Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Kumpulan Cerita Pendek 3

•••••

8. J a n d a



SIANG
mendung menggelayut di langit, sebentar lagi turun hujan. Aku buru-buru naik angkot yang sedang ngetem di depan halte kampus. Di dalam angkot duduk 2 penumpang. Seorang laki-laki paruh baya dan seorang wanita muda yang membawa sekantong belanjaan.

“Kasihan ya Dek, sekarang angkot susah dapat penumpang, semua orang pada naik ojek,” sapa si ibu saat saya duduk di sampingnya.

“Hee.. hee.. “ saya hanya tertawa kecil tidak berani menjawab si ibu, karena takut omongan saya tidak disukai sopir angkot. “Ibu habis dari mana?” tanya saya.

“Ngantar anak ke sekolah mampir ke pasar sekalian. Adek, kuliah di sini?”

“Iya Bu, daripada nganggur...”

“Adek tinggal di mana?”

“Pasar Ujung Bu, Ibu?”

“Gang Benhur...”

“Bawa banyak belanjaan dagang ya, Bu?”

“Iya dagang nasi, sejak suami meninggal. Habis mau kerja apa, bisanya hanya segitu...”

Angkot mulai bergerak. Penumpangnya hanya kami bertiga. Si laki-laki yang duduk di depan kami tidak memperhatikan kami. Ia sibuk dengan hapenya. “Sudah berapa lama suami meninggal?”

“Sudah hampir 2 tahun!”

“Ee... ee... ee... ee... Abang! Hati-hati, dong!” teriak si ibu mencengkeram tangan saya. Sopir angkot ngerem mendadak, karena mobil di depannya berhenti mendadak juga, sebab ada kambing yang mau nyeberang jalan.

Entah kambing dari mana. “Maaf ya, Dek!” si ibu buru-buru melepaskan tangannya dari tangan saya.

Tapi kemudian ia sempat memandang saya dengan senyuman seperti tangan saya ada magnitnya. Saya juga tersenyum. “Saya mau turun di warung mie ayam. Ibu mau ikut?” tanya saya.

Saya siapkan uang 10 ribu rupiah untuk membayar angkot. Ternyata si ibu mau ikut saya turun di warung mie ayam. Saya membantu mengangkat barang belanjaannya turun dari angkot. Namanya Yayuk, umurnya 38 tahun. Begitu informasi yang saya peroleh dari Bu Yayuk sendiri saat kami duduk di warung mie ayam. Suaminya meninggal karena kanker paru. Anaknya 4 orang, yang paling besar duduk di kelas XI SMK, sedangkan yang paling kecil masih SD kelas 5.

“Bagaimana urusan ranjang dong Bu, Ibu masih muda sudah nggak punya suami? Apa nggak ada niat nikah lagi?” tanya saya.

“Nggaklah Dek Jupri, anak-anak nggak suka ibunya nikah lagi. Urusan ranjang, tahan-tahanlah cari kesibukan...”

Saya menggenggam tangannya di bawa meja. Tidak ada penolakan dari Bu Yayuk, berarti kalau saya membawanya ke ranjang pun, ia tidak akan menolak saya, batin saya.

“Mau Ibu, kalau saya bawa jalan-jalan sekali-sekali...” tanya saya.

“Mau aja Dek Jupri, saya sendiri apa sama anak-anak?”

“Iya... sama anak-anak dong, Bu...”

“Dek Jupri... “ desah Bu Yayuk memandang saya tajam dan menggenggam tangan saya lebih erat lagi seolah-olah tubuh, jiwa dan rohnya ia berikan pada saya.

Hampir 30 menit kami ngobrol dan makan mie. Bu Yayuk mengajak saya ke rumahnya. Dari depan Gang Benhur ke rumah Bu Yayuk masih jauh, kira-kira 100 meter. Rumah kontrakannya sempit dan lingkungannya agak kumuh. Seorang ibu yang lagi netek anaknya juga jorok, nggak nutupin teteknya, sehingga tetek yang montok itu menjadi santapan mata laki-laki.

“Ini anak saya, hari ini ia libur.” Bu Yayuk memperkenalkan anaknya yang duduk di ruang tamu bermain games pada saya.

“Joko, Kak!” Joko bangun dari duduknya bersalaman sopan dengan saya.

“Dulu Bapak masih hidup rumah nggak begini Dek Jupri, habis dijual buat ngobatin Bapak...” jelas Bu Yayuk.

Bagaimana saya dapat menjawab keluhan Bu Yayuk?

“Jemput adikmu Ko, sekalian motor isi bensin, nanti sore Mama mau pergi...” suruh Bu Yayuk pada Joko.

Joko anak penurut. Joko segera meninggalkan tempat duduknya. Setelah motor berbunyi, Bu Yayuk mendorong pintu rumahnya sedikit tertutup. Ia duduk di samping saya, memegang paha saya, menanti reaksi saya. Itulah tujuannya kenapa ia menyuruh Joko pergi.

Saya segera merangkul pundaknya dan menyambut bibirnya. Napas Bu Yayuk mendengus-dengus saat bibir saya melumatnya dan tangannya tidak henti-hentinya meremas kontol saya yang masih tersimpan di dalam celana saya seolah-olah ia sangat membutuhkan kontol saya sekarang juga. Saya maklum, Bu Yayuk sudah ditinggal mati oleh suami sekian lama pasti memeknya memerlukan penyegaran. Saya juga mau cepat-cepat menikmati memek Bu Yayuk.

Saya membuka celana saya dan mengeluarkan kontol saya yang tegang. “Cepat... cepat.... “ suruh Bu Yayuk menurunkan celananya dan nungging di depan meja tamu. Ia sudah sangat tidak tahan, apalagi dilihatnya kontol saya sangat besar dan sangat tegang.

Saya tidak segera menusuk memek Bu Yayuk dengan kontol saya. Pantatnya yang putih dan bahenol menarik perhatian saya. Saya cium pantat Bu Yayuk dan belahannya yang wangi keringat saya jilat dengan lidah saya. Bu Yayuk menggelinjang apabila lidah saya mengenai anusnya. “Huuhhh... enak, Dek Jupri...” desah Bu Yayuk, “Jangan biarkan, semuanya Dek Jupri... trusss... oohh... enakkk... trusss...”

Saya tidak tahu desahan dan rintihan Bu Yayuk kedengaran oleh tetangganya atau tidak. Kalau kedengaran, tetangganya juga pasti maklum dengan janda kesepian ini. Pahanya dikangkangnya lebar-lebar untuk saya. Memeknya basah mengeluarkan lendir sampai meleleh ke pahanya. Betapa birahinya Bu Yayuk...

Saya jilat semua cairan birahi Bu Yayuk. Memeknya saya tusuk-tusuk dengan lidah sehingga membuat tubuh Bu Yayuk bergemetaran hebat. Kedua kakinya seolah-olah tidak kuat menginjak lantai. Ia mengalami orgasme yang luar biasa.

“Saya mau menjadi suamimu kalau kamu mau sama saya,” kata saya jatuh cinta pada Bu Yayuk.

Aku tidak panggil Bu Yayuk lagi, aku panggil kamu. Yayuk membalik tubuhnya memeluk saya erat, seerat-eratnya. “Saya mau bahagia bersama kamu, Mas...”

Desah napas Yayuk mengingatkan saya akan pacar saya, Dewi. Dewi rela saya setubuhi siang dan malam kapan saya mau dan Mama saya juga sangat suka sama Dewi. Setiap kali Dewi datang ke rumah, Dewi rajin membantu Mama saya bikin kue untuk dijual.

Saya telentangkan Yayuk di atas meja tamu dan dengan sekali tusuk, kontol saya tembus sampai ke ujung memek ibu yang pernah melahirkan 4 orang anak ini. Yayuk menggelinjang dan kedua tangannya mencengkeram tepi meja, menandakan ia mengalami orgasme yang kedua.

Saya tidak menyia-nyiakan waktu. Kemungkinan Joko pulang menjemput adiknya di sekolah sangat besar, belum lagi kalau tetangga yang datang ingin bertemu dengan Yayuk. Saya pompa memek Yayuk yang licin basah itu seperti kontol saya kecebur di sumur, tapi memek Yayuk masih lengitnya minta ampun. Bibir memeknya tebal sekali, kalau diiris buat masak sayur, bisa dapat sepiring penuh. Hee.. hee...

Kontol saya juga ngacengnya luar biasa. Semakin dipakai untuk memompa memek Yayuk, rasanya semakin tegang saya. “Oooo.... Maa...aasss.... mau lagi, Maaa...aasss....” rintih Yayuk ingin orgasme sekali lagi.

Memek Yayuk mengeluarkan aroma birahi yang tidak sedap. Saya pompa terus memek Yayuk. Plokk... plokkk... plokkkk.... aaaaggghhh.... Maa... aassss.... teriak Yayuk.

“Memekmu legit, Yu..uukkk... aaarrgghhh....” aku mengerang dan tubuhku mengejang hebat.

Selanjutnya, air maniku menyembur-nyembur di memek Yayuk membuat Yayuk terkulai tak bertenaga, sedangkan aku menindih Yayuk dengan napas terengah-engah. Setelah mengatur napas, saya segera mencabut penis saya dari lubang memek Yayuk, lalu pergi ke kamar mandi dengan Yayuk.

Saat saya meninggalkan rumah Yayuk sudah jam 3 sore, kontol saya masih ngilu rasanya. Saya mampir minum es di warung untuk mencari informasi tentang Yayuk. “Baru 3 atau 4 bulan tinggal di situ. Dulu sebelum suaminya meninggal, dia tinggal di perumahan Asri. Ugghh... sombong Dek, dia dulu... sekarang aja dia baru mau bergaul sama kita...” begitu cerita pemilik warung es.

Berarti saya benar, Yayuk bukan wanita nakal. Ia cuma butuh belaian laki-laki, sehingga saya pun sering bertandang ke rumah Yayuk. Saya ke rumah Yayuk tidak hanya urusan syawat, tapi saya juga sering bermain dengan anak-anaknya. Kadang-kadang saya juga nginap di situ, tidur seranjang dengan Yayuk.

Joko dan adik-adiknya paham kalau saya dan ibunya sudah seperti suami-istri. (28022019)
 
•••••

9. KEBERUNTUNGAN



SIANG
itu aku pergi ke sebuah plaza. Aku memakai celana jeans cut bray dengan kaos ketat. Rambutku aku beri gel secukupnya untuk menjaga penampilanku. Dengan percaya diri aku masuk ke plaza tersebut untuk membeli casing handphone.

Aku datang masih cukup pagi, sekitar pukul 09.30. Rupanya beberapa toko masih tutup. Banyak pegawai toko yang berdiri di depan tokonya yang tertutup. Mereka menunggu pimpinan atau pemilik tokonya yang akan datang membukakan toko.

Sambil berjalan aku merasa diriku diperhatikan dua orang wanita yang tampaknya pegawai yang menunggu tokonya buka. Mereka memperhatikanku, terutama salah seorang di antara mereka yang wajahnya manis. Tingginya rata-rata saja, sekitar 160 cm.

Aku belum memperhatikan detil lain kecuali rambutnya yang panjang. Mata wanita itu memandangku sambil bercakap-cakap dengan temannya. Kemudian mereka tertawa bersama. Aku pikir mereka membicarakanku.

Aku cuek saja. Aku ingin agar urusanku cepat selesai. Seperti pengunjung kebanyakan, aku ingin mencari dan membeli barang yang kubutuhkan, lalu pulang. Ketika melihat sebuah toko handphone yang sudah buka, aku segera masuk dan mulai mencari casing handphone. Ternyata cukup sulit menemukan casing yang aku inginkan.

Keluar dari satu toko, aku mencari di toko lain, dan belum mendapatkannya. Sambil mencari toko lain, aku melihat dua wanita tersebut masih memperhatikanku.

Yang satu malah dengan nekat tersenyum dan mengedipkan mata padaku. Darahku berdesir. Dilihati saja aku sudah biasa. Tetapi kalau digoda dengan kedipan mata, jarang sekali. Pernah juga aku dicium di lift beberapa tahun lalu oleh seorang wanita yang tidak kukenal, tetapi itu adalah satu-satunya peristiwa langka yang aku alami.

Kali ini, mau tidak mau aku jadi salah tingkah. Akhirnya kubalas senyumnya.

Dasar cowok! Diberi umpan, di ambil saja.

Tiba-tiba aku punya prasangka jelek. Siapa tahu mereka adalah wanita nakal yang mencari mangsa di plaza? Wah, aku tidak tertarik sama sekali dengan wanita yang menjual tubuhnya demi uang. Tapi aku tidak suka hanya berpraduga. Maka kuputuskan untuk menghampiri mereka.

Begitu sadar bahwa aku berjalan mendekati mereka, kedua wanita itu seperti orang yang kebingungan. Sambil tertawa, salah seorang di antara mereka pergi menjauh. Tinggal wanita yang tadi tersenyum padaku. Wah untunglah, yang lebih cantik dan manis yang tinggal. Wanita itu tampak grogi ketika aku mendekat.

"Hai.." sapaku. Aku tersenyum dan berdiri di sampingnya.

"Hai.. lagi cari handphone ya?" tanyanya.

"Oh. Gak.. lagi nyari casing. Kamu kerja dimana?" aku berharap dia benar-benar pegawai toko.

"Di toko itu.." katanya sambil menunjuk sebuah toko handphone yang masih tutup.

Aku lega mengetahui dia benar-benar pegawai toko. Bagaimana kalau pegawai toko yang punya profesi ganda? Muncul pertanyaan itu di otakku. Masa bodoh ah.

Tidak ada bukti.

"Biasanya bos-mu datang jam berapa?" tanyaku lagi.

Kulihat wanita ini memakai baju yang kancingnya agak terbuka. Tanpa sengaja aku bisa melihat payudaranya yang terbungkus bra hitam. Wah, sexy juga.

Jantungku berdebar. Aku bisa mengintip payudaranya. Kalau tadi tidak sengaja, sekarang aku sengaja mencuri kesempatan untuk melihatnya.

"Tidak tentu. Kadang jam 9.30, kadang 10, kadang molor sampai jam 11."

"Oh ya.. namamu? Aku Boy." aku mengulurkan tanganku.

"Ya.. aku Santi. Cari casing apa? Mungkin di tokoku ada,"

"Hm.. ini.." aku menyebutkan salah satu tipe ponsel.

Aku agak kurang konsentrasi karena mataku masih mencuri pandang ke belahan bajunya yang memberiku hak akses melihat payudaranya. Ugh.. kecil, sekitar 34A, tapi sexy sekali. Tubuh Santi juga kecil, dengan tinggi 160 cm, beratnya mungkin hanya sekitar 45 kg. Kurus langsing. Payudaranya coklat sesuai dengan warna kulitnya. Aku suka sekali bisa mengintipnya.

Tiba-tiba tangan Santi meraih kemejanya dan melepas salah satu kancingnya! Aku sangat terkejut. Rupanya Santi tahu bahwa aku mengintip payudaranya. Tapi bukannya menegurku, dia malah membuka salah satu kancing bajunya. Ugh.. Aku menelan ludah.

Tiba-tiba aku merasa haus. Ingin segera kuraih payudaranya dan kuhisap. Santi sengaja membiarkanku melihat payudaranya!

"Di tokoku ada banyak casing HP itu. Kamu cari yang seperti apa?" tanya Santi. Gayanya cuek sekali. Membuat jantungku makin berdebar kencang. Wanita ini membuatku bergairah.

"Ehmm.. aku cari yang transparan. Aku suka bisa melihat bagian dalammu.."

"Bagian dalamku?"

"Ups.. bagian dalam handphoneku. Sorry."

Astaga.. Aku sampai salah bicara gara-gara tidak konsentrasi.

Busyet, aku melihat Santi tersenyum kecil.

Jari-nya kini menyelinap masuk payudaranya dan membuat gerakan mengusap pelan. Arrgh.. gila.. dia menggodaku. Kurang ajar!!

Aku marah pada penisku yang dengan manjanya mulai menggeliat bangun. Penis memang tidak pernah bisa dikontrol. Seandainya bisa, aku akan menyuruhnya tidur dulu.

"Ada yang transparan. Dari depan sampai belakang kamu bisa lihat sepuasnya.." katanya pelan. Kata-kata Santi mulai membawaku melayang terbang. Penisku berdenyut nikmat. Dia mulai siaga merasa akan ada pertempuran. Gila, ini di Plaza!

"Mana bisa.. tokomu masih tutup. Aku tidak banyak waktu. Aku cari di toko lain aja.." kataku mengalihkan pembicaraan.

Uffhh.. Aku menahan nafas melihat Santi membuka sedikit bra dengan jarinya dan menunjukkan puting susunya! Wanita ini pasti exhibionist. Suka mempertunjukkan bagian tubuhnya. Kulihat dia menikmati pandanganku yang makin panas ini.

"Ya cari saja di toko lain. Tapi kamu akan rugi kalau tidak beli di tokoku.." bisiknya.

Santi mendekatkan tubuhnya merapat ke tubuhku. Kami saat itu berdiri di dinding toko. Tangannya tiba-tiba bergerak cepat memelukku dari belakang dan mencubit pantatku! Lalu tangannya kembali seolah tidak terjadi apa-apa. Wanita ini membuatku semakin bergairah.

Aku nyaris kehilangan kata-kata. Keep cool, man! bisikku dalam hati. Aku mencoba tenang.

"Kenapa aku rugi?" tanyaku pelan juga.

Tanganku bergerak cepat juga mencubit pantatnya. Santi menjerit pelan. Bukan jeritan mungkin, hanya semacam seruan terkejut. Tapi itu pasti hanya pura-pura terkejut.

"Kamu ada uang 20.000?" bisik Santi. Tentu saja ada.

"Buat apa? Harga casingnya segitu ya?" tanyaku belum mengerti maksudnya.

"Ikut aku.." katanya kemudian sambil melangkah pergi.

Mau tidak mau karena penasaran aku mengikutinya. Kami berjalan melewati beberapa lorong sampai melewati kamar mandi. Kemudian kami tiba di sebuah pintu bertuliskan, "Selain Karyawan Dilarang Masuk." Mungkin semacam gudang tempat penyimpanan alat-alat cleaning service dan security.

Santi membuka pintu itu dan kami bertemu seorang pria karyawan plaza yang di dadanya bertuliskan "Cleaning Service".

Santi meraih uang dari tanganku dan memberikannya pada karyawan pria itu sambil membisikkan sesuatu pada pria itu.

Pria tersebut mengangguk sambil tersenyum dan keluar dari ruangan itu.

Sekarang aku paham. Kami akan memakai ruangan ini untuk bercinta! Setelah pria itu keluar sambil membawa uang Rp 20.000 tadi, Santi mengunci dari dalam dan aku yang sudah terangsang segera menghampirinya.

"Aku pasti beli di tokomu.." bisikku sambil mencium bibirnya.

Santi membalas ciumanku dengan ganas. Tapi ciumannya agak kasar. Dia melumat-lumat bibirku sambil sesekali menggigitku. Aku sampai terheran-heran melihat agresifitasnya.

"Kok nafsu banget, Santi?" tanyaku.

Santi bukan seorang yang hebat kissingnya. Tapi jelas nafsunya lagi tinggi. Aku mencoba melayaninya dengan baik.

Mencium bibirnya dengan caraku yang unik. Unik? Hanya orang-orang yang pernah bercumbu denganku yang tahu. Aku tidak bisa mendeskripsikannya di sini.

Aku kemudian menjilat pipinya dan turun ke leher. Santi tidak mau kalah. Dia melepas sendiri kemejanya. Kini dia hanya memakai bra. Nafasnya terengah-engah. Aku menjilati lehernya hingga membuatnya merintih keenakan.

"Ugh.. enak, Boy.." rintihnya. Aku memainkan lidahku di lehernya. Kemudian naik ke telinganya dan mulai menggigit kecil telinganya.

"Aahh.." desah Santi.

Ia menarik kepalaku dan mencari bibirku. Kami kembali saling melumat. Dengan rakusnya dia mencumbuku. Wah, wah, mirip Lily, tetapi Santi agak kasar. Belum sehebat Lily. Kami berciuman lama sekali.

Santi ternyata hobi berciuman bibir. Tidak bosan-bosan dia melumatku. Bibirku sampai getir rasanya. Pada kenyataannya, berciuman dengan agresif seperti ini, tidak akan bertahan lama rasa enaknya. Apalagi untuk bibir seperti bibirku yang tipis seksi.

Tanganku sudah tak sabar melepas kait bra-nya. Begitu bra-nya lepas, payudaranya menyembul keluar. Sangat menantang. Kecil tapi seksi. Payudara tidak harus besar bagiku. Kecil pun oke. Tentu untuk payudara kecil, tanganku tidak boleh terlalu keras menekannya. Aku memilih meremasnya dengan sangat lembut.

Payudara adalah bagian tubuh yang sensitif. Dengan halus aku merangsang payudaranya.

Tubuh Santi kegelian menahan rangsanganku. Dia menggeliat ke kiri kanan sambil terus menciumku! Bibirku sudah makin getir. Aku memutuskan melepas ciuman kami dan mulai mencium tubuhnya.

Aku menjilat bagian pusarnya. Kemudian merayap naik ke dasar lembah payudaranya. Santi mendesah sambil tertawa karena geli.

"Ah.. Ah.. ha.. ha.. kamu pintar juga, Boy!" desahnya.

Aku sampai heran, begini saja kok disebut pintar. Padahal biasa saja, cuma menjilat di perut dan merayap naik. Semua pria juga bisa. Tapi mungkin tidak semua pria tidak mau berlama-lama menjilati perut segala.

Dari dasar payudara, aku mulai naik mengelilingi lingkar payudaranya. Berputar naik mencari putingnya. Makin mendekati putingnya, desahan Santi makin kuat.

"Ah.. argh.. yes.. yah.. terus.. Boy!" desahnya.

Tentu saja aku akan melayaninya. Membuatnya nikmat dengan jilatanku yang dahsyat. Tak lama kemudian ujung lidahku mencapai puncak payudaranya. Kemudian seluruh lidahku menutupi putingnya dan aku menyapunya penuh.. srr.. srr..

"Achh.." Santi mengerang hebat.

Dia terangsang dengan perbuatanku. Kelebihanku adalah memainkan tempo dan dinamika jilatan. Membuat saraf-saraf Santi berdebar menanti kejutan dan siksaan nikmat yang kuberikan. Kemudian mulutku menerkam payudaranya. Kuhisap sambil mengkombinasi dengan tekanan lidahku pada putingnya. Kurasakan puting payudara Santi mengeras. Tegang berarti darahnya sudah naik. Warna putingnya semakin gelap. Keringat mulai mengucur.

Perlahan aku merasa tangan Santi bergerak membuka celanaku. Aku tidak memakai sabuk, jadi mudah saja membuka kancing jeansku. Segera Santi menyibak celana dalamku dan menemukan penisku.

"Ughg!" aku agak kesakitan karena penisku terhalang celana dalam yang belum terbuka sempurna. Ditambah beberapa rambut-rambut penisku yang tertarik tangan Santi.

Aku membantu melepas celanaku. Kini aku telah telanjang di bagian bawah. Santi dengan ciri khasnya yang agak kasar mengocok penisku. Cengkeramannya sangat kuat di penisku.

"Oh.." aku menahan nafas sambil merasakan kenikmatan yang kuperoleh dari kocokan Santi.

Tanganku ikut bergerak ke balik rok mininya. Aku membuka ritsluiting roknya dari belakang dari menurunkannya. Mudah sekali. Sekalian aku melepas celana dalamnya. Jariku langsung menyelinap di selangkangannya. Vaginanya sudah basah kuyup! Bulu-bulu vaginanya tidak lebat.

Aku menggosok lembut vaginanya. Beradu lihai dengan jari Santi yang juga mengocok penisku. Sementara bibir Santi kembali mencari bibirku. Wah, benar-benar menyukai kissing, Santi ini.

Jariku kemudian merayap menembus vaginanya. Aku mengocoknya dengan jariku. Dengan bebas jariku bermain di vaginanya. Berputar-putar, menekan, maju mundur dengan banyak variasi lainnya.

"Ochh.. och.. ah.. ach.. en.. nak.. ach.." Santi terus meraung.

Tangannya semakin cepat mengocok penisku. Sesekali jempol tangannya mengusap kepala penisku dan menemukan cairan pelumas di penisku. Penisku berdenyut makin kencang. Nikmat sekali.

"Boy, ayo masukkan.." pinta Santi. Dia sudah terangsang hebat. Aku bisa merasakan vaginanya yang semakin membengkak.

Mudah sekali penisku masuk ke vaginanya. Santi sudah sangat siap. Dia mungkin sedang horny berat. Kami pun segera memulai aksi paling nikmat di dunia. Have sex, making love, bercinta!

Apa pun istilahnya, intinya adalah penisku menembus vaginanya dan aku menggerakkan penisku maju mundur, berputar-putar dengan irama yang teratur.

Lama-lama kurasakan pantat Santi mempercepat gerakannya. Dia ingin lebih cepat dan keras. Tiap wanita punya ciri khas dan Santi suka yang agak kasar. Aku pun ikut memacu lebih cepat. Ada suara khas yang timbul saat penisku masuk dan keluar dari vaginanya. Nikmat, guys! Enak sekali. Keringat kami bercucuran. Penisku berdenyut-denyut nikmat. Tubuh kami bergoyang berirama.

"Ach.. ach.. ach.." Santi menjerit agak kuat.

Aku sampai mendekapkan tanganku kuatir suaranya di dengar orang dari luar. Lalu aku merasakan ada cairan yang meleleh keluar. Tubuh Santi agak mengejang. Tangannya mencengkeram erat tubuhku dan memelukku sangat erat. Dia agak bergoncang-goncang dan vaginanya berdenyut-denyut menjepit dan melepas penisku. Santi orgasme.

Cepat sekali dia orgasme. Mungkin karena saking horny-nya dia. Ini mungkin adalah ML-ku yang tercepat. Aku memeluknya beberapa saat.

Mengusap-usap punggungnya. Memijat tengkuknya dan menciumnya. After orgasm service. Kemudian aku kembali mengocok penisku. Aku mempercepat kocokanku. Aku juga ingin segera sampai ke puncak.

"Kamu udah hampir sampai?" tanya Santi.

Dengan terengah-engah aku menganggukkan kepala. Cairan ejakulasiku sudah mendekat. Tiba-tiba Santi berhenti. Dia melepas penisku. Aku sampai terkejut dan heran. Aku belum sampai! Ternyata Santi memasukkan penisku ke mulutnya.

Ugh.. aku agak bergidik menyadari bahwa Santi tentu akan menelan sendiri cairan vaginanya yang menempel di penisku.

"Ayo, bercinta dengan mulutku!" kata Santi.

Tanggung. Aku sudah hampir ke puncak. Segera kugerakkan penisku maju mundur memasuki mulut Santi. Ternyata Santi pintar menjaga agar giginya tidak menyentuh penisku. Lebih enak bercinta dengan vagina asli daripada dengan mulut tetapi karena aku memang sudah hampir tiba, aku tidak lama melakukannya. Srrt.. crrt.. crrt.. aku menyemprotkan cairan semen ke mulutnya.

Cairan putih kental itu masuk mulut Santi. Dengan lahap Santi menjilati penisku. Dia tampaknya sangat menikmati cairan semen.

"Kamu suka ya?" tanyaku. Ini adalah pengalaman baruku. Aku harus bertanya. Santi mengganggukkan kepala. Dia tidak menjawab karena masih sibuk menjilati sisa sperma di penisku.

Selesai bercinta kilat, kami kembali berpakaian dan keluar. Karyawan pria yang tadi menerima uang 20.000-ku ternyata dengan setia menjaga di luar. Dia tertawa melihatku sambil berkata. "Makasih bos! Enak ya si Santi?"

"Makasih juga, Mas! Mas-nya coba sendiri saja!" jawabku.

"Enak saja! Siapa mau dengan dia!" timpal Santi sewot.

Kami berjalan menuju tokonya. Di tengah perjalanan aku bertanya padanya mengapa dia begitu horny. Ternyata Santi sudah bersuami dan suaminya sudah beberapa hari sakit sehingga tidak bisa diajak bercinta. Lalu sejak malam Santi sudah begitu horny hingga paginya bertemu denganku dan dia tertarik padaku.

"Wah.. kamu beruntung dong ketemu aku!" kataku menggodanya.

"Enak aja, kamu yang beruntung dapat cewek lagi horny!" Santi mulai kelihatan aslinya. Bicara ceplas ceplos. Bawel. Aku tertawa saja.

Kesempatan bagus, aku bertanya pada Santi tentang arti sex baginya.

"Wah.. aku sih suka sekali bercinta, Boy! Gak bisa deh bayangin hidup menikah tanpa sex."

"Kalau disuruh memilih cowok berpribadi oke, sabar, baik, pengertian, dan semuanya sempurna. Tapi kelemahannya dia impotent.. Dibandingkan cowok yang perkasa di ranjang, tetapi main pukul, tidak bertanggung jawab, tidak setia, pokoknya pribadinya buruk.. kamu pilih mana?" pertanyaan yang sama kembali aku tanyakan.

"Waduh.. susah! Untung suamiku baik dan juga tidak impotent, walaupun tidak sepintar kamu cara merangsangnya."

"Itu bukan jawaban dari pertanyaanku. Ini cuma misal kok." desakku.

"Hmm.. sebentar.. aku bayangin dulu hidup tanpa sex dibanding hidup tanpa kasih sayang.." benar juga. Santi membandingkan hal yang penting.

"Aku pilih yang pribadinya baik deh.." jawab Santi. Fuh.. aku lega mendapatkan jawaban spesifik.

"Kenapa?" tanyaku.

"Aku masih bisa tanpa sex satu minggu. Tapi aku jelas tidak bisa tanpa kasih sayang selama satu minggu. Kira-kira kalau dipaksakan, tetap aku pilih yang pribadinya bagus.." jawab Santi. Ini point yang aku harapkan. Santi memberikannya.

"Thanks jawabannya. Semoga suamimu kelak impotent.." gurauku sambil tertawa.

Santi marah-marah. Dia memukulku. "Enak aja!" kami sama-sama tertawa.

Lalu kami masuk ke tokonya yang ternyata sudah buka dan aku membeli casing transparan yang sebenarnya jenisnya tidak terlalu aku sukai. Di toko sebelumnya juga ada. Tapi karena faktor Santi, aku beli saja. Lalu aku pulang. Belum lama berjalan keluar toko, tiba-tiba Santi berlari keluar.

"Boy.. kamu lupa kembaliannya.."

"Ah.. buat kamu aja deh. Gitu aja lho. Oh ya, Santi.. kalau apa-apa lagi, hubungi aku ya!" Santi tersenyum menganggukkan kepala.

"Oh ya, Boy. Kalau suamiku impotent atau tidak perkasa lagi, aku akan cari kamu. Haa..ha.." candanya.

Lalu aku berjalan pulang menuju tempat parkir mobil. Sampai di rumah aku baru sadar bahwa aku belum bertukar nomor handphone dengan Santi. Wah.. lain kali saja aku ke tokonya lagi.

Kadang keberuntungan bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Seandainya aku tidak pernah berani menghampiri Santi, mungkin tidak akan pernah terjadi hubungan singkat dan cepat yang aku alami dengannya.(.)(.)
 
•••••

10. Boncengan Membawa Nikmat



MALAM itu seusai rapat organisasi, aku segera menstart sepeda motorku untuk pulang. Rasanya pengin sekali segera sampai di rumah, makan, lalu tidur. Tetapi baru saja sampai di gerbang depan kampus seseorang menyapaku, dan ketika aku toleh arah suara itu ternyata Rini, anak fakultas ekonomi.

Ngapain anak ini sendirian di gerbang?

“Belum pulang, Rin?”

“Belum Den, habis nungguin bis lewat, lama amat.” jawabnya sambil berkedip-kedip genit.

“Bis lewat ditungguin, gue antar deh?”

“Bener situ mau nganterin?”

“Yah, pokoknya nggak gratis. Situ tau sendiri deh.” ujarku menggoda.

“Ah, bisa aja.”

Rini mencubit kecil pinggangku lalu segera naik ke boncengan. Tangannya melingkat erat di pinggangku, lalu melajulah sepeda motor di ramainya jalanan. Lama-kelamaan si Rini malah menempelkan dadanya di punggungku. Tau nggak, rasanya benar-benar empuk dan hangat. Wuih, terasa bener kalau dia nggak pake beha. Sebagai laki-laki normal, wajar dong kalo batang penisku tiba-tiba menegang.

“Den, gimana kalo kita mampir ke taman kota? Aku dengar ada dangdutan di sana.” bisik Rini dekat di telinga kiriku.

“Seleramu dangdut juga ya?”

Rini kembali mencubit pinggangku, tapi kemudian mengelus-elus dadaku. Tengkukku mulai merinding. Ada maunya nih anak, pikirku waktu itu. Mungkin aku sedang dihadapkan salah satu ayam kampus, nih. OK, siapa takut!

Aku segera membelokkan sepeda motor ke taman kota. Lalu mencari tempat yang agak remang tapi cukup strategis untuk menikmati isi panggung yang terletak di tengah taman kota itu. Panggung yang kira-kira berukuran 6×6 meter itu tampak meriah dikelilingi ratusan pengunjung. Irama dangdut menggema memekakkan telinga.

“Den, sini dong? Sini, duduk sama aku.”

Aku duduk di belakang Rini yang masih duduk di boncengan motorku. Gadis itu nampaknya asyik benar mengikuti irama dangdut. Sedang aku lebih tertarik memelototi tubuh penyanyinya dibanding suaranya yang menurutku biasa saja.

Beberapa orang penyayi bergoyang hot membangkitkan gelora birahi para pria yang memandangnya, termasuk aku. Pandanganku beralih kepada Rini. Sayang aku hanya bisa memandang ubun-ubunnya saja.

Aroma wangi menebar dari rambutnya yang bisa dibilang bagus, aroma yang eksotik. Kalau saja ada kesempatan, desahku.

“Den, kok diam saja? Belum pernah lihat orang goyang ya?”

“Bukannya gitu, cuman gila aja mandang tuh cewek. Berani bener joget kayak gitu,”

“Ah, segitu saja. Coba kemarikan tanganmu!”

Aku mengulurkan tangan kananku. Astaga, gadis itu memasukkan tanganku di balik bajunya sehingga tanganku benar-benar bisa merasakan kegemukan dadanya. Keringat dinginku tiba-tiba merembes, dadaku bergemuruh.

“Rin, apa-apaan kamu ini?” ujarku lirih tanpa menarik kembali tanganku.

“Kamu nggak suka ya?” tanya Rini kalem.

“Engh.. bukannya begitu.. anu..” jawabku tergagap.

“Aku tau kamu suka. Aku juga suka Den, jadi nggak ada masalah kan?” kata Rini menoleh kepadaku.

“I.. iya sih.”

Yah, begitulah. Akhirnya aku punya kesempatan. Tanganku membelai-belai dada Rini dengan bebasnya. Mempermainkan putingnya dengan gemas, kupelintir kesana kemari. Gadis itu bukannya kesakitan, tapi malah mendesah-desah kegirangan. Aku sendiri sudah nggak tahu berapa kali menelan ludah. Rasanya ingin memelintir puting itu dengan mulutku. Rupanya tangan kiriku mulai iri, lalu segera menyusul tangan kananku menerobos masuk di balik baju Rini. Meremas-remas kedua bukit yang tak terlihat itu.

“Den, Deni.. tangan-tanganmu benar-benar nakal. Hohh.. aduhh.. geli Den,” desah Rini menjambak rambutku yang cukup gondrong.

“Rin, aku suka sekali.. bagaimana kalau kita..”

“Uhgg.. heeh, iya.. aku mau.”

Aku segera menghentikan kegiatanku mengobok-obok isi baju Rini. Lalu kami segera menuju sebuah hotel yang tak jauh dari taman kota. Tiada kami peduli dengan beberapa pasang mata yang memandangi kami dengan sejuta pikiran. Masa bodoh, yang penting aku segera bisa mengencani Rini.

Segera aku bayar uang muka sewa kamar, lalu kami melenggang ke kamar 51. Rini yang sedari tadi memeluk tubuhku kini tergeletak di atas springbed. Matanya yang sayu bagai meminta, tangannya melambai-lambai. Aku langsung saja membuka kancing bajuku hingga bertelanjang dada.

“Den.. sudah lama aku inginkan kamu,”

“Oya? Kenapa tak bilang dari dulu?” ujarku sambil melepas kancing baju Rini.

Benarlah kini tampak, dua bukit kenyal menempel di dadanya. Tangan Rini membelai-belai perutku. Rasanya geli dan uh.. lagi-lagi aku merinding. Kutekan-tekan kedua putingnya, bibir gadis itu mengulum basah. Matanya yang semakin memejam membuat birahiku semakin terkumpul menyesakkan dada.

“Den.. ayo.. kamu tak ingin mengulumnya? Ayo masukkan ke mulutmu.”

“Heh.. iya, pasti!”

Aku segera mengangkangi Rini lalu berjongkok di atasnya, lalu menunduk mendekati dadanya. Kemudian segera memasukkan bukit kenyal itu ke dalam mulutku. Aku hisap putingnya perlahan, tapi semakin aku hisap rasanya aku pingin lebih sehingga semakin lama aku menghisapnya kuat-kuat. Seperti dalam haus yang sangat. Ingin rasanya aku mengeluarkan isi payudara Rini, aku tekan dan remas-remas bukit gemuk itu penuh nafsu. Rini merintih-rintih kesakitan.

“Den.. hati-hati dong, sakit tahu! Perlahan.. perlahan saja Ok? Heh.. Yah, gitu.. eeh hooh..”

Busyet, baru menghisap payudara kiri Rini saja spermaku sudah muncrat. Batang penisku terasa berdenyut-denyut sedikit panas. Rini bergelinjangan memegangi jeans yang aku pakai, seakan ingin aku segera melorotnya. Tapi aku belum puas mengemut payudara Rini.

Aku pingin menggilir payudara kanannya. Tapi ketika pandanganku mengarah pada bukit kanan Rini, wuih! Bengkak sebesar buah semangka. Putingnya nampak merah menegang, aku masih ingin memandanginya. Tapi Rini ingin bagian yang adil untuk kedua propertinya itu.

“Ayo Den, yang adil dong..” katanya sambil menyuguhkan payudara kanannya dengan kedua tangannya.

Aku memegangi payudara kanan Rini, mengelusnya perlahan membuat Rini tersenyum-senyum geli. Ia mendesah-desah ketika aku pelintir putingnya ke kanan dan ke kiri. Lalu segera mencomot putingnya yang tersipu dengan mulutku. Puting itu tersendal-sendal oleh lidahku.

“Deni.. dahsyat banget, uaohh.. enak.. ayo Den.. teruss..”

Rini menceracau tak karuan, tangannya menjambak-jambak rambut gondrongku. Kakinya bergelinjang-gelinjang kesana kemari. Binal juga gadis ini, pikirku. Aku berpindah menyamping, menghindari sepakan kaki Rini. Jangan sampai penisku terkena sepakan kakinya, bisa kalah aku nanti. Justru dengan menyamping itulah Rini semakin bebas.

Bebas membuka resleting jeans yang dipakainya. Tapi dasar binal! Gerakannya yang tak karuan membuat kami berguling jatuh di lantai kamar. Dan payudara kanannya lolos dari kulumanku.

“Gimana sih, Rin? Jangan banyak gerak dong!” ujarku sedikit kesal.

“Habis kamu ganas banget sih..” Hiburnya dengan tatapan menggoda.

Untuk mengobati kekesalan hatiku Rini segera membuka semua pakaiannya tanpa kecuali. Jelaslah sudah tubuh mungil Rini yang mempesona. Air liurku segera terbit, inginnya mengganyang tubuh mungil itu.

Tubuhnya yang meliuk-liuk semampai, dua payudaranya yang nampak ranum bengkak sebesar buah semangka, perutnya yang langsing bagai berstagen tiap hari, ahh.. Lalu, bagian kewanitaannya! Uhh, pempek itu cukup besar dengan bulu-bulu basah yang menghiasinya. Pahanya yang sekal membuatku ingin mengelusnya, dan betisnya yang mulus nan langsat.. ehmm.. Maka dengan tergesa-gesa aku melucuti pakaianku, tanpa terkecuali!

“Wah! Pistolmu besar Den!” kata Rini yang segera berjongkok dan meremas gemas batang penisku yang sudah sangat tegang.

“Auh.. jangan begitu, geli kan?” jawabku menepis tangannya.

“Jangan malu-malu, pistol sebesar ini, pasti ampuh.”

Rini terus saja membelai-belai batang penisku yang ukurannya bisa dibilang mantap. Semakin lama batang penisku semakin menegang, rasanya mau meledak saja. Tubuhku bagai tersiram air hangat yang kemudian mengalir di setiap sendi darahku.

“Engh, auh..” Aku berdehem-dehem asyik saat Rini asyik memainkan jemari tangannya pada batang penisku.

Telunjuk dan ibu jarinya membentuk lingkaran yang kemudian digerak-gerakkan keluar masuk batang penisku. Layaknya penisku bermain hula hop. Spermaku mencoba menyeruak keluar, tapi aku tahan dengan sekuat tenaga. Aku remas-remas rambut panjang Rini.

Tapi kemudian Rini yang semakin gemas segera memasukkan batang keperkasaanku itu ke dalam liang mulutnya. Lalu dia mengemutnya bagai mengemut es lilin.

“Ehg.. ehmm.. ”

Terdengar suara desisan Rini bagai sangat menikmati batang penisku, begitupun aku. Bagaimana tidak, bibir tebal Rini segera melumat kulit penisku, lalu lidah Rini menjilat-jilat ujungnya. Nafasku serasa putus, keringatku merembes dari segala arah. Sedang Rini bagai kesetanan, terus saja menciptakan sejuta keindahan yang siap diledakkan.

Crottt.. crottt.. tak ada yang bisa menahannya lagi. Spermaku keluar menyembur ke liang mulut Rini. Gadis itu nampak sedikit tersedak, beberapa sperma muncrat keluar mulutnya dan kemudian membasahi pangkal penisku.

“Ehmm.. ehmm.. keluarkan teruss.. ehmm,” ujar Rini dengan mulut yang penuh dengan cairan spermaku.

Srup, srup, ia meminumnya dengan semangat sambil tangannya menggelayut di pahaku. Ujung penisku dikenyot-kenyot membuat geloraku makin berdenyut-denyut.

Karena tak tahan maka tak ayal lagi aku segera menubruknya. Menindih tubuh mungilnya lalu melahap bibir nakalnya. Lidah kami bergelut di dalam, menggigit-gigit gemas dan penuh nafsu. Tak peduli Rini merintih-rintih. Entah karena aku terlalu rakus mengganyang bibirnya, atau berat menahan tindihanku. Yang pasti rintihan Rini terdengar sangat merdu di telingaku.

Maka setelah puas mencumbui bibirnya aku segera beralih kepada pempeknya. Benda keramat itu entah sudah berapa kali kebobolan, aku tak peduli. Kali ini ganti kau yang kukerjain, pikirku.

Langsung saja aku lebarkan paha Rini sehingga jelas pempek berumput yang sangat basah itu. Jemariku memainkan daging gemuk itu menyusuri perbukitan yang berlorong. Lalu memelintir klitorisnya ke kanan dan ke kiri. Surr.. menyembur lagi cairan kewanitaan Rini. Bening menetes diantara jemariku.

“Den.. tunggu apa.. ayo dong..”

“Aku datang sayang.”

Wajahku segera mendekat ke pempek Rini. Lalu tanganku sedikit membuka si pempek sehingga aku bisa menikmati goa kenikmatan itu dengan mataku walau hanya sebentar.

Srup, srup, aku jilati pempek basah itu. Lidahku sengaja mencari-cari lubang yang mungkin bisa kutembus. Lidahku semakin ke dalam. Mempermainkan klitorisnya yang kenyal. Tanganku pun menyempurnakan segalanya. Bermain-main di payudara Rini yang semakin tegang, mengeras. Sayup-sayup terdengar suara erangan Rini. Aku harap gadis itu juga menikmatinya.

“Ayouhh Den, masukk, aku tak tahan lagi..”

Suara gadis itu terdengar lemah, mungkin sudah keletihan. Aku pun sudah cukup puas beranal ria. So, tunggu apa lagi?? Aku meminta Rini untuk menungging. Gadis itu menurut dengan wajah letih namun penuh semangat. Kemudian aku segera memasukkan penisku ke lubang kawinnya. Mudah. Sekali hentakan sudah masuk. Lalu kucabut dan kumasukkan berkali-kali. Lalu kubiarkan terbenam di dalam beberapa menit.

“Eghh..” Rini menahan rasa nikmat yang kemudian tercipta.

Tubuhnya sedikit mengejang tapi kemudian bergoyang-goyang mengikuti gerakan penisku. Aku segera mengocok penisku dengan kekuatan penuh. Dan kemudian.. kembali spermaku muncrat keluar memenuhi lubang kawin Rini.

Beberapa saat kami saling menikmati kenikmatan itu. darahku seakan berhenti mengalir seperti ada hawa panas yang menggantikan aliran darahku. Seluruh persendian terasa tegang, tapi kemudian seperti ada rasa kepuasan yang tak bisa terucapkan.

Hingga kemudian aku mencabut kembali batang penisku dari pempek Rini. Gadis itu kembali terlentang di lantai kamar hotel. Sedang aku segera menghempaskan tubuhku di atas kasur. Dinginnya lantai kamar yang menyentuh jemari kakiku tak bisa mengalahkan panasnya suasana kamar itu. Bau keringat kami berbaur.

Namun tiba-tiba batang penisku yang sudah mulai mengendur tersentuh kulit halus wanita. Ketika aku mendongakkan wajah ternyata Rini yang telah duduk di depan kakiku sambil mengelus-elus batang penisku.

“Den, kamu hebat banget. Aku benar-benar puas.”

“Ehng.. kamu juga. Sekarang kamu mau minta apa??”

Gadis itu masih diam sambil terus mempermainkan batang penisku. Gawat, bisa-bisa bangun lagi batang penisku. Bisa perang lagi nih, dobel dong tarifnya.

“Kamu minta apa? HP? Duit?”

“Aku minta.. minta lagi deh,” kata Rini yang kemudian kembali mengenyot batang penisku.

“Waduh, bisa-bisa lembur nih!” pikirku.(.)(.)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd