Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Nakalnya Senyum Istriku (WARNING : CUCKOLD CONTENT)

Sudah baca?

  • Dibalik teduhnya senyum ibuku

    Votes: 51 75,0%
  • Terjebak hasrat (Lisa dan Labirin)

    Votes: 32 47,1%

  • Total voters
    68
  • Poll closed .
Bimabet
12 | SERIBU MUKA ELSA

Mataku mengedip beberapa kali dan mencoba memahami apa yang sedang terjadi didepan mataku kali ini, rasa-rasanya kedua orang didepanku sadar sedang berada di depan rumah yang memungkinkan untuk orang lain lewat dan melihat kelakuan mereka.

Penis tukang sayur itu sudah berdiri dan membelah resleting celana jeans yang sudah kusam – kakinya melebar hingga aku bia dengan jelas melihat ukuran dari batang yang sudah panas itu. Tangan putih istriku muncul dari balik tembok dan dengan gerakan pelan seperti ragu-ragu.

Hingga mataku bekerja lebih cepat dengan jantung yang berdetak hebat – tangan itu dengan pelan ku lihat bergerak kedepan hingga menyentuh penis tukang sayur itu. Dan benar saja mata tukang sayur itu memejam dengan tangan yang menyentuh tembok sehingga tubuh jangkung nya membungkuk dengan bibir yang mendesis.

Kepalaku rasanya ingin meledak saat ini karena tangan istriku mulai bergerak mengurut penis tukang sayur yang aku baru lihat saat ini. Jari-jari lentiknya mengusap tanpa menekan penis dan hanya mengusap dengan tenpo pelan. Pria yang baru saja membawa sayur ‘gratis’ untuk istriku semakin bergerak gelisah dan mencoba untuk memegan tubuh istriku yang terhalang tembok itu.

“gini aja” ucap istriku saat tangan tukang sayur itu masuk melewati tembok. Aku tersenyum dan mendecih saat melihat tukang sayur itu meminta lebih. Tangan yang berpeluh keringat dengan urat yang menonjol diberbagai sisi itu kembali ditaruh pada tembok dan kembali mendesah saat tangan istriku suah mulai menyamankan posisi.

Terlihat posisi istriku yang awalanya menyentuh dari arah atas kini berubah seperti menengadah dengan arah dari bawah. Aku prediksi jika istriku kini sudah meletakkan lututnya diatas lantai dan mulai mengocok kembali penis pria barunya.

“besok bawa udang ya” ucap istriku yang masih menggerakkan tangannya.

“aduhhhh mahal atuh neng kalo udang” balas tukang sayur itu.

“yakin mahal?” balas istriku sembari menghentikan kocokannya.

“atuhh neng jangan berhenti. Yaudah-yaudah besok emang bawain udang dua kilo” balsa tukang sayur dengan nada sedikit frustasi.

Tanpa lama istriku tertawa dan kembali menggerakkan tangannya dengan tempo pelan dan berangsung cepat seiring terangnya pagi ini.

“mauuu keluar neng aduhhhh shhhhh”

“masaa sih mang hmmmm”

“aduhhhh jangan digituin nengg”

Aku tak habis pikir dengan kelakuan keduanya - belum lagi gerobak sayur yang aku duga berada tepat didepan pagar rumah ku yang bisa dengan cepat memancing orang lain untuk mendekat atau sebesar apa nafsu keduanya hingga tak mempedulikan itu semua.

Mulut ku terasa kering meski beberapa waktu lalu sudah menghabiskan satu gelas air putih - kesadaran ku rasanya akan tertarik kembali jika memaksakan apa yang kulihat saat ini. Aku memilih untuk mundur dan kembali kekamar tidurku saat mata ini mulai mengabur dan tak mungkin untuk pingsan kembali di garasi dan diketahui oleh istriku.

Tak perlu waktu lama aku sudah duduk ditepi ranjang dengan tangan menekan kencang dahi yang menegang - mulutku seperti terhipnotis dan bergerak sendiri untuk memanggil wanita sialan yang sedang bermain dengan pria baru diluar rumah.

"Mahh!" Teriak ku memanggil Elsa yang mungkin sedang menservis tukang sayur jelek itu.

Tak berapa lama istriku datang dengan memunculkan wajahnya namun kali ini disertai raut wajah yang terkejut dan mata yang bergerak gelisah. Melihat gerak-gerik anehnya aku hanya bisa menggelengkan kepala pelan dan menunduk menahan rasa sakit yang lagi dan lagi menyerang kepala ku.

"Yah sakit lagi kepala nya?" Istriku membuka seluruh pintu dan aku masih bisa dengan jelas melihat tukang sayur itu mengintip dari balik pintu ruang tamu yang bisa terlihat dengan jelas dari dalam kamar ini.

"Coba panggil dokter" titah ku yang memilih untuk membalikkan badan menahan rasa amarah juga sakit yang datang bersamaan - seperti bom atom yang akan meledak dan mungkin beberapa detik lagi ini akan terjadi.

Benar saja beberapa detik kemudian aku hanya bisa merasakan dengung bising dikedua telinga dan disusul oleh gelap yang menjadi magnet untuk menutup kedua mata - lagi, aku pingsan.



---



Tak perlu waktu lama aku sudah duduk ditepi ranjang dengan tangan menekan kencang dahi yang menegang - mulutku seperti terhipnotis dan bergerak sendiri untuk memanggil wanita sialan yang sedang bermain dengan pria baru diluar rumah.

"Mahh!" Teriak ku memanggil Elsa yang mungkin sedang menservis tukang sayur jelek itu.

Tak berapa lama istriku datang dengan memunculkan wajahnya namun kali ini disertai raut wajah yang terkejut dan mata yang bergerak gelisah. Melihat gerak-gerik anehnya aku hanya bisa menggelengkan kepala pelan dan menunduk menahan rasa sakit yang lagi dan lagi menyerang kepala ku.

"Yah sakit lagi kepala nya?" Istriku membuka seluruh pintu dan aku masih bisa dengan jelas melihat tukang sayur itu mengintip dari balik pintu ruang tamu yang bisa terlihat dengan jelas dari dalam kamar ini.

"Coba panggil dokter" titah ku yang memilih untuk membalikkan badan menahan rasa amarah juga sakit yang datang bersamaan - seperti bom atom yang akan meledak dan mungkin beberapa detik lagi ini akan terjadi.

Benar saja beberapa detik kemudian aku hanya bisa merasakan dengung bising dikedua telinga dan disusul oleh gelap yang menjadi magnet untuk menutup kedua mata - lagi, aku pingsan.

Aku merasa lelah dengan semua hal yang terjadi berulang kali tanpa bisa menahan rasa sakit ini, semua seperti berkonspirasi untuk menikam setiap urat nadiku. Istriku, anakku bahkan diriku tak mampu menjadi rumah yang nyaman atau sekedar tempat berteduh - terasa singkat dan terlalu cepat.

Ingin rasanya menjadi angin yang berterbangan kearah manapun tanpa peduli rasa bimbang akan masa lalu yang mencekam atau sekedar menjadi air yang berarak menuju laut dan menguap untuk hujan yang membasahi bumi.

Namun sayang semua itu hanya angan yang terhalang jarak yang kubuat sendiri - kurangkai dan kujalin perlahan sejak kecil hingga bermetamorfosis menjadi benang kusut yang aku tak tahu dimana ujung nya.

Aku tak lebih dari lahan gambut yang susah untuk dipadamkan dan direda bila hanya dengan segelas air yang istriku tawarkan, sulit rasanya untuk sekedar mengambil napas dan melanjutkan hidup jika semua tak bisa dikendalikan, kuatur dan kehancuran kapanpun.

Biar semua menjadi abu yang bisa tertiup sang maha dan biar aku menjadi kayu yang terbakar kering untuk melihatnya kuat dari sana.

Nafas ku akan berhenti pada detik selanjutnya dan sebelum itu terjadi adakah sedikit ruang yang kau beri pada pria sakit ini?



----



"Pak... Bisa bangun?"

Aku terperanjat dengan mata yang masih mencoba menyesuaikan dengan cahaya dikamar ku. Aku kembali untuk mengambil nafas sejenak dan berpikir jika ini adalah kesempatan yang Dia berikan padaku untuk bertindak menjadi pribadi yang kuat. Bukan maha tapi hanya bisa dan cukup untuk mengambil tindakan yang akan kulakukan pada detik berikutnya.

"Pak Purnomo?" Tanya ku setelah cukup lama mengedipkan mata dan tak percaya disamping ku kini sudah duduk pria tua dengan rambut putihnya sedang tersenyum tulus. Tak lupa tompel besar dipipi kanannya yang menjadi perhatian lebih semua orang.

Tingginya tak sampai pundak ku bahkan baju nya tampak kebesaran meski aku tahu betul jika jas itu adalah ukuran terkecil.

"Coba lihat jari saya" ucap dokter itu.

Aku hanya bisa membuang nafas kasar dan memeluk pria itu, belasan tahun lalu dimana ibuku terbunuh dan pria inilah yang menyelamatkan diriku dengan perkataan yang aku tahu betul jauh dari kalimat tuhan.

Dia hanya berucap bahwa aku bisa bangkit dan menjadi pribadi yang bertolak belakang dengan ayahku, tak harus beda cukup sedikit beda itu baik. Tak lupa tawa renyahnya sembari mengusap pelan rambutku seperti semasa kecil.

"Kok sakit lagi ?" Tanya dokter itu dengan getar yang merambat hingga kepala ku. Aku hanya tersenyum kecil dan menggeleng pelan dan tertawa seakan tak percaya jika manusia didepan ku masih hidup bahkan terlalu sehat diumurnya yang terbilang sudah cukup uzur.

"Gatau pak, tiba-tiba aja" alibi ku yang tak mungkin jika sakit kepala yang kambuh ini terjadi karena tingkat istriku.

Dokter itu melepaskan pelukan ku dan menaruh ujung stetoskop dibeberapa bagian dada yang langsung aku rasakan dingin – tangan yang sudah keriput itu melepaskan bagian pada telinganya dan melirik pada istriku dengna mengangguk kecil.

Tak ada obrolan setelah itu dan hanya ada suara pintu yang tertutup – jendela yang menari dengan sang gordyn dan aku yang tertidur dengna mata yang berusah untuk tetap terbuka. Semilir angin masuk menggiltiki ujung kaki ku yang tak terututp selimut sedang lenganku yang bergerak pelan mengusap sprei yang kali ini terasa lebih dingin dari biasanya.

Cukup lama aku menunggu istriku yang keluar bersama dokter Purnomo dan selama itu pula aku hanya diam dengan pikiran kosong sembari melihat jam dinding yang bergerak serta kalender yang bergerak tertiup angin.

“Yah, makan dulu” tiba-tiba saja istriku sudah berada ditempat semula dengan tangna yang memegang nampan kayu dengan semangkuk bubur yang masih mengepulkan asapnya. Aku memeposisikin diri agar lebih nyaman untuk makan dan benar saja istriku menaruh nampan itu tepat diatas bantal yang sebelumnya ia tarik dari sisiku dan kembali beridiri.

“ada tamu?” tanya ku kembali pada Elsa yang berdiri dan berbalik arah menuju pintu.

“katanya dokter Purnomo bareng sama istrinya. Kayaknya udah diruang tamu, kamu bisa makan sendiri yah?”

Aku mangangguk dengsn senyum tipis yang sebenarnya taka akan terlihat istriku – namun, batin sepasang suami istri tak pernah bohong hingga tak butuh waktu lama istriku kembali keluar kamar dan meninggalkan diriku sendirian.

Tanganku mengelus pelan sisi mangkuk bubur yang minim dari tambahan bumbu – rasanya hangat dan dapat menggugah selera makanku saat ini tanpa tahu jika panasanya bubur bisa memebuat lidahku kebas. Benar saja aku mengaduh saat sendok yang ku gunakan untuk mengambil bubur seperti siap melelehkan lidahku yang baru saja dimasuki oleh makan sejak kemarin.

Air yang berada disisiku menjadi obat pereda meski rasa kebas tak kunjung hilang dan rasa yang sebelumnya menggelembung diatas kepalaku kini hanya berbuah rasa kebas. Dan hanya ada rasa hangat yang menyapa lidah tanpa rasa lain – aku segera menghabiskan bubur ini dan mengambil dua obat pada toples obat berbeda dan memasukkannya secara pada mulutku.

Aku melirik pada pintu kayu yang tak kunjung terbuka dan rasa kini rasa pensaran ku sudah terlanjur kembali untuk tahu seperti apa wujud istri dokter yang ku angap sebagai orang tua ku sendiri – ada rasa sekedar ingin menyapa dan berterima kasih karena telah datang ke rumahku ini.

Telapak kaki ku sudah menyentuh lantai parket yang anehnya membuat aku tersenyum kecil – mataku bergerak menyusuri jempol kaki hingga kelingking sembari menggerakannya. Bukan rasa penasaran biasa tapi lebih besar dari rasa ingin tahu ku pada Elsa.

Aku mereggangkan otot dan berjalan untuk membuka pintu dengan pegangan berwarna silver itu – saat mataku sudah bisa melihat dengan jelas ruanga tamu saat itu pula ada tiga manusi yang secara bersamaan melirik ku.

“Mas Feri!!” jerit Wanita dengan rambut sebahu yang berdiri dan membuat dokter Purnomo juga istriku mengerutkan dahi dan bergantian melirik diriku juga Wanita itu.

Aku hanya bisa bertanya siapa Wanita itu dan apakah sebelumnya pernah melihat atau kenal tapi sekeras apapun aku berpikir maka semakin aku tak tahu siapa sosok Wanita itu. Saat tangannya mengacung dan melambai saat itu pula payudara besar nya bergetar dan mata yang menyipit.

Sosok Wanita itu memeliki tinggi sepantar dengan Dokter Purnomo – memakai kacamata berwarna merah maroon dengan rambut sebahu. Cukup nyentrik dengan rambut berwarna cokelat dan mata yang akan menyipit saat bibir nya bergerak – aku seperti melihat Wanita keturunan negeri Sakura terlebih kulitnya yang puith mulus.

Aku tersenyum dan berjalan mendekat dengan tangan meremas pakaian tidur yang aku baru sadar sudah diganti oleh istriku – ketiga orang yang sedang duduk diatas sofa mentapku lekat dengan senyum yang tergambar.

Canggung, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambar kan suasana kali ini - didepanku sudah duduk dokter Purnomo dan istrinya yang aku kira adalah anaknya karena terlihat perbedaan usia yang cukup jauh.

Lama aku berpikir saat melihat wanita dengan senyum yang terus tersungging itu tak henti-hentinya menatap ku. Jujur aku tipe pria pemalu yang tak mungkin bertanya terlebih dahulu meski pekerjaan sebagai arsitek membutuhkan skill itu.

Berulang kali aku mencoba untuk menelaah tapi saat itu juga aku tak bisa mengingat dan berakhir dengan senyuman canggung ku yang tersungging.

“kenalin mas Feri ini istri saya, Winda” ucap dokter Purnomo seteleh menyeruput kopi yang disajikan diatas meja. Istriku menyenggol pelan kaki ku agar membalas perkenalan yang didahului oleh dokter tua dengan rambut putih itu.

“Saya Feri” ucap ku yang mengulurkan tangan tapat didepan Wanita yang masih tersenyum dengan kaki yang bergerak gelisah.

“HAHAHA… Santai aja kali” dokter Puronomo tertawa cukup kencang hingga membuat genggaman tangan ku terlepas dan mendelik bingung.

“maaf mas” ucap Winda dengan pipi yang memerah.

“santai mba, udah lama bareng dokter?” tanya ku mencoba ingin tahu dan memundurkan posisi duduk.

Winda berbisik pada dokter sekaligus suaminya itu – terlihat dari gerakannya seperti meminta izin untuk berpindah posisi duduk dan benar saja tak lama Wanita itu sudah berada didepanku.

“ini benerkan Mas Feri?” tanya Winda yang membuat semua orang diruangan ini tertawa bahkan istriku hingga terbatuk saat meminum teh nya.

“yaiyalah masa Feri Rotinsulu – kamu ini ada-ada aja deh” ucap dokter Purnomo yang berusaha memeberhentikan tawanya.

Aku ikut tersenyum dan mencoba untuk lebih santai dengan menaiakan satu kaki pada atas lutut.

“memang ada ap amba?” tanya ku karena Winda hanya tertunduk.

“aku ngefans sama kamu”

Hening.

“HAHAHAHAHA” Ruangan kecil ini menjadi hangat dan mencair sesaat ucapan Winda keluar dari mulut lucunya dan diluar dari ekspektasi semua orang.

Butuh waktu lama hingga semua kembali diam dan menormalakan senyum yang rasa-rasanya susah untuk diturunkan, mungkin akan tetap tersungging jika wajah murung Winda yang terlihat dan bulatan mata marah dari istriku.

Dokter Purnomo mengelus pelan bahhu istri mudanya sembari mengucapkan beberapa kata yang tak bisa aku dengar dengna jelas – tetapi tatapan pria tua itu menyiratkan rasa sayang yang begitu besar. Tak seperti diriku yang mungkin sudah hilang tertelan rasa cemburu juga amarah yang tak bisa aku keluarkan dengan mudah.

“jadi gini Fer, istri saya bekerja sebagai desainer interior dan udah lama suka sama hasil karya kamu. Bahkan kemarin dia datang langsung ke Singapura Cuma untuk liat mall buatan kamu”

Aku tertegun dan tak percaya pada apa yang dikatakan Dokter itu – terlebih penampilan Winda yang lebih mirip seperti anak kuliah dengan mata lucunya itu mungkin semua orang tak akan percaya. Termasuk diriku yang tak memungkiri sedikit terkejut dan memilih mengambil gelas pada meja yang aku tahu milik istriku.

“Jadi?” tanyaku saat suasana hening beberapa detik.

“Istri saya ingin kenalan – kalua boleh bisa ikut satu project sama mas Feri” lanjut Dokter Purnomo yang membuat istirku bergerak gelisah. Aku tersenyum membayangkan reaksi istriku yang mungkin cemburu – ingin aku berteriak jika apa yang dilakukan istriku selama ini lebih parah.

Mataku memutar kearah istriku dan kembali menatap Winda yang kali ini sudah tak menunduk – kaki putihnya menyilang dengan kain yang tersingkap sedikit membuat pikiranku buntu karena saat ini belum ada pekerjaan interior yang mana menjadi keahlian istri dari dokter itu. Tapi disatu sisi aku ingin melihat respon istriku yang mulai cemburu dan rasa penasaran apa yang akan dilakukannya jika aku memilih untuk meneriam Winda.

Aku mengtukkan jari diatas lutut dan menggumam agara tak jadi kesan mengada – ada. Dalam satu tariakan nafas bibirku bergerak sesuai huruf vokal yang membuat mata istriku meltotot dan Winda yang bergerak kegirangan sembari memeluk dokter Purnomo.

“boleh kebetulan saya lagi butuh desainer interior”

BERSAMBUNG...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd