Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Kumpulan Cerita Pendek 3

begawan_cinta

Guru Semprot
Daftar
27 Oct 2023
Post
579
Like diterima
9.984
Bimabet
•••••

1. MPOK ENCUM BUTUH KEHANGATAN




SIANG ITU, aku membeli air mineral di tokonya Mpok Encum. Toko Mpok Encum selalu ramai oleh pembeli karena ia selalu ramah kepada pembeli dan persediaan barang di tokonya lengkap. Ketika aku datang ke toko, Mpok Encum hanya seorang diri.

“Tumben sendirian, Mpok? Emang Bang Rasyid ke mana?” tanyaku.

“Yang di sini dong ditanyain, masa yang gak di sini malah ditanyain? Hee... hee... biasaaa, Bang Rasyid lagi check gula darah ke dokter.” jawab Mpok Encum.

“Ooohhh... kirain lagi ke bini mudanya,” kataku berseloroh.

“Yaelah pake bini muda segala, aku aja gak pernah diurusin...” balas Mpok Encum.

“Loh, gak pernah diurusin gimana Mpok? Bang Rasyid kan gantian sama Mpok nungguin toko, jadi ada waktu dong buat indehoy gitu... hee... hee...” jawabku.

“Aaahhh kamu iniiii... Bang Rasyid itu gak pernah puasin Mpok. Dia mah mau enaknya sendiri. Kalau udah selesai langsung ke mana tau...” kata Mpok Encum.

“Aku makin gak ngerti maksud Mpok apaan sih?” balasku.

“Yaaahhh... kamu belum berumah tangga gak boleh taulah... ini urusan orang berumah tangga...” jawab Mpok Encum.

“Tapi kan Mpok, siapa tau aku bisa membantu Mpok mengurangi beban Mpok gitu... hee... hee...” kataku.

“Biasalah Zul, masalah begituan...” kata Mpok Encum.

“Oooohhh... aku ngerti deh sekarang, Mpok. Gampang ngatasinya, Mpok! Aku bisa bantu kalau Mpok mau...” ujarku.

“Haa... haaa... “ Mpok Encum tertawa ngakak. “Emangnya kamu mau bantu apa coba? Angkat tabung gas sama galon, atau mungkin angkat aku... eeehhh...” kata Mpok Encum.

“Apa tadi Mpok, angkat Mpok? Jangankan angkat Mpok, aku siap puasin Mpok!” jawabku.

“Eeeehhh Zul, ngomong jangan asal jeblak, kalau kedengaran tetangga, nanti aku dikira ada main sama kamu...” tegur Mpok Encum.

“Maaf Mpok, kalau aku keceplosan..” ucapku.

“Mari masuk, duduk sini,” ajak Mpok Encum yang duduk di dalam warung.

“Terima kasih, Mpok...” jawabku. “Trus kalau Bang Rasyid datang gimana, apa Bang Rasyid gak cemburu tuh?” tanyaku setelah masuk ke dalam warung Mpok Encum.

“Udah tenang aja, Bang Rasyid periksanya lama, antrinya panjang, penuh soalnya... duduk sini...” jawab Mpok Encum menyodorkan bangku plastik untukku.

Aku duduk di dekat tempat duduk Mpok Encum. Mpok Encum memutar kursi kebesarannya, yaitu sebuah kursi kantor menghadap tempat dudukku.

“Tadi kamu bilang... bisa puasin Mpok, emang kamu udah pernah gituan?” tanya Mpok Encum memandang aku.

“Sebenarnya, diam-diam aku sering memperhatikan Mpok loh, Mpok cantik, pakai jilbab gitu. Aku pernah mimpi diajak begituan sama Mpok, sampai-sampai aku mimpi basah...” kataku.

“Walahh... kebanyakan nonton film begituan kali tuh...” balas Mpok Encum tertawa.

“Masa kebanyakan nonton film begituan yang muncul di mimpiku malah Mpok, sih? Bukan Mpok, mungkin kita sejodoh...” kataku.

“Buktikan dong sama Mpok!” balas Mpok Encum.

Tanpa menunggu lagi, aku mengeluarkan penisku yang kekar dari bagian bawah celana pendekku yang longgar mempertontonkan penisku yang sudah mengeras di depan Mpok Encum.

“Nih... liat Mpok... tititku udah ngaceng banget...” kataku.

“Waaahhh... waahhh... gede juga tititmu Zul... lebih gede dari pada punya Bang Rasyid ...” kata Mpok Encum

“Iya dong... mantap kan, Mpok? Ini karena Mpok Encum!” jawabku.

“Memangnya kalau gak sama aku gak ngaceng segede gini?” tanya Mpok Encum memegang penisku.

“Kocokin Mpok! Tangan Mpok hangat.. enak...” jawabku. Aku menjulurkan tangan meremas-remas payudara Mpok Encum yang masih dibungkus oleh bajunya dan jilbab.

“Emmmpppffhhhh... tunggu sebentar Zul... aku tutup pintu warung dulu... ” kata Mpok Encum.

Mpok Encum bangun dari tempat duduknya melangkah ke depan warung menarik pintu besi, lalu menguncinya dari dalam seolah-olah Mpok Encum sedang istirahat siang.

Setelah itu Mpok Encum dan aku masuk ke dalam rumah. “Pengen minum apa Zul? Teh apa kopi gitu?” tanya Mpok Encum padaku setelah aku duduk di kursi sofa yang ada di ruang tamu rumah Mpok Encum.

“Terima kasih, Mpok! Aku ingin tetek Mpok saja yang montok itu untuk memuaskan dahagaku... hee.. hee... ” jawabku.

Tanganku mulai mengelus paha Mpok Encum yang dibungkus oleh rok panjang. Mpok Encum dan aku saling bertatapan mata. Pandangan mataku penuh arti, begitu pula dengan tatapan mata Mpok Encum. Wajah dan bibir kami saling mendekat, kemudian kami pun berciuman bibir.

Bibir Mpok Encum sangat ganas. Bibirku disedot-sedotnya dan lidahnya menusuk-nusuk mulutku. Kemudian kami bermain lidah dan saling bertukar ludah. Nafas Mpok Encum memburu. Rupanya ia sudah mulai terangsang.

Mpok Encum merebahkan tubuhnya di sofa dan kami kembali berciuman. Kali ini, aku melepas bajunya dan aku mulai menciumi leher serta payudara Mpok Encum yang masih terbungkus bra.

Lalu Mpok Encum melepaskan branya dan tampak kedua payudaranya yang besar dengan puting susu yang sudah mulai mengeras. Aku menyedot dan menghisap puting susu Mpok Encum sambil diremas-remas. Cukup lama aku bermain-main dengan payudara Mpok Encum.

Kemudian Mpok Encum melepaskan pelukannya. Mpok Encum melepaskan rok panjangnya dan membuka celana dalamnya. Sedangkan aku melepaskan seluruh pakaianku sehingga aku dan Mpok Encum sama-sama telanjang bulat.

Kejadian yang tak kusangka-sangka, aku dan Mpok Encum bertelanjang bulat, padahal tujuan utamaku tadi ke warung Mpok Encum hanyalah untuk membeli air minum.

Bang Rasyid, suami Mpok Encum setiap seminggu sekali harus kontrol kesehatan ke dokter. Bang Rasyid terkena penyakit diabetes sehingga ia tidak mampu memuaskan nafsu birahi Mpok Encum yang sangat besar. Umur Bang Rasyid 48 tahun, sedang umur Mpok Encum 45 tahun

Wajah Mpok Encum lumayan cantik, kulitnya putih bersih, tinggi badannya kira-kira 160 cm, dan mempunyai 2 orang anak, satu cewek satu cowok. Anak yang cewek sudah menikah, sedangkan anak cowok kuliah baru semester 3 di sebuah universitas swasta.

Mpok Encum berjongkok. Penisku yang sudah mengeras itu dimasukkan ke dalam mulutnya. Penisku dihisap oleh Mpok Encum dengan gerakan kepala maju-mundur. Aku pegang kepala Mpok Encum yang masih berjilbab, lalu kukocok-kocok penisku di mulut Mpok Encum yang basah.

“Oouhhhhh... yeeaahhh... enak banget... aaahh... hhhhh...” desahku dengan penuh kenikmatan.

Gantian Mpok Encum berdiri dan menaruh satu kakinya di atas pinggiran sofa.

Setelah itu aku menjilati vagina Mpok Encum yang berbau anyir. Bulu kemaluannya tidak lebat dan empat jariku masuk sekaligus ke dalam lubang vagina Mpok Encum yang basah dengan cairan birahinya itu. Terus kukocok-kocok. Mpok Encum pun mengerang dan teriak pelan dengan penuh kenikmatan.

“Aauuucchhhhh... aaahhhh... ooooohhh... mmmfffhh... hhh... terusss Zul... teruuuusssss... ooohhhhh...” rintihan Mpok Encum membuatku semakin terpacu untuk memuaskan birahi seksualnya.

Dan benar saja, tak lama akhirnya Mpok Encum orgasme. Ia pun menjatuhkan dirinya ke sofa dengan posisi terlentang. Aku tidak tinggal diam.

Segera saja aku melebarkan paha Mpok Encum dan aku masukkan penisku ke dalam vagina Mpok Encum. Blesss... penisku masuk tanpa hambatan yang berarti. Dengan gerakan maju-mundur, aku memompa dengan pelan lubang vagina Mpok Encum yang nikmat itu, lalu semakin lama semakin cepat gerakanku.

“Aaahhh... uuuhhh... oohhhh... yeeahh... terus Zul... terusssss... enak banget...” erang Mpok Encum.

Ketika aku hampir klimaks, aku menghentikan sejenak gerakkanku. Aku berciuman dengan Mpok Encum. Setelah itu, kembali aku melanjutkan gerakanku yang tadi.

“Berhenti dulu Zul... aku mau balik badan dulu...” pinta Mpok Encum.

Kemudian Mpok Encum membalikkan tubuhnya. Dengan posisi “doggy style” aku kembali menggenjot vagina Mpok Encum. Jika aku terasa capek maka Mpok Encum gantian yang melakukan gerakan maju-mundur.

“Ooohhhhh... uuhhhh... hhhhhhh... aaahhhhh... yeeaahh...” desah Mpok Encum.

Gerakan yang dilakukan Mpok Encum makin hebat. Dengan gerakan memutar dan menekan yang dilakukan Mpok Encum maka tak lama kemudian pertahananku pun jebol.

“Ooohhhh... aku mau keluaaaaarrrrr...” rintihku sambil mendorong penisku dalam-dalam. Croottt... croottt... croottt... serr... air maniku tumpah ruah di dalam liang vaginanya Mpok Encum.

Setelah itu, Mpok Encum membalik tubuhnya memeluk aku. Aku dan Mpok Encum berpelukan dengan tubuh basah berkeringat. Benar-benar pertempuran yang sungguh melelahkan.

Mpok Encum memandangi aku sambil tersenyum. “Kamu memang hebat Zul... aku puas banget...” kata Mpok Encum.

“Iya Mpok... aku juga...” jawabku.

“Yuk ah... aku mau mandi dulu biar Bang Rasyid gak curiga...” kata Mpok Encum.

“Boleh mandi bareng gak Mpok?” tanyaku.

“Emmmmm... lain kesempatan aja ya? Buruan pake baju kamu, terus perginya lewat pintu belakang.” jawab Mpok Encum.

“Oke Mpok...” kataku.

Aku segera mengambil pakaianku lalu menuju ke belakang rumah Mpok Encum. Di sana aku memakai kembali pakaianku. Setelah selesai, aku melangkah pulang ke rumahku dengan tersenyum penuh kepuasan.

Kini Mpok Encum menjadi bagian dari hidupku, karena skandal ini terus kami lakukan setiap minggu. (14082017)
 
•••••

2. Tetangga Cantik Dan Nikmat



SAYA iri betul dengan Pak Jagur tetangga saya. Tubuh Pak Jagur gemuk, perutnya buncit, kok bisa ya punya istri yang cantik dan seksi? Kalau saya melihat wajah Bu Triska, nggak ngocok nggak bisa. Jangankan melihat, membayangkan saja sudah membuat saya pengen ngocok.

Sabtu sore saya berkesempatan menjadi bujangan. Istri saya pergi ke rumah ibunya bersama kedua anak kami. Selesai mandi saya keluarkan mobil saya dari garasi. Saya pengen jalan-jalan sembari cari makan di mall dan cuci mata. Sudah agak lama saya nggak cuci mata di mall.

Di mulut gang saya melihat berdiri 2 orang wanita. Dari belakang, kelihatannya seperti Bu Triska dan seorang lagi wanita berumur paruh baya terlihat dari bentuk tubuhnya. Ternyata benar Bu Triska. Saya membuka kaca mobil saya, ia kelihatan kaget.

“Mama Dani, mau ke mana? Lagi tunggu taksi online atau tunggu angkot?” tanya saya.

“Ini... mau ke rumah sakit, lagi tunggu angkot, Papa Jojo.” jawab Bu Triska.

“Mama Dani mau ke rumah sakit mana?”

“Rumah sakit Mitra, Papa Jojo.”

“Mari saya antar Mama Dani, kebetulan saya mau ke mall Angkasa...”

“Tapi Mama saya mau pulang ke rumah, Papa Jojo...”

“Gampang, Mama Dani. Nanti saya antar... hari ini saya bebas tugas...”

Begitulah, kedua wanita itu berhasil saya angkut dengan mobil Avansa saya. Tentu saja Bu Triska tahu diri, ia tidak menjadikan saya sopir taksi online. Ia duduk di depan dengan saya, sedangkan mamanya duduk di barisan kedua. Harum tubuhnya membuat kemaluan saya konak, apalagi celananya yang ketat menampilkan pahanya yang kencang dan padat berisi. Pinggulnya juga masih bergelombang. Jika di tempat tidur, pasti goyangannya mantap nih, batin saya.

“Si.. siapa yang sakit, Mama Dani?”

“Adiknya suami saya melahirkan...”

“O... anak yang ke berapa?”

“Anak yang ketiga...”

“Mama turun di sini aja, Tris...”

“Lha, kok turun di sini, Bu?” tanya saya pada mamanya Bu Triska.

“Iya, Ibu mau belanja sebentar... sudah dekat kok, rumah Ibu, gak papa... nggak usah diantar,” jawab mamanya Triska.

“Hati-hati ya, Ma...” sambung Bu Triska.

Saya melanjutkan perjalanan ke rumah sakit dengan Bu Triska setelah saya menurunkan mamanya di tepi jalan. “Mama saya sudah biasa, kemana-mana sendiri...” kata Bu Triska.

“Papa.... sibuk?” tanya saya.

“O... Mama sudah cerai dengan Papa....”

“Pantesan... masih cantik... hee.. hee...”

“Masa sih...?

“Iya... awet muda mamanya...”

“Beda ya dengan anaknya?” canda Bu Triska.

“Nggak dong... kalau saya kasih nilai, anaknya 9, mamanya 7...”

“Haa... haa... bisa aja nih Papa Jojo...”

“Saya ngomong apa adanya, Mama Dani...”

“Istri... berapa hari ke rumah mertua?”

“Besok atau lusa juga sudah pulang, mana tahan ia pergi lama-lama?”

“Ayo... Mama Jojo yang nggak tahan, apa Papa Jojo yang gak tahan? Bukankah biasanya laki-laki?” kata Bu Triska.

“Dibandingkan dengan saya, pasti Pak Jagur lebih kuat ya, Bu?”

“Tuh... tuh... tuh... ada toko roti, kita berhenti sebentar beli roti, yuk!” ajak Bu Triska.

Saya hentikan mobil saya di tepi jalan, di seberang toko roti. Saya tidak membiarkan Bu Triska turun sendiri dari mobil, saya juga ikut turun. Tugas saya adalah mencegat mobil atau sepeda motor yang ramai sekali di sepanjang jalan. Barangkali mungkin Bu Triska takut nyeberang jalan, di tengah jalan ia memegang tangan saya.

Duhh... tubuh saya bergetar dan panas dingin digandeng oleh wanita cantik ini. Sebenarnya saya tidak ingin membeli roti, tetapi karena saya ingin mengambil hati Bu Triska, saya ikut membeli 2 buah roti, sedangkan Bu Triska membeli 5 buah roti untuk dibawa ke rumah sakit, lalu saya buru-buru mengeluarkan dompet saya ketika Bu Triska berjalan ke kasir.

“Nanti saya kembalikan uangnya, Papa Jojo...” kata Bu Triska setelah berada di luar toko roti mau nyeberang jalan kembali ke mobil.

“Nggak usah... nggak usah... Mama Dani...”

“Waduhh... ngerepotin Papa Jojo... terima kasih ya, Papa Jojo...” lalu digandengnya tangan saya dengan tidak segan-segan.

Pada saat menyeberang jalan, ia merapatkan tubuhnya ke tubuh saya seolah-olah takut ketabrak mobil atau sepeda motor yang lalu lalang di tengah jalan. Akibatnya jantung saya berdebar bertambah kencang ketika lengan saya merasakan payudaranya.

Melanjutkan perjalanan kami kembali ngobrol. “Duhh... suami saya sudah nggak kuat, Papa Jojo...”

“Emangnya kenapa? Belum 45 tahun kan, Pak Jagur? Masa sudah nggak kuat?” tanya saya heran.

“Suami saya sudah 2 kali operasi jantung, Papa Jojo... kalau dipakai genjot saya lagi, waduhhh... bisa KO dia...”

Kami tiba di rumah sakit. Saya antar Bu Triska sampai di depan lobby. “Saya tunggu ya, Mama Dani...” kata saya.

“Lha... Papa Jojo nggak jadi ke mall?”

“Mendengar cerita Ibu, saya jadi lemas, Bu... sudah gak napsu saya pergi ke mall...” jawab saya. “Mama Jojo hubungi telepon saya saja kalau sudah selesai menjenguk...” kata saya. “Saya duduk di kafe...”

Setelah memarkir mobil, saya pergi ke kafe. Duduk minum segelas cappuccino hangat sambil membayangkan wajah cantik Bu Triska dan payudaranya yang montok. Entah berapa menit saya duduk, Bu Triska nyamperin saya di kafe. Ia duduk di depan saya memesan segelas kopi gula aren dingin. Kami ngobrol lagi.

Kami melanjutkan perbincangan kami mengenai masalah seks Pak Jagur. “Impoten sih nggak, sekarang nyusutnya jadi kecillll....” kata Bu Triska mengenai kemaluan suaminya.

“Sudah berapa lama begitu, Mama Dani?” tanya saya.

“Sudah setahun lebihhh....”

“Jadiiii....?” saya memegang tangan Bu Triska yang diletakkan di atas meja.

“Nggak ada yang kenal dengan kita kan di sini, Papa Jojo?” ia bertanya, lalu Bu Triska berbisik pada saya. “Ranjang kami jadi dingin, Papa Jojo...”

Saya tersenyum memandang wajah cantik Bu Triska. “Sudah jam berapa? Kita pulang yuk, Papa Jojo...” ajaknya.

Ketika kami berjalan ke tempat parkir mobil, hari sudah gelap. Saya menyuruh Bu Triska menunggu di depan lobby, nanti saya jemput, kata saya. Ia tidak mau. Setiba di dekat mobil saya, saya melihat tempat parkir sepi, saya memberanikan diri memeluk Bu Triska. Ternyata Bu Triska tidak menolak, ia malah membalas memeluk saya.

Sejurus kemudian, entah siapa yang memulai, kami pun berciuman bibir. Bu Triska sangat rakus. Bibirnya melumat bibir saya. Saya memainkan lidahnya. Ludahnya yang manis itu saya sedot dan saya telan habis. Ketika ia sudah terengah-engah, ia mendorong saya pergi. “Maaf...” katanya. “Saya terlalu emosi....”

“Saya memaklumi...” jawab saya.

Di dalam mobil, kami tidak berkata apa-apa. Ketika mobil saya berhenti di depan lampu merah, saya memegang tangannya, ia meremas tangan saya. “Mama Dani mau mampir ke rumah sayakah?” tanya saya.

“Nanti istrimu ngamuk lho....”

“Ia nggak pasang CCTV di rumah....”

“Hii... hiii... mmmmhh....” Bu Triska mencubit punggung tangan saya.

Saya penuh perhitungan juga untuk memasukkan Bu Triska ke dalam rumah saya. Ketika saya melihat jalanan di rumah saya sepi, saya langsung memasukkan mobil saya ke garasi tanpa Bu Triska turun dari mobil.

Saya membawa Bu Trika ke sofa di ruang tamu rumah saya. Dengan meredupkan lampu ruang tamu, kami berciuman. Bibir Bu Triska meliuk kesana kemari menyedot, memangut dan melumat. Lidahnya dengan lincah bermain dengan lidah saya. Tidak saya sangka, wanita yang saya idam-idamkan ternyata sekarang berada dalam pelukan saya. Seperti mimpi saja.

Tapi tidak, bisa saya merasakan kehalusan kulit tubuh Bu Triska ketika saya melepaskan pakaiannya satu persatu. Bu Triska punya anak 2 orang. Satu bernama Dani berumur 14 tahun dan Stefani berumur 10 tahun. Saya juga sudah tidak canggung-canggung lagi ketika BH-nya sudah saya lepaskan. Saya segera telanjang dengan melepaskan semua pakaian saya. Bu Triska meremas kejantanan saya yang tegang dengan kemulusan tangannya sementara saya menghisap puting payudaranya.

Napas Bu Triska mendengus-dengus. “Jangan siksa saya terlalu lama Papa Jojo, ayo cepat masukin ini....” suruhnya mengocok kemaluan saya.

“Hisap ya, Mama Dani....” minta saya menyodorkan kemaluan saya ke depan mulutnya.

Bu Triska mulai mengulum kemaluan saya di dalam mulutnya yang hangat. Saya melepaskan celana ketatnya yang berukuran sedengkul, lalu celana dalamnya juga saya tarik. Ternyata di celana dalam Bu Triska menempel pembalut, tetapi ia membiarkan saya melepaskan celana dalamnya dan tercium oleh saya bau amis ketika saya menyusupkan kepala saya ke sela pahanya.

Saya berani menjilat vaginanya yang berwarna coklat. “Ohhh...! Ohhh...! Ohhhhh....!” Bu Triska merintih mencakar-cakar punggung saya, sementara kemaluan saya yang panjang terbenam di dalam tenggorokannya. “Nggak tahannn.... nggak tahannnn.... sayaaaa.... Papa Jojooo......”

Saya tidak melepaskan Bu Triska begitu saja. Lidah saya masuk ke dalam vagina Bu Triska menjilat segala isinya, meliuk-liuk, melatah bagaikan seekor ular tanah membuat Bu Triska menggelinjang tak henti-hentinya. Kelentitnya saya hisap sejadi-jadinya. Begitu nikmat rasanya kelamin Bu Triska. “Ooohhhh.... oooohhhh... ooohhhh.... oooooooooooooooohhhhhhhhh.......” jeritnya panjang dengan tubuh kejang-kejang.

Vaginanya basah kuyup dan lubang vaginanya terbuka lebar siap saya masukkan senjata lelaki saya. Bleessss.... Bu Triska menggoyang pantatnya ketika kemaluan saya menyodok masuk ke lubang vaginanya. “Enakkkk... Papa Jojooo....” desah Bu Triska meliuk-liukan pantatnya yang semok.

“Vagina Ibu juga enak, Bu....” balas saya sembari memompa. Ceprett... ceprett... plokk.. plokkk... ceprettt... plokkk... plokkk....

“Zzzsstt.... ooohhh... enakkkk....”

Saya pompa terus lubang vagina Bu Triska. Nggak perlu saya ngocok lagi, kemudian saya mencabut kemaluan saya minta Bu Treska ganti gaya. Ia mau melakukannya untuk saya dengan turun dan nungging di depan sofa. Kini anusnya saya jilat. “Sssttt... aiihhhhh... uuuughhhh..... geli tapi enakkk... Papa Jojooo.....” desah Bu Triska.

“Masukkan boleh, Bu?”

“Ohhh.... boleh, Papa Jojooo....”

Untuk memasukkan kemaluan ke lubang anus tidak semudah memasukkan ke lubang vagina. Apalagi lubang anus Bu Triska belum pernah disentuh kemaluan Pak Jagur. Dengan sedikit usaha, saya berhasil menikmati lubang anus Bu Triska yang padat dan sempit. Saya segera mengocok kemaluan saya disitu.

Pagi-pagi saya malu disapa oleh Pak Jagur. Ia tidak tahu bahwa semalam saya menyirami anus istrinya dengan sperma. Impian saya menjadi kenyataan. Saya tidak perlu ngocok lagi kemaluan saya jika terbayang Bu Triska.

Ada kalanya saya mengajak ia main di hotel, kadang-kadang main di pantai, di alam terbuka. Ia kelihatan semakin cantik setelah beberapa kali vaginanya saya sirami dengan sperma. (11122019)
 
•••••

3. Kisah Jeko



JEKO meninggalkan bangku kuliahnya untuk membantu ibunya berjualan nasi goreng. Biasanya yang berjualan nasi goreng setiap malam adalah ayahnya Jeko dan ibunya Jeko. Tapi ayahnya Jeko mendadak sakit saat sedang berjualan.

Ayahnya Jeko tiba-tiba jatuh pingsan. Ia segera dilarikan ke rumah sakit oleh keluarganya. Ternyata ayahnya Jeko mendapat serangan stroke. Ayahnya Jeko terpaksa dirawat. Namun nasib berkata lain. Keluar dari rumah sakit selama 1 minggu dirawat, Mas Kumis terpaksa harus duduk di kursi roda entah sampai kapan.

Perihal berjualan nasi goreng tidak bisa dihentikan gara-gara Mas Kumis sakit. Nasi goreng Mas Kumis keburu terkenal dan berjualan nasi goreng juga merupakan andalan keluarga Mas Kumis.

Dari berjualan nasi gorenglah Mas Kumis bisa mengkuliahkan anaknya di perguruan tinggi, membeli sepeda motor, membeli mobil, dan membeli rumah bagus. Oleh sebab itu, Mbak Miatun, istri Mas Kumis, terpaksa melayani penggemar nasi gorengnya sendirian. Semalam bisa ratusan porsi nasi goreng harus dilayani oleh Mbak Miatun.

Melihat ibunya berjualan sendirian, Jeko tidak tega, lalu Jeko memilih meninggalkan bangku kuliahnya. Biasanya Mas Kumis yang memasak nasi goreng dan Mbak Miatun yang membungkus, sekarang gantian Mbak Miatun yang memasak, Jeko yang membungkus.

Sore-sore warung sudah dibuka, dan yang ngantri bisa 10 atau 15 orang. Jika keberuntungan memihak dan hari tidak hujan, Jeko dan ibunya sudah bisa di rumah sekitar jam 11-an malam. Tapi kadang-kadang bisa sampai jam 12 ke atas Jeko dan ibunya baru selesai jualan.

Betapa melelahkan, belum lagi besoknya pagi-pagi Mbak Miatun harus pergi ke pasar membeli bahan-bahan untuk memasak nasi goreng. Tapi roda kehidupan harus tetap berputar. Apalagi kegiatan sex Mbak Miatun dengan Mas Kumis terpaksa harus dihentikan, karena Mas Kumis sakit.

Inilah kadang-kadang yang membebani pikiran Mbak Miatun jika ia tidak ada kesibukan. Hasrat yang tidak kesampaian. Mbak Miatun pernah mendengar kata orang, bahwa untuk meringankan hasratnya yang muncul tiba-tiba itu, bisa dilakukan dengan swalayan atau masturbasi.

Mbak Miatun pernah mencoba, tapi memiawnya Mbak Miatun malah lecet. Mbak Miatun kapok mau masturbasi lagi. Bukan nikmat yang didapat, tapi memiawnya perih berhari-hari apalagi kena air kencing.

Sampai pada suatu malam, pulang dari jualan sekitar jam 12-an, Miatun benar-benar kelelahan dan membuat kepalanya sakit. Sambil duduk di kasur yang diletakkan di tengah ruangan rumahnya, Miatun mengerik lehernya sendirian dengan balsem.

“Ibu sakit?” tanya Jeko melihat leher yang sedang dikerik Miatun itu merah selesai ia meletakkan barang-barang untuk berjualan di dapur.

“Iya Ko, kepala Ibu sakit!” jawab Miatun dengan wajah meringis.

“Nggak dikerik semua aja Bu, biar nanti Eko bantu...” kata Jeko kasihan dengan ibunya.

Ah Jeko, kamu anak yang baik, puji Miatun dalam hati. Tubuh tegap dan ganteng, beda dengan ayahnya yang kumisan. “Boleh Ko, kalau kamu mau bantu kerikin Ibu!” jawab Miatun kemudian.

Miatun menyerahkan uang koin dan juga balsem buat mengerik pada Jeko. Setelah itu, Miatun membuka kaos yang dipakainya, sedangkan Jeko terkejut malu melihat dada ibunya yang tertutup kutang merah ketat sampai-sampai kedua buah dada Miatun kelihatan seperti tercekek.

Tanpa hendak melecehkan ibunya, Jeko bertanya pada Miatun dengan polosnya. “Ibu, Ibu pakai kutang ketat begitu, apa dada Ibu nggak sesak?”

Pertanyaan yang menyejukkan hati Miatun. Jeko begitu memperhatikannya. “Ya Ko, nanti Ibu buka, biar kamu gampang mengerik Ibu...” timpa Miatun.

Lalu Miatun pun melepaskan kutang yang menutupi buah dadanya. Kali ini Jeko masih tetap kaget, tapi kaget Jeko bukan kaget malu-malu lagi seperti tadi ketika melihat ibunya masih mengenakan BH. Kini kedua gunung di dada ibunya telanjang!

Warna kedua gunung itu coklat mulus sesuai dengan kulit tubuh Miatun. Terdapat sebuah lingkaran berwarna coklat berdiameter sekitar 5 senti meter dan ditengah-tengah lingkaran itu mencuat sebuah puting besar.

Jeko buru-buru berlutut di belakang ibunya, sedangkan Miatun menutup dadanya dengan kaos sewaktu Jeko mengerik punggungnya.

“Merah, Bu...” kata Jeko setelah mengerik beberapa baris punggung ibunya.

“Iya merah Ko, badan Ibu lemes banget...” jawab Miatun.

Mas Kumis sudah tidur di kamar. Jadi ia tidak tahu kegiatan Jeko dan Miatun di ruang tengah. Kakak perempuan Jeko, Yanti juga sudah tidur di lantai atas. Begitu juga dengan kedua adik Jeko. Ruang tengah jadi begitu sepi kalau Miatun tidak ngomong dengan Jeko atau Miatun tidak batuk-batuk.

“Ibu baring saja ya, Ko!” kata Miatun saat kerikan Jeko sampai di pinggangnya.

Lalu Miatun merebahkan tubuhnya tengkurap di kasur dan pada saat yang sama, mata Jeko kembali bisa melihat buah dada Miatun yang bergelantungan di dada Miatun. Kali ini perasaan Jeko sudah sedikit berbeda. Tadi Jeko masih kaget malu-malu, tapi kalau sekarang Jeka kaget bercampur terangsang.

Apalagi setelah berbaring telungkup di kasur, Miatun menarik turun sedikit celana ¾-nya sehingga jadi kelihatan celana dalamnya oleh Jeko. Perasaan Jeko semakin tidak menentu.

“Sex...! Sex...! Sex...!” tiba-tiba kata-kata itu berdengung-dengung di gendang telinga Jeko.

Pertahanan Jeko sebagai anak pun jebol ketika Jeko memijit pantat Miatun karena disuruh oleh Miatun. Begitu pula dengan Miatun yang sudah 3 bulan lebih tidak disentuh oleh Mas Kumis, Miatun terangsang saat gundukan di antara kedua pahanya menghentak-hentak di kasur.

Miatun seperti merasa bulu jembut yang tumbuh subur di gundukan selangkangannya itu tergesek-gesek bulu jembut Mas Kumis. Selesai mengerik, Jeko berbaring memeluk Miatun, Miatun merasa ia seperti bukan dipeluk oleh Jeko, sehingga Miatun membalik tubuhnya lalu menyerahkan puting buah dadanya ke mulut Jeko.

Jeko malu-malu tentu saja. “Hisap, punya Ibu kenapa malu?” kata Miatun.

Jantung Jeko berdebar-debar saat ia memasukkan puting buah dada ibunya ke dalam mulutnya, tapi ada perasaan yang tak bisa ia ucapkan dengan kata-kata saat ia menghisap puting Miatun yang besar dan keras itu. Ada perasaan nikmat yang tak terucapkan oleh Jeko meski buah dada Miatun sudah tidak mengandung ASI.

Miatun pun berani memegang celana pendek yang dikenakan Jeko. “Besar, Ko!” kata Miatun saat terpegang olehnya pentungan Jeko yang keras. “Ibu lepaskan celana kamu, ya?” izin Miatun.

Eko tidak menampik, meskipun ia malu menelanjangkan kemaluannya di depan ibunya. Tapi kemudian ibunya juga melepaskan celana yang dipakainya. Kini Jeko benar-benar terangsang melihat tubuh ibunya yang telanjang.

“Berhubung Bapakmu lagi sakit Ko, bantu Ibu ya? Nggak pa-pa jangan takut. Ini ibumu, bukan orang lain.” kata Miatun berbaring dan minta Jeko menindihnya.

Mendengar kata-kata Miatun yang menyedihkan itu, naiklah Jeko menindih tubuh Miatun dengan pentungannya yang berdiri mengacung. Miatun segera mengambil pentungan Jeko.

“Masukin, Ko!” suruh Miatun setelah ia menaruh kepala pentungan Eko yang bulat itu di permukaan lubang memiawnya yang sudah basah kuyup.

Jleebbb... bleeesss... oooohhhh... desah Miatun merasa nikmat saat lorong memiawnya disesaki oleh pentungan anaknya.

Miatun segera bergoyang, karena ia tahu Jeko pasti masih kaku. Yang penting hasratnya lega, Jeko urusan belakangan. Lama-lama Jeko akan jadi pintar nge-sex kalau pentungannya sering dilatih, batin Miatun.

Jeko merasa kepala pentungannya tergesek-gesek benda nikmat. Semakin digoyang oleh Miatun, Jeko semakin tak tahan. Urat-urat di tubuhnya seperti mau copot dari tubuhnya saat air maninya menembak keluar di dalam memiaw Miatun.

CROOTT... CROOTTT.. CRROTT..

“Oooooohhh.... Koooo.... enaa..aakkk....” desah Miatun memeluk Jeko erat-erat. Rahimnya rasanya sangat hangat tertembak cairan yang keluar dari pentungan Jeko.

Jeko terkulai lemas dalam kenikmatan yang tiada taranya. “Sekali lagi ya, Bu?”

“Ahh... nanti pada bangun,” jawab Miatun. “Besok malam aja ya?” janji Miatun. (05042019)
 
•••••

4. Permainan Nakal



SETELAH MENGANTAR isteri dan anakku ke rumah kakakku, karena mereka mau diajak oleh keluarga kakakku menginap di Puncak, pulang ke rumah hanya tinggal aku dengan ibu mertuaku saja. Rumahku jadi sangat sepi. Aku tidak mau ikut ke Puncak, karena sudah keseringan, aku bosan.

Tidak lama kemudian, ibu mertuaku menawari aku makan siang. Aku tidak ada napsu makan, karena tidak ditemani oleh isteri meskipun masakan ibu mertuaku rasanya enak.

Selesai makan, aku pergi ke kamarku beristirahat. Sekitar jam 4 sore aku bangun, langsung masuk ke kamar mandi. Selesai mandi, tidak ada pekerjaan yang perlu aku lakukan, karena semua pekerjaan di rumah sudah dikerjakan oleh ibu mertuaku, lalu aku duduk nonton berita di televisi.

“Har, kita jalan-jalan ke mall, yuk?” ajak ibu mertuaku berdiri di depan pintu kamarnya. Aku melihat ia sudah berpakaian rapi.

Daripada kesepian di rumah, mungkin di mall aku bisa mendapat hiburan. “Boleh Ma, tapi naik taksi ya? Hary malas bawa mobil.” jawabku.

Sebentar kemudian, aku dengan ibu mertuaku sudah duduk di sebuah taksi online. Aku duduk di depan dengan Pak sopir, sedangkan ibu mertuaku duduk di bangku baris kedua. Jalan cukup lancar. Tidak sampai 1 jam kami sudah tiba di mall. Pak sopir menurunkan kami di depan lobby.

Di depan lobby banyak pengunjung mall yang berdiri menunggu jemputan, khususnya mereka yang memakai jasa valvet. Sore ini pas malam minggu pula, di dalam mall juga sangat ramai. Ibu mertuaku mungkin takut aku berjalan kecepatan, ia menarik tanganku, lalu digandengnya.

Inilah pertama kali ibu mertuaku menggandeng tanganku, sejak aku mengenalnya 4 tahun yang lalu. Aku jadi gugup dan salah tingkah. Apalagi ketika kami menyelip diantara para mengunjung mall, aku merasakan payudara ibu mertuaku mengganjal di lenganku, langkah kakiku pun menjadi tidak santai. Jantungku berdebar-debar. Yang penting, aku bukan sengaja.

Tapi kemudian timbul juga kesengajaanku, ketika di tempat yang tidak begitu ramai ibu mertuaku masih saja menempel di sampingku seperti remaja lagi pacaran. Aku menekan ke belakang lenganku menghimpit payudara ibu mertuaku yang besar dan kenyal. Kadang-kadang kugerakkan lenganku naik-turun hingga celanaku jadi sesak akibat penisku yang memuai.

Kemudian ibu mertuaku mengajak aku masuk ke sebuah toko pakaian dari luar negeri. Isteriku pernah mengajak aku masuk ke toko ini. Di dalam sana banyak pakaian import yang dijual secara obral.

“Hary, kita lihat sebentar di situ, yuk!” tunjuk ibu mertuaku ke pojok toko.

Aku melihat bergelantungan pakaian dalam wanita. Untung aku sudah sering mengikuti istriku membeli pakaian dalam. Entah BH, atau celana dalam. Aku mengikuti ibu mertuaku saja yang terus menggandeng tanganku. Di pojok yang tidak ditunggui oleh SPG itu, pakaian dalam wanita dijual obral. Tapi semuanya pakaian dalam wanita impor, tidak ada pakaian dalam wanita model Indonesia.

Saat mau memilih, ibu mertuaku baru melepaskan tangannya dari tanganku. Aku berdiri saja melihat ia memilih BH dan celana dalam. Kemudian ia memandang aku dan berkata,: “Nggak ada yang cocok buat Mama,”

“Masa sebanyak itu nggak ada yang cocok buat Mama, sih?” jawabku.

“Iya, celana dalamnya kecil-kecil dan pendek-pendek semua. Buat siapa Mama memakai celana dalam seperti itu? Kalau kelihatan sama Papamu, Mama bisa dibilang genit sama Papamu! Lagi pula mahal-mahal. Dengan harga segitu, Mama bisa beli 5 atau 6 celana di pasar.”

“Tapi bagus lho, Ma. Masa segini kependekkan sih? Kan seksi, Ma?” ujarku memegang selembar celana dalam berenda berwarna merah jambu.

“Hee.. he.. apa kamu mau beli buat Mama?” tanya ibu mertuaku tertawa.
“Iya, Mama ambil saja. Tapi kalau Mama pakai, Hary boleh lihat, ya? Sekalian sama BH-nya, Ma.” jawabku berani.

Ibu mertuaku kembali memilih. Sewaktu didapatnya sepotong BH berwarna merah jambu, aku melihat ia menelungkupkan ke dadanya. Buru-buru aku menuju ke belakang ibu mertuaku. “Sini Ma, Hary bantu kaitkan.” kataku.

Ibu mertuaku membiarkan aku mengambil kedua ujung BH-nya untuk dikaitkan. Setelah itu aku melangkah ke depan melihat. Ibu mertuaku tersenyum “Bagus, nggak?” ia bertanya.

“Wahh, bagus... baguss... Ma, bagus sekali!” jawabku.

Tapi kemudian ibu mertuaku ragu sewaktu aku mau membawa BH dan celana dalam pilihannya ke kasir. “Benar, kamu mau beli buat Mama?” tanya ibu mertuaku.

“Iya...” jawabku.

Hanya dengan uang 200 ribu, kalau aku bisa menyenangkan ibu mertuaku, kenapa tidak, batinku.

Hal ini bisa aku rasakan setelah aku membayar di kasir. Ibu mertuaku menggandeng tanganku semakin lengket. Meskipun payudaranya sengaja aku tekan-tekan, aku goyang dengan lenganku, ia tetap menggandeng aku erat-erat.

Aku mengajak ibu mertuaku mampir di sebuah restoran. Pramusaji mengantar kami duduk di pojok. Kami hanya minum, tidak makan. Ibu mertuaku memilih jus alpukat, aku memilih es jeruk kelapa muda.

“Kamu jangan beritahukan sama Yanti ya, kamu membeli pakaian buat Mama,” kata ibu mertuaku setelah pramusaji pergi dari depan kami.

“Iya...” jawabku. “Tapi kalau kelihatan sama Papa?” tanyaku.

“Mama nggak pakai di depan Papamu,”

“Pakainya hanya buat Hary ya, Ma?” aku memberanikan diri merangkul pundak ibu mertuaku.

Berdebar jantungku, karena aku takut ibu mertuaku curiga, kenapa tiba-tiba aku jadi mesra begitu padanya, tapi ibu mertuaku tersenyum, lalu aku memberikan kecupan di pipinya.

Kemesraan juga terjadi saat kami minum. Ibu mertuaku berani menyedot air jerukku dengan satu sedotan yang sama. Aku juga menyedot jus alpukatnya. Dan yang sangat mencengangkan adalah ketika ibu mertuaku menyendok potongan kelapa muda ke mulutnya. Potongan kelapa muda itu terlalu panjang, sehingga menggantung setengah di bibirnya.

Saat ia berusaha menyedot potongan kelapa muda masuk ke dalam mulutnya, aku tertawa dan aku buru-buru mendekatkan bibirku seolah-olah merebut potongan kelapa muda itu. Tapi sejujurnya, aku ingin mencium bibirnya.

Ibu mertuaku tidak menjauhkan bibirnya, lalu kutangkap dengan cepat potongan kelapa muda yang menggantung di bibirnya. Bibirku merapat ke bibirnya. Aku mencium bibir ibu mertuaku. Sama sekali ia tidak menarik diri. Setelah itu, tampaknya ia juga tidak canggung denganku.

Keluar dari mall, hujan sangat deras. Ibu mertuaku tidak mau menunggu hujan reda. Terpaksa kami basah-basahan duduk di dalam taksi online. Di dalam taksi, aku membayangkan kejadian di restoran tadi, aku mencium bibir ibu mertuaku.

Bagaimana ya, yang ia rasakan? Bergetar jugakah jantungnya seperti jantungku? Atau bibirnya sudah mati rasa mengingat umurnya yang berbeda jauh denganku?

Aku berumur 30 tahun, ibu mertuaku berumur 55 tahun, tapi wajahnya belum tampak kerutannya, masih kencang. Payudaranya juga belum kendor. Bulatannya masih nyata dan kencang terlihat dari dasternya ketika pagi-pagi ia bangun mencuci pakaian dan membereskan dapur.

Ibu mertuaku mempunyai 4 orang anak. Istriku, anak nomor 3. Dua kakak istriku tinggal di luar pulau Jawa dengan keluarganya. Anak nomor 4, atau adik dari istriku, sudah meninggal karena kecelakaan sepeda motor.

Untuk mengurangi kesedihan kedua orang tuanya itulah, istriku membawa Papa-Mamanya pulang ke rumah. Sudah setahun lebih kedua mertuaku tinggal di rumah kami, sedangkan rumahnya disewakan pada familinya. Tapi bapak mertuaku sebulan paling-paling hanya tidur di rumah kami 2 atau 3 malam. Meskipun usianya sudah 59 tahun, tapi tenaganya masih dibutuhkan oleh perusahaan tambang batu bara di Sumatera.

Taksi tiba di depan pintu pagar rumahku, hujan masih cukup deras. Sewaktu membuka gembok pintu pagar, aku sengaja berlama-lama. Di teras, aku melihat pakaian ibu mertuaku cukup basah, juga pakaianku.

Ia buru-buru menaruh bungkusan barang belanjaannya di kursi saat sampai di ruang tamu, lalu pergi menyalakan lampu dapur. Setelah dapur terang, ia mengambil handuk. Aku mengunci pintu rumah.

Aku melihat jam. Tidak terasa sudah hampir jam 10. “Hen...” panggil ibu mertuaku dari kamar mandi.

“Kenapa, Ma?”

“Pakaian basahmu mana? Bawa sini, Mama mau rendam...” jawabnya.

Kenapa aku tidak sedikit nakal dengannya, batinku.

Lalu setelah aku melepaskan celana jins dan kaosku yang basah, hanya memakai celana dalam aku melangkah ke depan kamar mandi. Pintu kamar mandi terbuka.

Aku melihat ibu mertuaku yang memakai handuk, sedang menuang deterjen ke ember berisi air. Di lantai, bertumpuk pakaiannya basahnya. Selain pakaian luar, aku melihat ada BH dan celana dalamnya.

“Apa Mama mau cuci sekarang?” tanyaku memandang punggung dan pahanya yang telanjang.

“Iya, hanya pakaian kita berdua ini..” jawabnya menjulurkan tangan mengambil pakaian basahku.

Ia merendam duluan pakaianku, baru pakaiannya. “Hary bantu, Ma...” kataku.

“Nggak usah, biar Mama saja.” jawabnya sambil mengucek pakaian di ember.

Aku pergi ke dapur mengambil air minum sambil kubayangkan tubuh telanjang ibu mertuaku di balik handuknya. Bagaimana rasanya menyetubuhi wanita ini? Apakah masih ada rasa nikmatnya mengingat vaginanya sudah kering? Karena, bukankah wanita seusia ibu mertuaku begini sudah menopause?

Aku balik lagi ke depan pintu kamar mandi ketika mendengar ibu mertuaku menuang air bersih dari bak ke ember. Hujan sudah redah, dan yang tersisa hanya rintik-rintik saja. Ibu mertuaku membilas BH-nya dengan air bersih, lalu diperas.

Setelah ia peras kering airnya, aku menjulurkan tanganku,: “Sini Ma, Hary gantungin.” kataku.

Ibu mertuaku mau memberikan BH-nya bahkan celana dalamnya buat aku gantungkan di tempat jemuran pakaian. “Lha, itu celana dalam kamu? Nggak dicuci sekalian? Apa kamu mau cuci sendiri?” tanya ibu mertuaku memandang aku setelah aku menggantungkan semua cuciannya.

“Hee.. hee.. Hary lepaskan ya, Ma?” jawabku sengaja.

Aku mendengar ia menjawab,: “Mmm... mmm...” saat ia membalik tubuhnya mengambil gayung.

Lalu aku melepaskan celana dalamku. Memang ada unsur kesengajaan juga sih. Kalau tidak, mana berani aku bertelanjang di depan ibu mertuaku?

“Nih, Ma!” kataku menyodorkan celana dalam basahku pada ibu mertuaku yang sedang menyendok air ke ember.

Ibu mertuaku membalik tubuhnya. “Hary......!!!” serunya dengan mata kaget.

“Mama jawab iya...” kataku dengan tenang.

“Mama nggak pernah jawab iya, pasti kamu sengaja! Ini mamamu Hary, meskipun bukan mama sebenarnya, tapi Mama sudah menganggap kamu sebagai anak Mama. Masa kamu mau permainkan Mama sih? Apa pantas?“

“Iya Ma, soalnya Hary merasa Mama memerlukan Hary, sebab tadi di restoran, Mama mau dicium. Maafkan Hary, Ma...”

Aku masuk ke dalam kamar mandi memeluk ibu mertuaku sembari membuang celana dalamku ke lantai kamar mandi. Ibu mertuaku tidak memberontak. ”Hary..” katanya pelan, “Mama sudah lama nggak begitu sama Papamu. Papamu hanya pulang tidur, nggak ngapa-ngapain Mama...”

Aku belum menyerah, karena tercium olehku bau tubuhnya dan bau mulutnya yang begitu dekat denganku, sehingga menambah rangsangan pada birahiku yang sedang menyala berkobar saat itu. “Iya Ma, Hary mengerti.” jawabku, “Tapi, apa boleh Hary mencium Mama sekali lagi?” tanyaku.

“Hary, kamu mau mencium Mama 10 kali juga Mama kasih, tapi jangan yang satu itu!” jawab ibu mertuaku memandang aku.

Aku mendekatkan bibirku ke bibir ibu mertuaku yang kelihatannya bergetar. Aku tempelkan perlahan-lahan, dan aku melihat mata ibu mertuaku terpejam. Perlahan aku mencium, perlahan aku menyedot dan perlahan aku melumat.

Ibu mertuaku membuka bibirnya sedikit, seolah-olah mengundang lidahku masuk ke dalam mulutnya. Aku melakukannya. Lidahku menyentuh lidahnya. Oohh... lidahnya mau bergerak.

Kuputar perlahan lidahnya. Perlahan juga lidahnya mulai mengitari lidahku. Aku tidak mau membuang kesempatan lagi. Aku meraih tangan kanannya. Ia tidak menolak, lalu kutuntun ke penisku yang tegang.

Oohh... Titin, desahku dalam hati ketika tangannya yang hangat menggenggam batang penisku.

Hidungnya mengeluarkan dengusan saat bibirku melumat bibirnya dengan sepenuh napsu, sedangkan tangannya mencengram batang penisku lebih kuat, lalu ia menarik lepas bibirnya, kemudian memeluk aku erat-erat dengan kedua tangannya.

Aku mengelus punggungnya. Setelah itu perlan-pelan aku melepaskannya dari pelukanku. Aku menggandeng tangannya keluar dari kamar mandi, dan sama sekali ia tidak menolak saat kutuntun masuk ke kamarku.

“Apa Hary boleh melepaskan handuk Mama?” tanyaku.

“Mama pasrah saja sama kamu, Har. Tapi tolong, jangan bikin yang nggak-nggak kalau Yanti ada di rumah...”

Aku langsung menyambut. Aku membuka pelan-pelan handuk yang menutupi tubuh ibu mertuaku. Ketika tubuh telanjang itu sudah terpampang di depan aku, tidak ada lagi rahasia yang tersembunyi.

Ibu mertuaku hanya berbaring pasrah di tempat tidur ketika payudaranya kucium, puting susunya kujilat dan kuisap, lalu kutindih tubuhnya yang putih dengan sedikit bulu kemaluan hitam di daerah selangkangannya. Setelah itu, kukangkang lebar kedua kakinya.

Dan saat ujung penisku menyentuh bibir vaginanya, tangannya memegang penisku, kemudian ditujukannya pas di depan pintu gerbang liang sanggamanya. Penisku menekan seraya kucium bibirnya. Pada saat yang sama, aku bisa merasakan pantat ibu mertuaku mendorong ke depan, sehingga peniskupun masuk perlahan ke dalam liang sanggamanya yang terasa seret.

Setelah itu, ibu mertuaku tidak berdiam diri saja, malahan ia lebih aktif dari aku. Pantatnya terus meliuk sampai batang penisku terbenam semuanya di dalam liang vaginanya.

Aku mencium keningnya. “Lebih nikmat dari milik Yanti, Ma.” kataku.

“Mmm... ternyata selingkuh itu lebih enak,” jawabnya tersenyum. “Ayo, teruskan...”

Akupun mulai tarik-dorong... tarik-dorong penisku. Sementara di bagian bawah, ketika bokong ibu mertuaku meliuk, aku harus mengakui bahwa gerakan seperti itu tidak kudapatkan dari Yanti, isteriku. Batang penisku rasanya bukan seperti dikocok, tapi dipelintir. Tongkat keras itu mengaduk-aduk liang vagina ibu mertuaku.

“Oogghh... Mamm.. Mama sudah mau kee... luar, Hary. Kamu sudah mau keluar, belum?” tanya ibu mertuaku kemudian.

“I..iya Ma... nikmat banget pelentiran Mama...” jawabku.

“Hmmm... ayo keluarkan bareng!”

Setelah berkata begitu, kedua kaki ibu mertuaku merangkul dan menekan pantatku dengan kuat,: “Ooogghhhh.... ooogghhhh....” rintihnya dan pada saat yang sama, aku bisa merasakan dinding vaginanya meremas-remas batang penisku, sehingga akupun ikut mengerang,: “Oooogghhh... Titiiinnn....”

Terus, spermaku menyembur dengan kencang di dalam vaginanya. Zzuss.... zzzuzzz... zuuzzz....

Entah berapa kali hentakan. Yang aku rasakan adalah tubuhku lemas sekali. Saat aku mencabut penisku dan menelentangkan tubuhku di tempat tidur, ibu mertuaku masih sempat membersihkan penisku dengan tissu. Setelah itu, ia membungkus tubuhnya dengan handuk, lalu keluar dari kamar tidurku.

Hampir jam 12. Ibu mertuaku kembali ke kamarku. Selain ia sudah memakai daster, ia juga membawa segelas jamu dan sebuah ember kecil. “Ini jamunya diminum dulu,” suruhnya menyodorkan gelas jamu untukku.

Aku yang tidak suka dengan jamupun jadi suka. Setelah minum jamu, ibu mertuaku membersihkan penisku dengan air hangat. Ahh... betapa menyenangkan dilayani seperti itu. Penisku dielus pelan-pelan dengan handuk hangat sampai mengembang.

Lalu ibu mertuaku mencium penisku disertai dengan remasan pelan pada bola-bolaku. Ketika penisku semakin keras, ibu mertuaku memasukkan ke dalam mulutnya yang hangat.

“Ooohh... Titinn...” desahku mengelus rambutnya.

Ibu mertuaku tidak hanya sekedar mengisap, tapi kepalanya juga bergerak naik turun. Setelah penisku sudah pas kerasnya, ia melepaskan dasternya. Tubuhnya yang telanjang merangkak naik ke atas tubuhku. Aku menariknya hingga tubuh kami membentuk posisi 69.

Selain vagina, anusnya juga terpampang di depan mataku. Segera mulutku mengulum anusnya. Lubangnya kuisap dan kutusuk dengan lidahku. Sedangkan di bagian bawah sana, mulut ibu mertuaku mengisap-isap penisku.

Giliran vaginanya kujilat, bokong ibu mertuaku bergerak naik-turun. “Hary... terusss... Hary... ooohhgg...” rintihnya.

Biji kelentitnya tampak mengeras. Aku mengisap dan menggigit. “Oooogghh.... Hary... mmmm...” bokongnya semakin bergerak meliuk.

Ketika ibu mertuaku merasa mau orgasme, ia buru-buru pindah posisi. Hanya dengan sekali duduk, penisku terbenam di dalam vaginanya. Wahh... saat pantat ibu mertuaku meliuk, penisku kembali berputar-putar dan menekuk-nekuk di dalam vaginanya. Kali ini aku bisa bertahan. Dan aku bisa mendengar deru napasnya saat ia memeluk aku, menekan pantatnya kuat-kuat ke penisku, lalu mengerang,: “Ooohggg.... Hary... Hary... oogghhh....”

Ibu mertuaku kembali orgasme. Aku mendiamkannya beberapa saat. Setelah ketegangannya hilang, aku membangunkannya dari tubuhku. Aku menghadapkan penisku ke sela pantat ibu mertuaku yang sedang menungging. Kini kuincar anusnya.

Ternyata ibu mertuaku tidak menolak saat kutekan penisku ke lubang anusnya. Aku tekan pelan-pelan ke lubang yang padat itu. Setelah penisku terbenam semua, baru aku melakukan gerakan maju-mundur sambil kedua tanganku meremas-remas payudaranya yang menggantung.

Aku membiarkan lubang anus ibu mertuaku menyesuaikan diri dengan penisku sampai penisku bisa bergerak cepat, terus aku menggenjot dan memompa lubang anus ibu mertuaku dengan cepat. Sampai pada suatu titik aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi, aku semburkan spermaku.

Zuusss... zzusss... zzuusss....

Tidak kuhiraukan lagi kain seprei tempat tidurku kotor. Aku memeluk ibu mertuaku. “Kamu luar biasa, Titin...” bisikku. (24112016)
 
•••••

5. PENGALAMAN NONTON DANGDUT



PADA SORE HARI ketika saya melewati depan sebuah lapangan sepak bola dengan sepeda motor saya, saya melihat di tengah-tengah lapangan terdapat sebuah panggung tinggi dan di panggung terbuka itu sedang ada acara dangdut yang disponsori oleh sebuah merek sepeda motor. Saya melihat yang menonton saat itu hanya segelintir orang.

Pada malam harinya saya pulang melewati lapangan sepak bola itu lagi, lapangan jadi ramai. Saya melihat di bawah panggung ada beberapa orang anak muda sedang berjoget ria diiringi musik dangdut yang dibawakan oleh seorang penyanyi wanita berbusana seronok dan goyangan tubuhnya yang sintal itu juga seronok.

Banyak warung makanan bertebaran di pinggir jalan. Saya lalu mampir ke sebuah warung es, minum es cendol. Selesai minum, saya melihat jam belum jam 9 malam, saya berjalan ke lapangan dan berdiri menonton.

Tidak lama saya menonton, datang seorang wanita mengenakan daster dengan seorang anak laki-laki berumur 12-an tahun berdiri di samping saya. “Mak, Agung nggak kelihatan, Agung ke tengah, ya?” kata anak itu.

“Ya, jangan lama-lama, nanti bapakmu pulang nggak ada pintu masuk. Mak nunggu sini, ya?” jawab wanita yang saya perkirakan umurnya sekitar 35 tahun itu. Tubuhnya wangi ‘body splash’ tertiup angin malam.

Sepeninggal anaknya, wanita berambut sebahu keriting ini melihat ke arah panggung dengan kedua kaki menjinjit. “Nggak kelihatan ya, Bu?” tanya saya. “Ke tengah aja...”

“Ramai banget, nggak! Ibu takut anak-anak muda yang berjoget di depan panggung itu berantem berebut cewek. Soalnya sudah pernah kejadian, di sini juga tempatnya...” jawab si ibu. “Adik tinggalnya di mana?”

“Di perumahan Argo, Bu. Ibu?”

“Tuh, nggak jauh dari sini, di kontrakan. Mampir...”

“Ya Bu, Terima kasih.” jawabku.

Setelah itu, diam. Si ibu asyik menonton, saya juga asyik menonton. Tapi tiba-tiba tangan si ibu memegang pergelangan tangan saya sambil kedua kakinya menjinjit. Lumayan lama ia memegang tangan saya, kemudian ia lepaskan. Tak lama kemudian, saat kakinya menjinjit lagi, ia kembali memegang pergelangan tangan saya.

Sewaktu ia memegang pergelangan tangan saya yang ketiga kalinya, saya melihat ke belakang. Tidak ada penonton yang berdiri di belakang kami, sayapun tertarik untuk menggodanya. Saya menempelkan lengan saya ke lengannya. Ia tidak menjauhkan tubuhnya, malahan kakinya menjinjit lagi, dan ia memegang pergelangan tangan saya.

Setelah kakinya turun dan tangannya lepas dari pergelangan tangan saya, saya memberanikan diri memegang tangan si ibu. Wah, ternyata si ibu tidak menolak. Ia membiarkan tangannya saya pegang, walaupun saya meremas, ia tidak menarik tangannya pergi dari tangan saya.

Saya meremas beberapa kali, ia tetap membiarkan, pura-pura tidak tahu. Saya melihat ke kiri dan ke kanan, tidak ada orangpun yang memperhatikan kami. Masing-masing mata tertuju ke panggung. Tangan saya merangkul pinggangnya. Ia benar-benar tidak menolak saya, malahan ia menempel ke tubuh saya.

Hmmm...

Saya mengecup keningnya. Mungkin ia merasa tersanjung, kepalanya perlahan rebah ke bahu saya. Saya tidak perlu berbicara apapun padanya, tingkah lakunya sudah berbicara pada saya. Lalu tangan saya dari pinggangnya merayap turun meremas pantatnya.

Masih kencang dan padat. Pelan-pelan saya mengangkat dasternya. Saya memegang celana dalam yang menutupi pantatnya. Saya elus-elus. Ia tidak menggubris saya, matanya terus tertuju ke arah panggung.

Saya tidak mau menunggu lama lagi, kalau anaknya datang, saya rugi. Saya tidak kebagian apa-apa, kecuali hanya meraba-raba pantatnya saja. Saya melihat ke belakang lagi. Sewaktu melihat di belakang kami tidak ada orang, tangan saya menyusup masuk ke bagian belakang celana dalamnya dan tangan saya merasakan sela pantatnya yang hangat dan lembab.

Jari tangan saya menukik masuk ke sela pantatnya, dan saat jari tangan saya menekan anusnya, malah ia membuka sedikit pahanya untuk saya. Saya semakin penasaran. Kemudian saya membawa tangan si ibu ke bungkusan celana panjang saya. Tangan si ibu meremas pelan penis dan telur saya.

Saya mencium bibirnya sejenak. “Mau pindah?” tanya saya dengan jantung berdebar.

“Saya cari anak saya dulu, nanti saya balik ke sini.” jawabnya.

Saya menunggu. Benar, beberapa saat kemudian si ibu balik lagi. Di tangannya memegang kantong dari kertas dan es teh yang dimasukkan ke dalam kantong plastik.

“Mau?” ia menyodorkan kantong kertas berisi tahu goreng pada saya dengan tersenyum.

“Terima kasih,” jawab saya.

“Kita duduk di sana, yuk!” ajaknya kemudian.

Kami sampai di sebuah tribun buat menonton pertandingan sepak bola. Sepi dan gelap. Keramaian di panggung dangdut kedengaran hanya samar-samar, dan tidak mungkin para penoton dangdut bisa melihat kami. Kami duduk di bangku panjang dari semen. Saya tidak sabar lagi meski mulut si Ibu sedang mengunyah tahu goreng, saya menjulurkan tangan saya memegang tetek si ibu dari luar dasternya.

Si ibu menaruh kantong es teh dan kantong tahunya di bangku. Kemudian tangannya ke belakang punggungnya. Ia mengeluarkan lengan dasternya dari kedua tangannya, hingga nampak dadanya yang tertutup BH merah. Saya memegang BH-nya.

“Nggak usah di buka ya, kecil dan sudah jelek,” kata si Ibu memandang saya.

Saya mencium BH-nya sembari tangan saya menyibak bagian bawah dasternya, lalu telapak tangan saya mengelus pahanya ke atas sampai ke selangkangannya. Si ibu berdiri. Dasternya yang sudah terbuka sampai di pinggangnya, melorot ke rumput. Dan tubuh si ibu terlihat terbungkus celana dalam dan BH.

Si ibu mengeluarkan daster dari kakinya. “Di sini aman?” tanya saya.

“Nggak apa-apa,” jawab si ibu meletakkan dasternya di bangku, lalu ia menurunkan celana dalamnya.

“Anak Ibu ada berapa?” tanya saya.

“Tiga,” jawab si ibu sambil melepaskan celana dalamnya.

“Yang tadi itu, nomor berapa?”

“Yang besar, 2 lagi di kampung ikut neneknya,” jawab si Ibu meletakkan celana dalamnya ditumpukan dasternya.

Saya melihat ke selangkangannya. Bulu kemaluannya lebat. “Suami kerja apa?” tanya saya dengan jantung semakin berdebar.

“Jadi tukang parkir di stasiun.”

“Saya boleh tau nama Ibu?”

“Romlah, dipanggilnya Bu Olah.” jawab Bu Olah yang setengah telanjang itu duduk di samping saya.

“Nama saya Budi, Bu.” balas saya mengulurkan tangan ke selangkangannya.

“Basah!” ujar Bu Olah meraih celana dalamnya.

Saat Bu Olah membersihan memeknya, saya menurunkan celana panjang saya dan celana dalam saya hingga lutut. Saya berdiri di depan Bu Olah dengan batang kontol yang tegang mengacung.

Bu Olah meletakkan celana dalamnya ditumpukan dasternya. Setelah itu,: “Isap!” suruh saya.

Bu Olah memegang batang kontol saya dengan tangannya. “Panjang!” katanya. “Nggak mau dimasukin ke sini?” ia menunjuk ke selangkangannya.

“Nanti dulu,” jawab saya.

Benar, Bu Olah memasukkan batang kontol saya ke dalam mulutnya, tapi cuma dikulum dan disedot-sedot kepala kontol saya seperti ia belum pernah mengisap kontol.

Saya tidak mau memaksa Bu Olah. Saya merobohkannya di bangku semen. Bu Olah meraih dasternya untuk mengganjal kepalanya. Saya pentangkan lebar ke dua pahanya hingga kedua kakinya berada di kiri kanan bangku. Kemudian kepala saya menyusupkan ke selangkangannya.

Tercium aroma memeknya yang berbau amis, tapi saya tetap menjulurkan lidah menjilat memek Bu Olah yang bibir luarnya menonjol keluar. Mula-mula ia berbaring diam, meski lidah saya masuk ke dalam lubang memeknya membelit-belit dinding memeknya. Ia baru mendesah,: “Seesttt... ooogghh... Dekk... Dekkk!!” sambil tangannya memegang kepala saya saat lidah saya menjilat kelentitnya.

Saya isap kelentitnya. Saya gigit kelentitnya. “Ooooooohhhhh..... oooohhhhhh.... Deekkkkkk....oooohhhhhgggg...!!!” erangnya dengan kedua paha bergetar hebat.

Saya angkat dan saya pindahkan Bu Olah ke rumput. Setelah itu saya menindih Bu Olah, lalu batang kontol saya menusuk lubang memeknya. Sayup-sayup masih kedengaran suara musik dangdut saat batang kontol saya terbenam di dalam lubang memek Bu Olah yang longgar.

Saat saya memompa, terdengar bunyi becek... ceprett... ceprett... ceprett...
Saya melepaskan BH Bu Olah. Bu Olah benar-benar telanjang, lalu saya mengisap puting teteknya yang besar dan keras, tapi teteknya sendiri sudah kendor sambil saya menggenjot terus lubang memeknya yang kian basah.

Tidak sampai 10 menit saya mengocok penis saya di lubang memek Bu Olah, kemudian saya semburkan cairan mani saya di dalam memek Bu Olah. Croott... croott... crroott...

Saya mencabut penis saya, Bu Olah buru-buru mengambil celana dalam membersihkan memeknya. Saya merapikan pakaian saya. Setelah itu saya mengeluarkan selembar uang ratusan untuk menghagai pelayanan Bu Olah malam itu. (30032015)
 
•••••

6. Diajak Tante Menagih Hutang



MINGGU siang aku lagi enak-enak tidur, Mama membangunkan aku. Mama bilang, ada Tante Endah di luar lagi nungguin aku. Kenapa Tante Endah nungguin aku? Tumben-tumbenan. “Tante Endah mau minta tolong kamu anterin dia nagih utang, sepeda motornya lagi dipakai Dani,” kata Mama.

O, aku malas banget, pengen tidur lagi soalnya semalam aku baru pulang kemping jam 12 tengah malam dan masih capek. “Kenapa sih Mama bilang ada aku?”

“Sepeda motormu ada di luar, masa Mama tega bohongin Tante Endah? Ayo, antar aja sebentar, nanti pulang tidur lagi.” kata Mama.

Mengingat Tante Endah sudah banyak jasanya pada keluarga kami, dimana dulu Papa di PHK Tante Endah yang mencarikan pekerjaan kembali untuk Papa, aku jadi tidak tega untuk tidak membantunya. Tante Endah dibilang famili, bukan famili. Dulu sebelum pindah rumah baru, rumahnya bersebelahan dengan rumah kami. Keluarganya baik dengan keluarga kami, sudah seperti saudara sendiri.

Aku segera bangun mengganti pakaian, dan setelah berada di atas sepeda motorku, Tante Endah baru bilang sama aku bahwa nagih utangnya di kampung. Kampungnya jauh sekali! Waduh, sepanjang perjalanan aku jengkel bukan main dan ngedumel dalam hati sehingga aku membawa sepeda motor pun menjadi tidak tenang, seruduk sana seruduk sini.

Tante Endah, pekerjaannya adalah berdagang pakaian wanita dan pakaian anak-anak. Kebanyakan Tante Endah menjual barang dagangannya di kampung dengan sistim utang. Satu potong pakaian pembayarannya dicicil beberapa kali.

Sekarang sudah lazim berdagang dengan sistim seperti ini, karena tidak akan laku berdagang di kampung jika bayarnya tunai. Tidak hanya baju luar, celana dalam juga dijual cicilan, meskipun harganya selangit dan berlipat-lipat dari harga aslinya, masih juga ada orang yang mau membeli. Tetapi ruginya juga ada, yaitu jika ketemu pembeli yang nakal, cicilan diulur-ulur waktunya, kadang-kadang nggak bayar!

Jalan di kampung sudah mulai musim penghujan sangat becek. Sebentar-sebentar aku harus me-rem sepeda motorku untuk menghindari roda sepeda motorku agar tidak masuk ke lubang. Karena itu lama kelamaan aku merasa punggungku yang hanya dilapisi kaos itu sering dibentur-bentur oleh suatu benda yang kenyal-kenyal empuk. Aku bisa menebak benda apa yang membentur punggungku.

Jantungku jadi berdebar-debar karena grogi. Tapi tak lama kemudian, Tante Endah yang duduk di belakang sepeda motorku dengan posisi mengangkang malah melingkarkan kedua tangannya ke perutku sehingga benda kenyal-kenyal empuk yang berasal dari dada Tante Endah itu bukan lagi membentur-bentur punggungku, melainkan merapat ke punggungku.

O, namanya bukan laki-laki jika celana dalamku tidak sesak oleh karena kedua benda di dada Tante Endah tersebut. Bentuknya tidak kecil, tapi montok.

Perjalanan yang jauh pun rasanya jadi ringan dan dekat. Aku yang tadinya ngedumel dalam hati, jadi senang diberi kesempatan oleh Tante Endah untuk menikmati buah dadanya.

Sesudah Tante Endah menagih di beberapa rumah, kami pulang. Di tengah perjalanan, Tante Endah mengajak aku berhenti di sebuah warung. Tante Endah membeli gorengan yang masih panas dan juga membeli dua botol air minum dingin.

Kami tidak makan dan minum di warung. Tante Endah mengajak aku ke sebuah danau bekas galian pasir untuk menikmati makanan dan minuman yang dibelinya. Tempat yang sejuk, mungkin Tante Endah pernah istrirahat di sini. Air danaunya berwarna kebiru-biruan dan tenang.

Kami duduk di tepi danau beralaskan rumput hijau nan segar menikmati angin semilir yang berhembus dari pohon-pohan yang banyak tumbuh di sekitar danau.

Burung yang membuat sarang di atas pohon pun ikut berkicau. Kami makan minum, sambil ngobrol. Tante Endah bukan orang yang ngomongnya kalem, tapi blak-blakan, malahan terkadang agak jorok. Nggak segan-segan ia sebut kon**l kalau lagi latah.

Sekitar setengah jam kami duduk di tepi danau. Sewaktu akan pergi meninggalkan tepi danau, aku merasa ingin pipis, lalu aku minta izin dengan Tante Endah mau pergi pipis dulu. “Kenapa sih pipis aja perginya jauh-jauh? Malu ya sama Tante? Tante sudah bosan melihatnya!” kata Tante Endah.

Alhasil, aku pun mengeluarkan ‘pistol air’ku dari dalam celanaku berdiri menghadap ke danau sekitar dua meter dari tempat Tante Endah berdiri. Cuuu...uussss.... air seniku mengucur deras dari ujung ‘pistol air’ku.

Aku tidak memperhatikan Tante Endah, tapi tiba-tiba ia sudah berdiri di samping aku sembari menyodorkan aku tissu.

“Nih, lap yang bersih, biar nggak bau!” katanya memperhatikan ‘pistol air’ku. “Panjang juga ya?” tambahnya.

Malu juga aku, akan tetapi sudah tidak keburu lagi aku menyembunyikan ‘pistol air’ku. Sejurus kemudian, Tante Endah menjulurkan tangannya memegang ‘pistol air’ku. “Sering dikocok? Mau Tante kocok?” tanya Tante Endah padaku.

Ahh... pertanyaan Tante Endah membuat aku gelagapan. Tante Endah tidak hanya memegang ‘pistol air’ku. Ia mengelus dan mengurut dengan tangannya yang berkulit halus.

Dielus sendiri saja enaknya sudah bukan main, apalagi dielus oleh seorang wanita yang masih cantik mengingatkan aku akan seorang artis film. Meskipun umurnya sudah empat puluh delapan tahun, ia awet muda.

“Punya Om-mu sudah payah! Sudah nggak bisa bangun!” katanya.

“Maksudnya?” tanyaku.

“Sudah nggak bisa buat main...” jawab Tante Endah sambil memperhatikan kiri kanan, dan sekeliling danau. “Main, yuk!”

Main?

“Aku... nnggg... nggg... belum pernah, Tante!”

“Gampang, asal kamu mau dulu. Tapi dengan catatan, ini rahasia kita, ya?” jawab Tante Endah.

“Maksud Tante?” tanyaku.

“Jangan sampai Om kamu tau. Mau ya kita main?”

“Mmm...”

“Tante sudah lama kesepian Romi, bantu Tante, ya?”

Lalu Tante Endah segera melepaskan celana jeans yang dipakainya. Aku masih berdiri terbegong. Tante Endah yang sudah napsu itu langsung menarik aku menindihnya di rumput. ‘Pistol air’ku dipegangnya kemudian disumbatkan ke lubang yang berada di selangkangannya.

Tidak bakal kelihatan orang yang lalu lalang dengan sepeda motor atau dengan mobil di jalan raya karena rumput alang-alang yang cukup tinggi menghalangi kami berdua. Beratapkan langit dan berkasurkan rumput, pantat Tante Endah bergoyang supaya ‘pistol air’ku bisa masuk ke lubang vaginanya. Oooo.... oooohh.... hhuhh....

“Masukkan yang dalam, Romi... jangan malu-malu.. “ suruh Tante Endah.

Memang ‘pistol air’ku semakin masuk ke dalam lubang vagina Tante Endah semakin nikmat, apalagi kemudian Tante Endah ikut bergoyang. ‘Pistol air’ku yang tergesek dinding vaginanya rasanya ngilu-ngilu sedap.

Tante Endah membuka beberapa kancing bajunya, lalu mengeluarkan buah dadanya dari dalam BH-nya. Ooohhhh.... aku tidak mau memperhatikan kiri kanan lagi sewaktu kulihat puting susu Tante Endah yang ranum hitam seperti buah bali itu. Segera kusergap dan kuhisap.

“Aaa... aaa.... mhhh.... hukk.... hukkk....hhuhh....” desah Tante Endah merasakan nikmat. “Hayo, truss... sayang....”

Aku mengocok batang senjataku keluar-masuk. Lubang vagina Tante Endah yang sudah pernah melahirkan tiga orang anak itu yaitu Anih, Margo dan Dani mengeluarkan air becek.

Tante Endah sudah punya dua orang cucu dari anak pertamanya yang sudah menikah. Lubang vagina yang tergesek oleh batang senjataku ini rasanya semakin nikmat saja. Tanpa menunggu lagi segera kuhentakkan dengan tenaga penuh batang senjataku yang keras itu masuk ke kedalaman kewanitaan Tante Endah.

‘Huukk... aahhh....” jerit Tante Endah menerima tusukan batang senjataku.

Akibatnya ‘pistol air’ku itu pun menembak-nembakkan pelurunya ke rahim Tante Endah bertubi-tubi. “Aaahhh... aahhh... aahhhhh....” rintih Tante Endah.

Aku semayamkan beberapa jenak batang senjataku yang kelelahan itu di dalam vagina Tante Endah. Tante Endah kemudian mendorong aku pergi seraya meraih tasnya yang tergeletak di rumput. Ia mengeluarkan beberapa lembar tissu. Sebagian ia berikan padaku untuk membersihkan batang senjataku yang sudah terkulai loyo, dan sebagian lagi ia pakai membersihkan vaginanya.

Kami merapikan pakaian kami masing-masing, kemudian duduk sebentar di tepi danau berpelukan seperti sepasang kekasih. Tak lama kemudian Tante Endah mengajak aku pulang. Aku langsung mengantar Tante Endah ke rumahnya. Dani, anak Tante Endah yang bungsu belum pulang. Om Toni, suami Tante Endah memang jarang berada di rumah.

Tante Endah membuka pintu rumah dengan kunci yang dibawanya. Ia menyuruh aku memasukkan sepeda motorku ke dalam rumahnya. Setelah ia mengunci rapat pintu rumahnya, kami kembali bercumbu di tempat tidur. Kali ini, aku dan Tante Endah tidak ragu-ragu lagi bertelanjang bulat menikmati kebersaman kami layaknya suami istri.

Sejak saat itu Tante Endah sangat memanjakan aku. Aku mau apa saja akan dibelikan olehnya. Tapi aku tahu diri, tidak mau mengambil kesempatan dalam kesempitan, karena kalau ketahuan kedua orangtuaku aku berselingkuh dengan Tante Endah, aku bisa repot! (06062019)
 
Bimabet
•••••

7. Batang Tua Dikepitkan Dicelah Dada
Kuala Lumpur, January 20, 2017



PADA suatu pagi telepon di kamarku berbunyi, dengan malas aku paksakan diri untuk mengangkatnya. Ternyata telepon itu dari Mang Obet, tukang kebun dan penjaga villa kami. Ia menyuruh aku supaya segera datang ke villa. Katanya ada masalah yang harus di bicarakan di sana.

Belum sempat aku tanya lebih lanjut sambungan telepon sudah terputus. Hatiku mulai tidak tenang saat itu, apa masalahnya, apakah kecurian, kebakaran atau apa. Aku juga tidak tahu mau bertanya kepada siapa lagi waktu itu karena kedua orang tuaku berada di luar negeri.

Aku segera bersiap untuk ke sana. Tidak lupa aku mengajak temanku Lena, yang sering pergi bersamaku ke sana. Sesampainya di sana, kami berdua disambut oleh Mang Obet, seorang lelaki setengah baya berumur 50, rambutnya sedikit memutih, tetapi badannya masih sehat dan gagah.

Ia adalah penduduk asli yang tinggal dekat villa kami. Sudah 4 tahun sejak ayahku membeli villa ini Mang Obet diupah untuk menjaganya. Kami sekeluarga percaya padanya karena selama ini belum pernah villa kami ada masalah.

Mang Obet mengajak kami berdua masuk ke dalam villa. Di ruang tamu sudah menunggu seorang lelaki lain. Mang Obet memperkenalkannya pada kami. Orang ini bernama Rohim, tubuhnya agak gemuk pendek. Ia adalah teman Mang Obet yang juga merupakan seorang penduduk asli di situ.

Tanpa membuang waktu lagi aku terus bertanya mengenai masalah apa sebenarnya aku disuruh datang ke villa. Mang Obet mengeluarkan sebuah bungkusan. Ia mengatakan bahwa masalah inilah yang hendak ia perbincangkan dengan aku.

Lalu aku dan Lena membuka bungkusan itu. Betapa terkejutnya kami berdua bak disambar petir di siang hari. Bagaimana tidak, ternyata bungkusan itu berisi foto-foto kami. Foto-foto itu adalah foto erotis kami yang diabadikan ketika kami nginap di villa beberapa bulan lalu, ada foto bugilku, foto bugil Lena, dan juga foto persetubuhan kami dengan pacar kami masing-masing.

“Mang Obet, dapat dari mana barang ini?” tanyaku dengan tegang.

“Hhmm..! Begini Dik Delina, waktu itu aku sedang membersih kamar, aku menemukan sebuah flasdisk. Tadinya aku nggak tau flashdisk itu punya Dik Delina, lalu aku suruh anaknya Mang Rohim ini bawa pulang. Ehh... ternyata kata anaknya Mang Rohim, foto bugil! ” jawabnya sambil sedikit tertawa.

“Mang Obet sangat kurang ajar, Mang Obet digaji untuk menjaga tempat ini, bukannya mengusik barang aku!” kataku dengan marah dan menudingnya. Aku sangat menyesal karena lalai membiarkan flashdisk itu tertinggal di villa, bahkan aku ingat flashdik itu sudah dibawa oleh pacarku atau pacar Lena.

Wajah Lena ketika itu juga nampak resah dan marah. “ Wah, wah, jangan marah Dik, aku tidak sengaja, Adik sendiri yang lalai kan?” mereka berdua tertawa memandangi kami.

“Baik, kalau begittu serahkan flashdisknya, dan kamu boleh pergi dari sini.” kataku dengan marah.

“Okelah Mang Obet, kami bayar berapapun asal kamu kembalikan flashdisknya.” tambah Lena memohon.

“Oo.. tidak, kami ini bukan tukang peras, kami hanya minta...” Mang Rohim tidak meneruskan perkataannya.

“Sudahlah Mang Obet, ngomong saja apa yang kamu mau!” bentak Lena.

Perasaan aneh mulai menjalari tubuhku disertai peluh dingin membasahi dahiku karena mereka mengamati tubuh kami berdua dengan tatapan liar. Kemudian Mang Obet mendekatiku membuat degup jantungku makin kencang. Beberapa inci di depanku tangannya bergerak mengenggam buah dadaku .

“Hei, kurang ajar, jangan keterlaluan ya!” bentakku sambil menepis tangannya dan menolaknya.

“Berani sekali kamu, tak sadar diri hah? Dasar orang kampung!” Lena menghardik dengan marah dan melemparkan foto itu ke arah Mang Obet.

“He.. he.. he... coba Adik berdua bayangkan, bagaimana kalau foto-foto itu diterima orangtua Adik, atau teman-teman di kampus Adik? Wah siap-siap Adik berdua ini boleh jadi terkenal!” kata Mang Rohim dan disusul gelak tawa Mang Rohim.

Aku tertegun sejenak, pikiranku kalut, kurasa Lena pun merasakan hal yang sama denganku. Nampaknya tiada pilihan lain bagi kami berdua selain mengikuti kehendak mereka. Kalau foto-foto itu tersebar bagaimana reputasiku, keluargaku, apalagi Lena yang bekerja sebagai model sambilan, kariernya bisa hancur gara-gara masalah itu.

Mang Obet kembali mendekatiku dan meraba bahuku, sementara itu Mang Rohim mendekati Lena lalu mengelilinginya, mengamati tubuh Lena. “Bagaimana Dik, apa sudah berubah pikiran?” tanyanya sambil membelai rambutku yang sebatas bahu.

Kupikir-pikir untuk apa lagi jual mahal, kami pun sudah bukan perawan lagi, cuma kami belum pernah bermain dengan orang-orang yang berbadan tegap dan kasar seperti mereka. Akhirnya dengan berat hati aku cuma dapat menganggukkan kepalaku saja.

“Ha.. ha.. ha... akhirnya boleh juga orang kampung seperti kami merasakan cewek kampus, ada foto model lagi!” mereka tertawa mengejek penuh kegairahan.

Aku cuma dapat menyumpah di dalam hati, “dasar lelaki tua!”

Mang Obet memelukku dan tangannya meremas-remas buah dadaku dari luar, lidahnya bermain dengan liar di dalam mulutku. Bibirnya yang hitam legam menggigit-gigit bibir tipisku yang lembut. Perasaan geli, jijik dan nikmat bercampur aduk dengan berahiku yang mulai timbul.

Tangannya kini semakin berani menyusup ke bawah baju ketat lengan panjang yang aku pakai, terus bergerak menyusup ke balik BH-ku. Degup jantungku bertambah kencang dan nafasku semakin sesak ketika kurasakan tangan kasarnya mula merayap di dadaku, apalagi jari-jarinya turut mempermainkan puting tetekku. Tanpa kusadari lidahku mulai aktif membalas permainan lidahnya, air liur kami bercantum lalu menetes di pinggir bibir.

Nasib Lena tidak jauh berbeda denganku. Mang Rohim mendekapnya dari belakang lalu tangannya mulai meramas buah dada Lena dan tangan satunya lagi menaikkan rok sebatas lututnya sambil meraba-raba paha Lena yaang jenjang dan mulus.

Satu-persatu kancing baju Lena dilucutkan sehingga nampaklah BH-nya yang berwarna merah muda, belahan dadanya, dan perutnya yang rata. Melihat buah dada 34C milik Lena yang membusung itu Mang Rohim makin bernafsu. Dengan kasar BH itu ditariknya turun maka tersembullah buah dada Lena yang montok dengan puting yang kecil berwarna kemerahan.

“Whuua... ternyata lebih cantik dari foto...” katanya.

Mang Rohim menghempaskan diri ke sofa, dikangkangnya lebar-lebar kedua belah kaki Lena yang berada di pangkuannya. Tangannya yang kasar mulai bergerak ke selangkangannya. Jari-jari besarnya menyelinap ke balik celana dalam Lena.

Wajah Lena menunjukkan rasa pasrah tidak berdaya menolak perlakuan seperti itu, matanya pejam dan mulutnya mengeluarkan desahan. “Eeemhh... uuhh... jangan Mang Rohim, tolong hentikan, eemhh...!”

Kemudian Mang Rohim mengangkat tubuh Lena, mereka menghilang ke dalam kamar meninggalkan kami berdua berdua di ruang tamu. Sesudah menaikkan baju dan BH-ku, kini tangan Mang Obet membuka ritsleting celana panjangku. Ia merapatkan tubuhku pada tembok. Aku memejamkan mata berusaha menikmati perasaan itu. Aku bayangkan yang sedang menikmati tubuhku ini adalah pacarku, Alan.

Si tua bangka ini ternyata pandai membangkitkan nafsuku. Jilatan lidahnya pada puting tetekku menyebabkan benda itu semakin mengeras. Kemudian kurasakan tangannya mulai menyelinap masuk ke balik celana dalamku, diusap–usapnya permukaan kemaluanku yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu.

“Sshh... eemhh...!” aku mulai meracau tidak karuan ketika jari-jari kasarnya memasuki lubang vaginaku dan memainkan klitorisku, sementara itu mulutnya tidak henti-hentinya menghisap buah dadaku, aku mulai merasakan nikmat oleh permainannya.

“He.. he.. he. . Adik mulai terangsang ya?” ejeknya dekat telingaku. Tiba-tiba ia menghentikan aktivitasnya dan dengan kasar didorongnya tubuhku hingga terjatuh di sofa. Sambil berjalan mendekat ia menanggalkan pakaiannya satu persatu.

Sesudah ia membuka celana dalamnya terlihat olehku kemaluannya yang sudah menegang sedari tadi. Gila, ternyata kontolnya besar, lebih besar dari punya pacarku dan dihiasi bulu-bulu yang tebal dan beruban.

Kemudian ia menanggalkan celana panjang dan celana dalamku yang tinggal cuma jilbab yang menutupi kelapaku, baju lengan panjang dan BH-ku yang sudah terangkat. Dikangkangnya kedua belah pahaku di depan wajahnya. Tatapan matanya sangat mengerikan ketika melihat mahkotaku, seolah-olah seperti monster lapar yang siap utk menerkam mangsanya.

Mang Obet membenamkan mukanya pada selangkanganku, dengan penuh nafsu ia melahap dan menyedot-nyedot vaginaku yang sudah basah itu. Lidahnya dengan liar menjilati dinding vagina dan klitorisku. Sesekali ia mengorek-ngorek lubang kemaluanku dan anusku.

Perlakuannya sungguh membuat diriku serasa terbang, tubuhku menggelinjang-gelinjang diiringi erangan nikmat. Tidak lama kemudian akhirnya kurasakan tubuhku mengejang, aku mencapai orgasme. Cairan wanitaku membasahi mulut dan jari-jari Mang Obet.

“Sluurrpp... sluurpp... sshhrrpp...” demikian bunyinya ketika ia menghirup sisa-sisa cairan wanitaku.

Disuruhnya aku membersihkan jari-jarinya yang berlumuran cairan itu dengan mengulumnya, maka dengan terpaksa kubersihkan jari-jari kasarnya itu dengan mulutku. ”Memek Dik Delina sedap sekali...” puji Mang Obet sambill menyeringai. “Sekarang giliran Dik Delina menghisap batang aku ya!” katanya sambill melepas baju dan BH-ku yang masih melekat.

Sekarang yang tinggal hanya jilbabku, selain kalung dan cincin yang kukenakan. Ia menaikkan mukaku lalu menyuapkan batang kontolnya padaku. Tiba-tiba telepon berbunyi memecah suasana. “Angkat teleponnya Dik, ingat aku tahu rahasia Adik, jadi jangan berbicara macam-macam!” ancamnya.

Telepon itu ternyata dari Alan, pacarku yang mengetahui aku sedang berada di villa dari pembantu di rumahku. Dengan alasan yang dibuat-buat aku menjawab pertanyaannya dan mengatakan aku di sini baik-baik saja. Ketika aku sedang berbicara mendadak kurasakan sepasang tangan mendekapiku dari belakang dan dekat telingaku kurasakan dengusan nafas.

Tangan itu mulai nakal meraba buah dadaku dan tangan satunya lagi pelan-pelan menjalar turun menuju kemaluanku, sementara pada leherku terasa ada benda hangat dan basah, ternyata Mang Obet sedang menjilat leherku.

Kontolnya yang tegang saling berhimpit dengan vaginaku. Aku sebenarnya mau memberontak tapi aku takut pacarku tahu. Aku cuma dapat menggigit bibir dan memejamkan mata, berusaha keras agar tidak mengeluarkan suara-suara aneh.

Alan mengajakku bercanda panjang lebar sehingga membuatku semakin menderita dengan siksaan ini. Sekarang Mang Obet menyusu dariku, tidak henti-hentinya ia mengulum, menggigit dan menghisap puting tetekku sampai kemerahan.

Akhirnya sesudah 20 menit Alan menutup obrolan, saat itu Mang Obet tengah menyusu sambil mengorek-ngorek kemaluanku. Aku pun akhirnya dengan lega mengeluarkan erangan yang dari tadi tertahan. “ Aah, sopan dong sedikit! Bukankah tadi aku sedang ngomong di telefon?” marahku sambill melepas pelukkannya.

“Oh, maaf Dik, aku kan orang kampung jadi kurang tau sopan santun. Eh, itu tadi pacarnya Adik, ya? Senang sekali, selepas Adik merasa batang aku nanti, pasti Adik lupa pacarnya Adik !” ejeknya dan ia kembali memeluk tubuhku.

Disuruhnya aku duduk di sofa dan ia berdiri di hadapanku. Batang kontolnya di arahkan ke mulutku. Kontol coklat kehitaman penuh urat yang besar dan tegang. Berbeda dengan kepunyaan Alan yang sederhana dan tidak berurat.

Atas perintahnya kukocok dan kuurut batang kontol itu. Pada awalnya aku hampir muntah mencium batang kontolnya yang agak berbau itu, tetapi ia menahan kepalaku hingga aku tidak dapat melepaskannya.

“Hisap... hisap yang kuat Dik, jangan hanya masukkan ke mulut!” suruhnya sambil dorong-tarik batang kontolnya di dalam mulutku. Sayup-sayup aku dapat mendengar erangan Lena dari dalam kamar yang pintunya sedikit terbuka itu.

Lama kelamaan aku sudah dapat menikmatinya. Tangannya yang bergerak lincah mempermainkan buah dadaku dan memutar-mutar putingnya membuatku semakin bersemangat mengulum dan menjilati batang kontolnya. “Ya, begitu dong Dik, aah... enakk...!” desahnya sambill menarik rambutku.

Kira-kira selama 15 menitan aku menghisapnya dan ia mengakhirinya dengan menarik kepalaku. Sesudah itu dibaringkannya tubuhku di sofa. Ia lalu membuka lebar-lebar kedua pahaku dan berlutut di antaranya. Aku memejamkan mata sambill menanti detik-detik ketika batang kontolnya menerobos mahkotaku.

Rupanya orang kampung ini masih sabar. Dibelainya vaginaku dengan tangan kasarnya, klitorisku dipijit-pijit, bibir vaginaku yang telah basah diusap-usap. Aku geli bercampur nikmat. Tidak habis di situ, lidahnya kemudian menjilat klitoris dan bibir vaginaku dengan rakus.

Lidah kasar orang kampung itu membuat aku terbuai kelezatan. Dalam hati aku berpikir, apakah Mang Obet melakukan hal yang sama kepada isterinya. Akhirnya Mang Obet tak tahan lagi menahan nafsunya.

Didekatkannya kepala kontolnya ke depan vaginaku. Ditekannya perlahan dan kepala kontolnya meluncur masuk sampai menyentuh rahimku. Aku mengerang setiap kali ia menyodokkan kontolnya.

Gesekan demi gesekan, sodokan demi sodokan sungguh membuatku bergairah dan semakin menikmati perkosaan ini. Aku tidak perduli lagi orang ini sesungguhnya adalah orang kampung pembantu yang menjaga villa kami.

Sambil menyetubuhiku bibirnya tidak henti-hentinya mengerjakan bibir dan buah dadaku. Tangannya pun senantiasa meremas buah dada dan vaginaku. Erangan panjang keluar dari mulutku ketika mencapai klimaks. Sekujur tubuhku mengejang beberapa saat sebelum lemas kembali.

Peluh bercucuran membasahi tubuhku sehingga kelihatan berkilat. Tanpa memberiku kesempatan beristirahat ia menaikkan tubuhku ke pangkuannya. Aku cuma pasrah saja menerima perlakuannya. Sesudah batang kontolnya memasuki vaginaku, aku mulai menggerakkan tubuhku turun-naik.

Mang Obet menikmati goyanganku sambil menghisap buah dadaku yang tepat di depan wajahnya. Buah dadaku dikulum dan digigit kecil dalam mulutnya seperti bayi sedang menyusu. Terkadang aku melakukan gerakan memutar sehingga vaginaku terasa seperti di ayun.

Aku terus mempercepat goyanganku karena merasa sudah hendak keluar. Makin lama gerakanku makin liar dan eranganku pun makin tidak karuan menahan nikmat yang luar biasa itu. Dan ketika klimaksku sampai aku menjerit histeris sambil mempererat pelukanku.

Benar-benar dahsyat nikmat yang kuperoleh walaupun bukan dengan lelaki muda dan tampan. Kali ini ia membalikkan badanku hingga menungging. Disetubuhinya aku dari belakang, tangannya bergerak bebas meraba lekuk-lekuk tubuhku.

Harus kuakui sungguh hebat lelaki yang berumur ini, dapat bertahan begitu lama dan membuatku orgasme berkali-kali, atau mungkin sebelumnya ia sudah minum obat kuat atau jamu sejenisnya, ah nggak taulah.

Aku tidak perduli akan hal itu lagi, yang penting ia telah memberiku kenikmatan luar biasa. Sudah lebih dari setengah jam ia mengerjakanku. Tidak lama sesudah aku mencapai klimaks berikutnya, ia mulai mengeluh panjang, sodokannya makin kencang dan kedua buah dadaku diremasnya dengan ganas sehingga aku berteriak merasa sakit bercampur nikmat.

Sesudah itu ia menarik keluar batang kontolnya dan naik ke dadaku. Di sana ia menjepitkan batang kontolnya di celah kedua buah dadaku, lalu dikocoknya sampai spermanya memancur dengan deras membasahi wajah dan tetekku.

Aku sudah kehabisan tenaga. Kubiarkan saja spermanya bertaburan di tubuhku. Sebagai ‘hidangan penutup’, Mang Obet menempelkan kontolnya pada bibirku dan menyuruhku membersihkannya.

Kujilati kontol itu sampai bersih dan kutelan sisa-sisa maninya. Kontol yang mengeras itu mulai mengerut dan memendek. Selepas itu ia meninggalkan aku terbaring di sofa, selanjutnya aku tidak tahu apa-apa lagi karena aku sudah tidak sadarkan diri.

Aku terlena kepuasan di sofa. (.)(.)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd