lagi?" Tawar Syifa.

Azka menolak.

"Besok gue balik lagi ke apartemen" Ucap Syifa yang membuat Ari menghentikan suapannya kedalam mulut, dia terkejut sekaligus gembira dalam hati mendengarnya.

Sedangkan Azka sejenak menoleh, "Besok?".

Syifa mengangguk.

"Udah cek sebelah apartemen sudah aman?".

"Udah, beritanya pelaku sudah tertangkap" Jawab Syifa.

Tiba-tiba Ari bersiul disela-sela makannya membuat Azka melirik seketika padanya. Dirinya tau apa yang ada dalam isi otak sahabatnya itu.

"Kalo pelaku ternyata punya teman gimana? Maksud gue, pelaku punya teman yang membantu aksinya terus gak terkdeteksi oleh pihak kepolisian. Apalagi lorong apartemennya satu lorong dengan lo”

“Nanti kalo pelaku khawatir dengan tetangga gimana? Maksudnya khawatir kalo pelaku curiga ada tetangga yang melihat untuk menjadi saksi, terus pelaku akan mengancam tetangga buat menghilangkan bukti" Ujar Azka.

"Pokoknya semuanya udah aman!" Jawab Syifa terlihat sangat tenang.

"Ya sudah kalo memang sudah aman” Ucap Azka pada akhirnya.

Ari senyum-senyum sendiri, "Halalin aja kalo gak mau Syifa balik kembali ke apartemennya" Canda Ari.

Azka melotot pada Ari, "Siapa yang nggak rela?"

"Gue tahu kalo lo pengennya Syifa lebih lama lagi tinggal di sini, kan? Ayo ngaku!" Balas Ari.

"Abisin makanannya!” Sanggah Azka yang salah tingkah. "Kata orang, pamali ngobrol sambil makan."

Ari tersenyum sendiri begitupun dengan Syifa yang menahan senyumnya.

Dan saat mereka selesai makan malam bersama, Azka dan Syifa duduk di teras belakang rumah menghadap kolam renang. Di meja ada tiga buku pemberian Adirata yang diletakkan di sana. Ari sudah berada di kamarnya.

"Dia memiliki nama lengkap Ningrat Sri Rahayu” Ucap Syifa membuka obrolan.

"Seorang ibu yang cantik, ramah dan murah senyum. Dia pendiam dan tidak banyak bicara. Sekalinya bicara yang penting-penting saja. Tapi bila kita bertanya sesuatu padanya, dia akan menjawabnya dengan detail dan dengan penjelasan yang sangat mudah dimengerti. Terlihat sekali kecerdasannya saat dia memberi petuah-petuah."

Azka terpaku mendengar Syifa mulai menceritakan sosok lbu kandungnya itu.

"Di luar dia sangat disegani dan dihormati, namun bila berada di rumah, dia akan menjadi istri yang baik untuk suaminya. Dia suka memasak, masakannya sangat enak, gue pernah ngerasainnya saat diundang makan malam bersama. Gue kira di rumahnya ada chef khusus, ternyata dugaan gue salah. Ternyata yang masak tak lain Bu Rahayu sendiri”.

Mendengar itu, Azka menduga bahwa resep-resep rahasia milik Restoran Kastara dibuat oleh ibu kandungnya sendiri.

"Saat Bu Rahayu tahu gue hobby masak, dia mengajari banyak hal bagaimana cara membuat masakan enak. Ternyata resepnya adalah bukan soal pandai meracik bahan dan bumbu yang pas saja, tapi juga hati. Katanya suasana hati harus tenang dan senang saat memasak, karena apa yang kita buat dan kerjakan akan dialiri suasana hati kita saat itu”

“Mungkin karena itulah Pak Santanu tidak pernah mau makan di luar lagi, dia selalu ingin memakan masakan istri tercintanya.”

Azka mulai mengagumi sosok lbu kandungnya itu. Dalam hidupnya hanya dua kali dirinya melihat sosok Ibu kandungnya dengan jelas. Yaitu pada saat pertama bekerja di Kios Koh Liong dan kedua saat memasuki Kampus Arjawinangun Nusantara dulu, di saat Pak Santanu hadir dalam acara menyambut mahasiswa baru.

Ari datang, namun dia kembali ke dalam saat melihat Azka dan Syifa tampak sedang berbicara serius. Dirinya tidak mau mengganggu mereka.

"Gue kayaknya kebanyakan cerita soal dia karena terlalu mengagumi sosoknya" Ucap Syifa kemudian.

"Gak apa-apa” Balas Azka. “Justru gue seneng dengernya."

"Nggak ah!" Sahut Syifa. "Udahan ya?"

"Kok udahan?" Protes Azka.

"Nanti takutnya lo minta gue buat berubah kayak Bu Rahayu. Gue gak bakal bisa jadi dia."

"Siapa yang nyuruh lo biar jadi kayak Bu Rahayu?"

"Itu wajah lo udah kayak kagum banget sama Bu Rahayu pas gue ceritain" Jawab Syifa.

Azka tersenyum, "Lihat wajah gue!" Pinta Azka.

Syifa memandang wajah Azka dengan lekat.

"Gue gak akan nuntut lo jadi apapun yang gue mau" Ucap Azka dengan serius.

"Gue seneng semua yang ada pada lo sekarang, apapun itu, bawelnya... comelnya... semuanya."

Syifa terpaku mendengar itu. Dia tidak percaya seorang Azka yang tengil akan mengatakan itu padanya. Membuat Syifa kian meleleh mendengarnya.

“Malah bengong!” Tegur Azka meraup wajah Syifa.

“Asin, ah!” Dumel Syifa.

“Dah lah ceritanya, gue udah ngantuk!” Ucap Syifa kemudian melengos pergi.

Azka meraih buku autobiografi yang ia letakan diatas meja, menatap lekat wajah foto ibunya yang terlihat sangat cantik dengan sanggul dan kebayanya di halaman pertama.

"Azka akan sering menjenguk Mama dan Papa. Lekas sembuh Mah… Pah…”

--------------------------------------

Seorang lelaki berlari menuju ruangan Basar dengan wajah panik.

"Ketua! Ketua!!”

Basar keluar dari ruangannya dengan heran.

"Ini bukan di pasar! Kenapa mesti berteriak begitu?!" Ucap Basar geram.

Anak buahnya itu mengatur napas lalu berkata padanya, "Di luar ada... ada... ada..."

"Ada siapa?!!!"

"Ada.. ada Pak Dirga, Ketua”.

Basar terkejut mendengarnya.

"Ngapain dia ke markas kita?" Tanya Basar dengan heran.

"Saya tidak tahu, Ketua. Dia datang membawa sekelompok anak buahnya, katanya ingin bertemu”.

"Suruh dia datang ke ruanganku!" Pinta Basar.

"Ba... Baik!!"

Lelaki itu bergegas meninggalkan Basar di sana. Dia masuk ke dalam ruangan dengan sedikit panik, dirinya tidak menyangka seorang Dirga akan mendatangi markasnya lagi setelah membuatnya kecewa.

Basar duduk dengan gusar. Tak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu.

"Masuk!" Sahut Basar.

Pintu terbuka. Dirga berdiri di ambang pintu dengan tersenyum. Basar langsung berdiri menyambutnya dengan gugup.

"Apa kabar Ketua Penguasa Kuda Hitam?" Sapa Dirga basa-basi.

"Ba... baik, Pak."

Dirga berjalan menuju Basar yang tengah berdiri di dekat sofa ruangan itu. Anak buah Dirga menunggu di luar sana.

"Kamu tak perlu takut. Kedatanganku bukan untuk mencari masalah! Justru aku butuh bantuanmu.”

Basar mengernyit heran, "Bukannya Bapak sudah tidak membutuhkan saya lagi? Bukankah waktu itu anda sudah bersumpah untuk tidak mau berhubungan lagi dengan Penguasa Kuda Hitam?".

Dirga tertawa lalu duduk di sofa. Basar pun ikut duduk dengan sejuta pertanyaan di kepalanya.

Dirga langsung mengeluarkan beberapa foto dari saku jasnya lalu meletakkannya di atas meja.

"Coba kau periksa foto-foto itu!" Pinta Dirga.

Basar meraih foto-foto di atas meja lalu melihatnya satu persatu. Dirinya mengernyit melihat foto-foto para lelaki bertampang preman yang sedang menggunakan masker tampak sedang menyerang para pengunjung di Club Twenty Four.

"Kau tahu kira-kira siapa mereka?" Tanya Dirga menyelidik.

"Yang jelas mereka bukan anak buahku" Jawab Basar.

"Apa mungkin para pengacau itu dari Penguasa Macan Kumbang?"

Basar memperhatikan foto-foto itu sekali lagi. Dia memperhatikan dengan jelas pakaian yang mereka kenakan dan jaket yang dikenakan sebagian orang-orang di dalam foto itu.

Basar tidak mendapatkan pertanda apapun bahwa mereka adalah anggota Penguasa Macan Kumbang.

"Kenapa mereka menyerang Club Twenty Four, Pak?"

"Ada seorang hacker yang membantu seorang yang sangat aku benci untuk merusak rencanaku di Restoran Kastara”

Orang-orang itu yang membantu lolosnya hacker yang kubenci." Dirga lalu menyerahkan foto hacker itu pada
Basar.

Basar meraih foto Ari lalu menatapnya dengan lekat. Dia masih tidak tahu bahwa orang yang sangat dibenci Dirga di Restoran Kastara itu adalah Azka.

"Kalau untuk mencari dia, kenapa Bapak tidak serahkan saja pada Penguasa Kuda Hitam?" Tawar Basar dengan penuh rasa percaya diri.

Dirga tersenyum kecut, "Apa kau sanggup?"

"Sudah pasti sanggup, Pak. Apalagi hanya untuk mencari anak yang masih bau kencur seperti dia!" Jawab Basar

Dirga melepas tawa.

"Jika kau sanggup, kuserahkan kasus ini padamu!"

"Siap, Pak!"

Dirga tersenyum senang lalu pamit pergi dari ruangan itu. Basar mengantarkan Dirga sampai kedepan pintu utama markasnya.

Setelah Dirga pergi bersama anak-anak buahnya, Basar kembali menatap foto Ari di tangannya, kemudian dia memfotonya kembali dengan kamera handphone miliknya lalu mengirimkan ke seseorang untuk bertanya kepadanya siapa anak itu sebenarnya?

Tak lama kemudian pesan balasan dari anak buahnya datang. Basar terkejut saat mengetahui bahwa mahasiswa yang berada di foto itu adalah sahabat dekat Azka. Mendadak dia gemetar sendiri lalu menghubungi Dirga dengan panik.

"Ada apa?" Tanya Dirga yang sudah duduk santai di dalam mobilnya yang melaju di jalanan malam kota Jakarta.

"Sepertinya saya tidak sanggup untuk mencari anak itu, Pak!".

"Cek rekeningmu! Aku sudah mengirimkan DP untuk kesediaanmu! Jika kau mengurungkannya, seperti biasa, kau harus mengembalikannya padaku lima kali lipat dari yang sudah ku transfer itu."

Sambungan telepon terputus oleh Dirga. Basar langsung memeriksa m-banking-nya. Dia terkejut mendapati transferan dari Dirga. Dengan kesal dia melempar handphone-nya ke lantai dengan amarah dan sejuta penyesalan yang telah menerima tawaran itu.

-----------------------------------------

Sebuah mobil berhenti cukup jauh dari gerbang rumah mewah milik Azka. Di dalam mobilnya Dirga menatap rumah mewah dua lantai itu dengan heran. Dia bertanya pada anak buahnya yang sedang menyetir.

"Benar cucunguk itu sekarang tinggal di rumah itu?" Tanya Dirga memastikan.

"Benar, Pak. Kami sudah menyelidikinya".

"Sepertinya ada yang aneh" Dirga berucap.

"Aneh bagaimana, Pak?"

"Kenapa Pak Manopo sampai sebaik itu padanya? Padahal anak itu belum membuktikan apa-apa di Perusahaan Kastara, tapi dia sudah menyediakan fasilitas yang mewah untuknya”.

Anak buahnya terdiam karena tidak dapat menjawab pertanyaannya.

"Benar hacker itu juga tinggal bersamanya di sini?" Tanya Dirga sekali lagi.

"Benar, Pak" jawab anak buahnya. "Bukan hanya dia, tapi pacarnya juga.

“Syifa Hadju?"

"Benar, Pak."

Dirga tertawa. Sementara itu, di dalam dua rumah besar yang mengapit rumah Azka dan yang berada di hadapannya, anggota kelompok Naga Sembilan sudah berjaga dengan senjata apinya untuk melindungi Azka. Mereka berjaga jika Dirga melakukan tindakan yang membahayakan Target Nomor Satu mereka. Sebagian berjaga di balik pagar rumah dan sebagiannya lagi mengawasinya di balik tabir jendela. Dan ada beberapa yang sudah bersiaga di atas atap rumah-rumahnya.

Di ujung jalan yang menghadap mobil Dirga yang sedang terparkir, Kelompok Naga Tujuh sudah bersiaga menjaga Dirga di dalam sebuah mobil.

"Jalan!" Perintah Dirga pada anak buahnya.

"Baik, Pak."

Mobil Dirga pun kembali melaju melintasi gerbang rumah Azka, lalu terus saja melaju menuju gerbang komplek yang cukup jauh dari jalanan itu.

Azka menutup buku autobiografi ibunya. Dia berdiri lalu membawa tiga buku itu ke kamarnya. Sesampainya di kamar, Azka meletakkan tiga buku itu ke atas meja lalu
meraih jaket di dalam lemari dan memakainya. Setelah itu dia meraih kunci mobil dan bergegas pergi dari kamarnya, berniat mengunjungi salah satu toko sembako yang dikelola oleh para anak buahnya.

Azka menaiki mobilnya lalu melajukannya hingga keluar dari gerbang. Saat sudah keluar dari gerbang komplek perumahan, dia menambah kecepatan mobilnya hingga melewati mobil Dirga.

Dirga yang sejak tadi melihat ke luar jendela terkejut melihat Azka sedang mengemudikan mobil yang mendahuluinya itu.

"lkuti mobil yang barusan mendahului kita tadi!" Perintah Dirga pada anak buahnya.

"Siap, Pak!" jawab anak buahnya.

Anak buahnya menambah kecepatannya agar tidak tertinggal jauh dari mobil Azka di hadapannya.

Malam kian kelam. Azka yang tengah melajukan mobilnya dengan kencang. Sesaat kemudian heran melihat sebuah mobil mewah yang tiba-tiba mengikutinya dari belakang dengan kecepatan yang sama seperti mobilnya.

Azka menajamkan matanya dan menengok ke arah belakang untuk membaca plat mobil tersebut. Ketika sudah melihat dengan jelas plat mobil yang berada di belakangnya, Azka teringat bahwa mobil itu adalah mobil yang pernah dibawa Boby ke kampus.

Karena penasaran, akhirnya dia menepi lalu menghentikan mobilnya. Dia ingin memastikan apakah mobil itu memang sedang mengikutinya atau kebetulan saja berada di belakangnya.

Jika mobil itu berhenti dan akan menyerangnya, dia sudah siap untuk keluar dari dalam mobil lalu melawannya.

Rupanya mobil itu melewati mobil miliknya lalu tiba-tiba di hadapan sana dia berputar balik dan mengarah kehadapan mobil Azka lalu berhenti.

Azka tersenyum kecut, "Dia benar-benar berani nantangin gue?".

Saat Azka hendak keluar dari mobilnya, mobil di hadapannya itu malah sengaja menyalakan lampu di dalam kabin mobil. Azka urung keluar dan terkejut melihat Dirga ada di dalam mobil itu. Lalu lampu kembali padam seperti sengaja ingin menunjukkan padanya bahwa Dirga sengaja ingin menantangnya.

Azka keluar dari dalam mobil dan berdiri di samping mobilnya. Baru satu dua langkah maju, puluhan motor berdatangan dari arah belakang lalu sebagian berhenti di hadapan mobil Azka menghadap ke mobil Dirga dan sebagiannya berhenti mengapit Azka dan berhenti di belakangnya.

"Tahan, Tuan!" Pinta pemotor yang berhenti di belakangnya.

Azka berhenti melihat kedatangan mereka dan menduga-duga siapa mereka ini?

Tak lama kemudian kembali motor-motor berdatangan namun muncul dari arah belakang mobil Dirga. Sebagian berhenti di hadapan mobilnya dengan menghadap ke mobil Azka dan sebagiannya lagi berhenti mengapit mobil Dirga dan berhenti di belakangnya.

Rupanya para pemotor itu adalah Kelompok Naga Tujuh dan Kelompok Naga Sembilan yang kini saling berhadapan-hadapan melindungi Tuannya masing-masing.

Dirga tertawa di hadapan sana, "Aku sengaja ingin melihat apakah Kelompok Naga benar-benar melindungiku dan melindungi anak itu.

“Sekarang aku sudah mengerti, mengapa Pak Manopo mengistimewakan anak itu! Sepertinya dia yang telah mengaktifkan Kelompok Naga untuknya”

“Kita harus mencari tahu apakah benar dugaanku bahwa anak itu anak Pak Manopo yang disembunyikan? Jika Azka bukan anaknya, tidak mungkin Pak Manopo mengistimewakannya bukan?".

Supirnya hanya diam.

"Bunyikan klakson!” Perintah Dirga pada anak buahnya.

"Kita harus pergi dari sini dan belum saatnya dua naga harus berperang."

"Baik, Pak."

Anak buahnya pun mengikuti perintah. Kelompok Naga Tujuh yang menjaganya membuka jalan.

Mobil Dirga kembali putar balik lalu melaju meninggalkan mobil Azka dengan kencang.

Azka memutar tubuhnya dan kini menatap Kelompok Naga Sembilan di depannya.

“Kamu dan para kelompokmu lagi-lagi muncul. Untuk urusan apa kalian membantuku?” Tanya Azka.

“Maaf, Tuan! Kami tidak berani memberitahukannya” Jawab Ketua regu.

Setelah mengatakan itu, ketua regu melambaikan tangannya. Diikuti anak buahnya mereka semua meninggalkan Azka tapi sebenarnya tidak benar-bemar meninggalkannya.

Azka kembali masuk ke dalam mobilnya dan melanjutkan tujuannya menuju salah satu warung sembako yang dikelola oleh Macan Kumbang.

-----------------------------------

Pagi sekali Azka dan Ari mengantar Syifa ke mobilnya. Dua Bodyguard dan Asisten pribadinya sudah bersiap di dekat mobil. Berikut barang-barang milik Syifa sudah dinaikkan semua ke dalam mobil.

"Makasih udah mau direpotin gue, ucap Syifa pada Azka.

"lya, ngerepotin banget" Balas Azka dengan bercanda.

Dengan refleks Syifa mencubit pinggang Azka. Namun Azka sudah sigap dengan segala serangannya berusaha menahannya dan membiarkan tangan lembut itu mencubit kulit pinggangnya dengan kesakitan.

"Aduh, aduh, aduh! Bercanda!" Teriak Azka.

Ari tergelak tawa.

Syifa menoleh pada Ari lalu bicara padanya, "Jagain Azka ya, Ri!"

"Hah? Ada juga gue yang dijagain sama dia!" Celetuk Ari.

"Kalo itu gue udah tau!" Ujar Syifa.

“Maksud gue, jagain kalo dia berani ngelirik cewek lain."

Azka mengernyit.

"Wah! Kalo soal itu gak mungkin, Fa! Mana dia punya lima lobang lagi” Batin Ari.

“Ari! Lo denger gue gak sih?” Tegur Syifa.

“Iya.. iya, Fa. Beres!” Jawab Ari tersenyum iblis.

"Udah berangkat sana, nanti telat shootingnya” Ucap Azka yang tak ingin Syifa memperpanjang ucapannya barusan.

Syifa mengangguk lalu bergegas menaiki mobilnya, diikuti oleh kedua bodyguard dan asisten pribadinya.

Azka dan Ari berdiri di sana hingga mobil itu keluar dari pekarangan rumah. Ari dan Azka kembali ke dalam, setelah Ari menutup pintu terdengar suara pekikan keras yang membuat Azka berjingkat.

“Akhirnya gue bakal bisa muncrat!!!” Teriak Ari.

“Kaget setan!” Kejut Azka sembari menoyor kepala Ari.

“Sorry… habisnya gue ngaceng mulu dari kemaren-kemaren!”.

Azka kembali mengingatkan aturan yang berlaku dan Ari mengingatnya itu.

"Lo beneran cuti di kampus?" Tanya Azka pada Ari sembari melangkah menuju teras belakang rumah bersamanya.

"lya" Jawab Ari.

Saat mereka sudah duduk di teras belakang rumah menghadap kolam renang, Azka merasa bersalah sudah melibatkan Ari terlalu jauh dalam hidupnya.

"Lo mau kerja di Perusahaan Kastara?" Tawar Azka.

Ari menoleh dengan tidak percaya, “Emang bisa?"

"Ya bisalah! Ntar gue jadiin lo sebagai kepala bagian IT di sana."

"Terus, lo mau pecat bagian kepala IT yang lama?"

"Ya, nggak lah. Itu cara busuk kalo sampe gue lakuin. Lo tenang aja, gue bakal pindahkan kepala bagian IT ke posisi lain yang terbaik untuknya” Jawab Azka

"Lagipula dia juga gak bisa kerja dengan baik, buktinya lo masih bisa membobol data-data di Perusahaan Kastara”.

"Keren! Selain lo dikasih hal mewah sama Pak Manopo, ternyata lo punya wewenang kuat juga buat masukin dan mecatin orang-orang di perusahaan itu" Puji Ari.

"Lo ngomong gitu kesannya gue otoriter di Kastara. Ya kagak lah! Gue mau masukin lo karena emang lo udah teruji kompeten di mata gue, dan gue mecatin orang karena mereka terbukti bersalah dan gak layak jadi team gue" Papar Azka.

"Pemimpin yang baik itu yang bisa mencari team yang bener dan yang ngerti mana yang pantas dan gak untuk mendukung visi misinya, serta cerdas memanfaatkan potensi yang dimiliki bawahannya."

"Cakep!" Celetuk Ari.

"Kalo gitu gue bersedia!"

"Tapi ada syaratnya " Sahut Azka.

"Apaan?"

Azka berdiri, "Ikut gue!"

Ari heran. "Kemana?"

“Oh gue tau, lo pasti mau ngajakin gue nonton harem-harem lo pada joget telanjang, Kan?”

Azka menjitak kepala Ari dan berkata, "Ikut gue! Biar besok lo bisa mulai kerja di kantor gue!"

Dengan mengusap kepalanya Ari terpaksa mengikuti Azka untuk keluar rumah menuju mobilnya yang diparkir di depan sana. Mereka tiba di parkiran Cafe Syifa.

Ari heran, "Ngapain ke sini?"

"Gue cuman numpang makan doang kok!" Jawab Azka.

"Numpang makan?” Ari terheran padahal dirumahnya tinggal minta saja pada pembantu semoknya.

"Yaudah turun dulu” Pinta Azka.

Keduanya turun dari mobil. Pramusaji yang melihat Azka di sana langsung keluar dan menghampiri karena sudah lama tidak melihat mantan managernya yang lama tak berkunjung ke sana. Setelah makan dan berbincang, Azka pamit pada mereka.

“Mereka semua juga harem-harem lo, Az?” Tanya Ari di dalam mobil.

“Bukan!”

"Oh kirain! Terus kita mau kemana lagi?".

Azka tak menjawab dan hanya menstarter mobilnya kemudian melajukannya menuju rumah Bu Ningsih.

“Rumah siapa nih?” Kembali Ari bertanya setibanya di tempat tujuan.

“Ibu asuh gue” Jawabnya.

Ari semakin heran kenapa Azka membawanya kesini?

"Assalamualaikum!" Teriak Azka pada penghuni rumah.

Terdengar suara Rojak menjawab salam Azka dari dalam sana. Tak lama kemudian pintu gerbang terbuka, Rojak heran melihat kedatangan Azka bersama temannya secara tiba-tiba.

"Nggak ada angin nggak ada hujan ujug-ujug datang kamu, Nak!" Canda Rojak.

Azka salim pada Rojak, bergantian Ari mengikutinya.

"Siapa nih?" Tanya Rojak.

"Temen kampus, Pak!" Jawab Azka.

"Yaudah, ke belakang aja biar enak ngobrolnya” Ajak Rojak.

"Di belakang adem banyak pohon!"

"lya, Pak." Azka mengajak Ari mengikuti Rojak berjalan menuju pekarangan belakang rumah.

Rojak mengajak mereka duduk di bale-bale. Seperti biasa, istrinya bergegas menghidangkan jamuan ala kadarnya. Kemudian Ningsih bertanya kabar Mawar pada Azka, setelahnya dia masuk kedalam rumah lagi.

Rojak menoleh pada Azka dengan heran.

“Emang ada apa? Tumben ujug-ujug main? Biasanya nelepon dulu kalo mau ke sini?"

Azka melihat ke arah Ari sebentar lalu kembali menatap Rojak.

"Bapak masih menerima murid?”

Ari mulai curiga.

"Murid? Maksudnya gimana, Nak?”

“Waktu itu Bapak pernah menawari saya belajar ilmu kebal bukan? Apa bapak bisa mengajari untuk teman saya ini?”

Ari baru mengerti tujuan Azka mengajaknya kemari.

Rojak akhirnya paham maksud Azka. Kini pandangannya ia alihkan pada Ari, “Kalau bapak lihat kamu bukan tipe orang yang suka berkelahi. Jadi buat apa belajar ilmu kebal? Percuma saja karena itu tidak akan berguna”

“Ilmu kebal bukan sekedar menyelamatkan nyawa sendiri, Nak. Tapi harus bisa menyelamatkan nyawa orang lain”

“Contoh! Kamu lagi jalan santai nih, tiba-tiba kamu dibacok dari arah belakang dan nyawamu selamat. Tapi berhubung kamu tidak punya beladiri sehingga musuhmu akhirnya kabur dan itu kesalahan fatal. Karena bisa jadi orang terdekatmu yang akan menjadi target selanjutnya. Kamu paham maksud bapak, Nak?”

Azka mengangguk.

“Jadi lo mau belajar beladiri, kagak?” Tanya Azka pada Ari.

"Biar lo kagak perlu lari-lari lagi kalo dikejar-kejar orang."

Ari sebenarnya kurang suka dengan ilmu bela diri. Namun mengingat beberapa hari ini nyawanya sedang terancam karena dicari-cari orang, akhirnya dia berpikir bahwa ajakan Azka adalah pilihan terbaik.

"Jangan memaksakan diri kalo tidak berminat” Ucap Rojak melihat ada keraguan di wajah Ari, dirinya paling tidak suka mengajarkan ilmunya pada orang yang terlihat ragu-ragu begitu.

"Mau, Pak!" Jawab Ari.

"Bapak tidak mau kalo kamu sekedar untuk iseng saja!" Tegas Rojak.

"Ilmu bela diri itu seni, seni membela diri. Dan tidak akan pantas untuk orang yang ragu-ragu dalam mempelajarinya, karena hasilnya pasti setengah-setengah. Bapak butuh orang yang benar-benar punya tekad dan semangat berlatih.”

"Saya beneran mau, Pak" Jawab Ari.

Rojak tersenyum.

"Kalo begitu, latihannya dimulai hari ini juga!"

Ari kaget, "Hari ini juga, Pak?"

"lya" Jawab Rojak. "Tiap hari minggu pagi dan malam jumat kamu wajib datang kesini. Itu hari wajib kamu latihan, selain hari itu terserah. Kamu mau datang bapak latih, tidak datang juga tidak apa-apa."

"Siap, Pak!”.

“Sekarang pergilah ke depan rumah Bapak!” Pinta Rojak.

Ari merasa heran, “Untuk apa, Pak?”.

Azka yang turut mendengarnya mengerutkan kening, dia tau bahwa di depan rumah Rojak trrdapat sebuah kios. Apa Rojak menginginkan sesuatu?

“Kamu masuk saja ke kios itu dan katakan satu slop Nie Lam Soe!” Ucap Rojak terkekeh.

Ari yang mengerti segera pergi dengan menggerutu dalam hati, “Pake panjang kali lebar bilang saja minta rokok!”

"Kamu yakin temanmu itu akan serius belajar?” Tanya Rojak memastikan pada Azka.

"Yakin, Pak!. Dia orang baik dan sudah banyak bantu Azka.”

Rojak angguk-angguk dengan tenang.

Azka pun lega melihat Rojak mau menerima Ari sebagai murid beladirinya.

----------------------------------------

Juki datang dengan motornya saat Marwan dan Nugi sedang memeriksa barang-barang di dalam mobil bak yang akan disebar ke setiap toko yang dijaga anak buahnya. Marwan dan Nugi heran melihat wajah Juki yang terlihat panik.

"Ada masalah?" Tanya Marwan penasaran pada Juki yang kini sudah berdiri di hadapan mereka.

"Ada laporan dari mata-mata kalau Pak Dirga menugaskan Basar untuk menangkap Ari" Jawab Juki.

"Pak Dirga juga meminta Basar untuk mencari tahu siapa yang menolong Ari di Club Twenty Four waktu itu. Kedatanganku meminta pendapat kalian, apa perlu aku katakan ini pada Ketua?”.

Marwan dan Nugi geram mendengarnya.

"Dia memang tidak ada kapok-kapoknya" Sahut Marwan dengan geram.

"Mungkin sebaiknya kita laporkan saja pada Ketua, agar kita tahu bagaimana reaksi Bang Azka. Jika Ketua memerintahkan kita untuk menyelesaikan masalah ini, kita harus bergerak sesegera mungkin" Ujar Nugi berpendapat.

Juki dan Marwan tampak berpikir, Nugi menunggu keputusannya.

Tak lama kemudian Marwan menatap Juki dan Nugi lalu bicara padanya, "Biar gue saja yang melaporkan pada Ketua."

Juki dan Nugi mengangguk. Marwan langsung menggunakan handphone-nya menghubungi Azka yang sedang duduk sambil memperhatikan Ari yang sedang dilatih oleh Rojak mendapati telpon dari Marwan.

Azka bergegas bangkit dari bale-bale lalu menjauh dari Rojak dan Ari. Saat Azka sudah berada di halaman depan, dia menggunakan handphone-nya, "Halo".

"Basar sedang bergerak untuk menangkap Ari. Dia diperintah oleh Pak Dirga" Ucap Marwan di seberang sana.

Azka geram mendengarnya, "Kalian tak perlu bergerak, biar aku yang mengurus mereka."

"Tapi, Bang..."

"Nanti aku pasti akan meminta bantuan kalian jika memang diperlukan" Sela Azka.

"Baik, Bang!”.

Setelah sambungan terputus, Azka langsung menghubungi Dirga. Dirga yang saat itu sedang berada di lapangan golf ditemani gadis caddy didatangi oleh anak buahnya.

"Ada telepon, Pak" Ucap anak buahnya.

Dirga yang baru hendak memukul bola golf di hadapannya tampak urung lalu meminta para gadis caddy yang menemaninya untuk menjauh sebentar. Para gadis caddy itu bergegas pergi.

Dirga kembali menatap anak buahnya, "Dari siapa?"

"Bapak belum menyimpan nomornya" Jawab anak buahnya itu.

Dirga meraih handphonenya dengan penasaran lalu menggunakannya.

"Halo!" Sapa Dirga.

"Bersainglah dengan sehat dan jangan berbuat curang apalagi dengan kekerasan!" Ucap Azka di seberang sana.

Dirga mengernyit geram, "Siapa kamu?!"

"Sudah lupa dengan suaraku?" Tanya Azka.

Dirga mencoba mengingat, namun dia lupa jika Azka dulu pernah menghubunginya.

"Siapa kamu?!!!" Teriak Dirga yang semakin geram.

"Seseorang yang dulu pernah mengancam anda dengan rekaman CCTV yang menunjukkan aksi kejahatan anakmu pada seorang artis ternama" Jawab Azka.

Mendengar itu Dirga membuang stik golf saking geramnya.

“Maksud kamu mengajak aku untuk bersaing sehat itu apa?!"

"Aku tahu apa tujuan anda untuk meminta Basar menangkap hacker yang telah membuat anak buahmu babak belur di Club Twenty Four” Jawab Azka.

“Anda khawatirkan? Jika jejak-jejak anda yang bekerjasama dengan para chef itu terkuak di media? Anda tenang saja, aku tidak akan menyebarkannya, meskipun itu pantas kulakukan."

Dirga mendengarkan Azka dengan geram.

"Sekarang kuberikan kesempatan. Bersainglah secara sehat! Silahkan majukan Nusantara Group dengan caramu tapi jangan menggangu Kastara kembali. Biarkan kami berkembang dengan cara kami”

“Jika memang anda memiliki orang-orang yang mumpuni, mereka pasti akan mampu memajukan Nusantara Group tanpa harus berbuat jahat dan curang. Apa anda tidak belajar dari mendiang Pak Santanu? Beliau saja tidak pernah melakukan kejahatan untuk memajukan Nusantara Gruop selama ini."

"Anak ingusan sepertimu jangan mencoba mengajari, Ku!" Bentak Dirga.

"Aku tidak sedang mengajari anda, Tuan Dirga yang terhormat?” Ledek Azka.

“Namun aku tidak ingin anda mengadu domba Penguasa Kuda Hitam dengan Penguasa Macan Kumbang lagi”

“Kami sudah tenang dengan kehidupan masing-masing dan sudah tidak saling mengganggu lagi. Tapi jika anda masih bersikeras untuk menangkap hacker itu, apa boleh buat, aku pasti akan menggagalkannya dan suatu saat nanti anda akan tahu sendiri akibatnya seperti apa!” Ancam Azka.

Dirga memutuskan sambungan telepon dengan geram lalu melempar handphonenya sejauh yang dia bisa lemparkan.

Sementara itu Azka menyimpan handphone-nya sambil mengatur nafasnya untuk meredakan emosi. Dia harus mengikuti saran Adirata untuk menahan semuanya hingga orang tuanya sadar kembali dari koma.


Bersambung….
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd