Prolog
Aku menyembunyikan diriku, sesekali, di keheningan yang mampu melemparkanku dari kepura-puraan kehidupan.
Bagaimana tidak? Aku harus berpura-pura bekerja keras hanya demi mendapatkan uang. Iya, uang. Sedang kutahu uang hanya mampu membeli kesenangan. Tanpa pernah bisa digunakan untuk membayar kebahagiaan.
Aku berpura-pura pintar agar orang-orang tertunduk mengikutiku tanpa pernah kuperintahkan. Aku berpura-pura baik agar orang-orang tertipu. Dan, dari sekian banyak orang yang berhasil kutipu, ada satu orang yang paling banyak mengalami kerugian. Orang itu adalah aku. Iya, aku.
Bagaimana mungkin seorang penipu justru yang mereguk kerugian sangat besar? Jelas sekali. Karena dia harus bersusah payah menyembunyikan dirinya agar jati dirinya tidak terbongkar.
Untuk itu, seorang penipu tidak cukup melakukan satu dua kali tipuan. Berkali-kali hingga dia benar-benar kehilangan dirinya, lupa secara permanen terhadap jatidirinya saking seringnya bersembunyi.
Dalam persembunyian ini, aku akan jujur, setidaknya kepada diriku sendiri bahwa tidak ada yang patut dipercayai, bahkan kepada diri sendiri, karena terlalu banyak kebohongan dan kepura-puraan di kehidupan ini.
Dalam persembunyian ini, kutulis cerita ini untuk kalian semua; pemilik ambisi yang semakin membesar, tak pernah tertuntaskan; kepada kalian penggenggam idealisme yang sering kali bersebalikkan dengan kenyataan; untuk kalian para pendendam yang sering gagal dan diinjak-injak oleh kehidupan.
Di sinilah, kemarilah, dan ikut bersembunyilah; akan kutunjukkan putihnya kehidupan yang terlihat itu sebetulnya adalah kegelapan.
Di balik kegelapan ini kuceritakan tentang sesuatu yang terang tanpa sinar dan sesuatu yang gelap meski bercahaya.
Bagian 1: Namaku Cahaya
Panggil saja aku Cahaya. Tak perlu kusebutkan nama lengkap maupun nama asliku. Toh, siapapun bakal tahu namaku saat disebutkan dalam bahasa Arab. Kalian bisa menebaknya?
Mungkin orang tuaku berharap banyak kepada diriku sebagaimana yang terukir dalam namaku. Cahaya atau sinar. Yang mampu memberi petunjuk dalam kegelapan, menunjukkan jalan, dan menjadi penerang. Meski saat ini aku sadari bahwa aku adalah kegelapan yang berharap banyak mendapat cahaya kehidupan.
Ah, betapapun indah arti namaku, semua itu tak mampu mengubah kenyataan hidup ku saat ini. Biarlah doa yang disematkan oleh orang tua dalam namaku ini mewaris menjadi doaku pula yang senantiasa berharap mendapat cahaya-Nya.
Aku adalah seorang gadis, bukan perawan. Umurku 22 tahun. Soal fisik dan penampilan tak perlu dijelaskan. Yang jelas diriku sering membuat perempuan-perempuan lain iri hati saat melihat penampilan ku.
Sering kali aku merasa bangga dengan pandangan laki-laki yang terlihat nyata mengagumi kecantikan dan keindahan jasmani yang kumiliki, meski sesekali aku merasa risih dan takut dengan tatapan mereka yang seolah menelanjangi tubuhku dan hendak menerkam dan memangsanya.
Apapun itu aku merasa bersyukur karena dianugerahi keindahan fisik yang menurut kata orang-orang sangat memesona. Dengan begitu aku bisa berbisnis dengan ini.
Terus terang saat ini aku menyamar sebagai seorang mahasiswi di sebuah kampus negeri di kota yang memiliki ikon The Little Netherlands.
Dalam penyamaranku ini telah berhasil mengelabuhi siapapun bahwa aku adalah seorang pramunikmat atawa pelayan kenikmatan.
Iya, tepat sekali. Bisa dikata aku adalah seorang yang menjual jasa kehangatan dan kenikmatan. Sebelas dua belas dengan dokter yang menjual jasa pelayanan kesehatan atau seorang guru yang menjual jasa pengajaran.
Mungkin, istilah pembanding tersebut terlalu berlebihan. Sangat timpang dan tidak etis sama sekali. Baiklah kalian boleh menyebutku sebagai penjaja seks komersial, pebisnis lendir dan selangkangan, atau pelacur sekalipun. Oh, ya, orang-orang di sekitarku sering menyebutnya sebagai lonte.
Apapun itu aku tidak peduli. Toh, tidak ada satu pun yang peduli padaku saat aku tak bisa makan, tak bisa membeli pakaian dan tidak mendapat tempat tinggal serta kehidupan dunia yang layak. Tak ada seorang pun yang berbaik hati untuk menolong atau setidaknya peduli terhadap kesusahan orang lain.
Dongeng tentang keberadaan orang baik di kehidupan ini hanya omong kosong belaka. Mana ada orang baik di zaman kapitalistik seperti sekarang ini dengan merebaknya sikap individualistik yang diagung-agungkan itu?
Apalagi saat orang-orang tahu bahwa diriku adalah seorang pelacur, masih adakah yang peduli kepadaku dan mengulurkan tangannya untuk membantuku? Aku 100 persen yakin bahwa yang ada adalah orang-orang yang sok suci. Dan, dengan kesuciannya itu mereka mengolok-olok, mengejek, mencibir, sekaligus merendahkan orang macam diriku ini dan menyematkan stigma negatif sebagai sampah masyarakat.
Hmmm, tak apalah menjadi sampah di masyarakat yang suka nyampah.
Begitulah ketidak-pedulian telah menjangkiti manusia-manusia pasca-moderen. Bagaimana caraku agar tetap bisa bertahan? Aku ikut-ikutan tidak peduli kepada apapun dan siapapun, meski dalam segi tertentu aku masih memiliki sedikit rasa peduli. Mengapa bisa begitu? Aku tak tahu. Aku hanya merasa bahwa kepedulian adalah bagian dari sikap manusiawi.
Entahlah, ilmu yang kudapat di kampus sesekali membuat ku berpikir filosofis seperti itu, meski hanya di permukaan alias tidak mendalam. Namun, secara praktis, ilmu yang diajarkan di kampus lebih banyak tak ada gunanya. Mungkin, karena aku tak pernah merasa mementingkannya. Bukankah kalian sudah kuberi tahu bahwa kuliahku hanya kamuflase belaka, kedok semata.
Kedokku berikutnya adalah hijab. Iya, selembar kain yang menutup bagian kepala dan menyisakan wajah yang masih terbuka itu. Aku berpakaian tertutup dan berhijab seperti ini karena masyarakat di sekitarku sedang sangat gandrung dalam beragama. Mereka mengukur tingkat kesalehan seseorang dari apa yang dikenakannya. Saat menjumpai orang yang tak berpakaian seperti mereka, langsung, deh, mendapat cap buruk.
Untuk itu, kalian kuberi tahu satu hal. Jangan pernah percaya dengan penampilan seseorang. Bisa jadi apa yang ditampilkan secara lahiriah berbeda sekali dengan batiniahnya. Cermat dan telitilah. Bungkus tidak serta merta mencerminkan isi. Seperti aku ini. Tubuhku dibalut oleh pakaian yang agamis tapi hal itu tidak mencerminkannya sedikit pun. Aku justru terjerembab dalam lubang gelap prostitusi.
Oh, ya, aku tinggal di sebuah kos eksklusif yang berjarak belasan kilometer dari kampus. Sedangkan kota kelahiranku, tempat bapak, ibu, dan saudaraku tinggal, berjarak hampir seratus kilometer di sebelah timur laut. Tidak ada sanak famili di kota ini.
Dengan begitu aku bisa merayakan kebebasanku. Kalian tahu kan apa yang aku maksudkan dengan kebebasan? Yaitu saat aturan, perintah, batasan dan kekangan yang diberikan oleh orang tua selama ini bisa dengan mudah dikecualikan. Tak perlu memusingkan lagi perkataan orang tua dengan kecerewetannya itu yang apa-apa harus ini, tidak boleh itu, harus begini dan dilarang begitu. Itulah yang namanya kebebasan.
Tempat kos yang aku tinggali saat ini sangat bersih, nyaman, dan dihuni oleh orang-orang yang tak peduli satu sama lain. Tentu ini menjadi keuntungan berarti bagi diriku.
Untuk menjangkau kampus, aku sengaja menggunakan sepeda motor matic hitam dengan striping berwarna merah. Bukan apa-apa. Aku bisa saja menggunakan city car, namun hal itu akan membuatku mencolok.
Aku tak mau menjadi pusat perhatian karena hanya akan membuat orang-orang gampang menaruh curiga dan sangka sekaligus memancing keingin-tahuan yang menggebu. Tentu aku tak mau penyamaranku mudah terbongkar.
Biarlah aku tetap terlihat seperti mahasiswi biasa dengan pesona dan daya pikat yang luar biasa. Hehehehe. Sering kali sifat narsisku muncul. Maafkan, ya...
Padahal aku sering terlihat sebagai mahasiswi unyu-unyu dengan keluguan dan kepolosannya. Sama seperti mahasiswi lainnya.
Aku tak memiliki sahabat. Hanya ada seorang teman yang sering kuajak bersenang-senang sewajarnya ala mahasiswi biasa. Dia bernama Dina. Makan, jalan-jalan, dan nonton bioskop adalah aktivitas yang sering kami lakukan berdua.
Meski kami terlihat runtang-runtung berdua kemana-mana, aku tidak bisa menyebut Dina sebagai seorang sahabat. Meski aku banyak tahu tentang dirinya, tapi dirinya tidak banyak tahu tentang diriku. Aku tak banyak cerita kepada Dina tentangku. Bahkan sekalipun aku tidak pernah mengajak Dina ke kosku, meski aku sering berkunjung ke kosnya.
Aku tidak begitu percaya kepada orang lain. Maka, aku pun tak menjalin hubungan sosial dengan siapapun secara baik. Khusus kepada Dina adalah sedikit pengecualian. Dia sering membantu ku dalam menyelesaikan tugas-tugas kuliah. Atas dasar itu, aku menjalin pertemanan dengan Dina. Iya, semacam simbiosis mutualisme antara kerbau dan burung jalak.
Hmmm, tapi akhir-akhir ini aku merasa pertemananku dengan Dina semacam simbiosis komensalisme. Aku mendapat keuntungan dari Dina dan Dina tak apa-apa, juga tidak mengharap keuntungan apapun dariku.
Ya, bagitulah sedikit cerita tentangku. Aku akan berusaha bercerita kepada kalian. Bukan untuk mengharap kepedulian dari kalian, apalagi belas kasihan. Aku hanya bercerita agar aku lega. Bisa berkata apa adanya. Karena aku terlampau sering berdusta.
Dan, supaya aku bisa mengartikan makna kejujuran, khususnya jujur kepada diri sendiri. Agar aku bisa memaknai hidupku ini dan kembali dapat merasakan kebahagiaan sejati yang bukan sekedar kesenangan.
Mungkin kalian bertanya mengapa aku bisa menjalani kehidupan hina ini? Ceritanya panjang, tapi aku akan menjawab pendek. Aku menikmatinya.
Itulah kejujuran pertamaku untuk kalian. Semoga kalian menjadi tahu bahwa dunia yang bercahaya gemerlap itu, juga diisi oleh kegelapan.
Namaku Cahaya dan kalian bisa menggunakan layananku kapan saja. Asal ...
Aku menyembunyikan diriku, sesekali, di keheningan yang mampu melemparkanku dari kepura-puraan kehidupan.
Bagaimana tidak? Aku harus berpura-pura bekerja keras hanya demi mendapatkan uang. Iya, uang. Sedang kutahu uang hanya mampu membeli kesenangan. Tanpa pernah bisa digunakan untuk membayar kebahagiaan.
Aku berpura-pura pintar agar orang-orang tertunduk mengikutiku tanpa pernah kuperintahkan. Aku berpura-pura baik agar orang-orang tertipu. Dan, dari sekian banyak orang yang berhasil kutipu, ada satu orang yang paling banyak mengalami kerugian. Orang itu adalah aku. Iya, aku.
Bagaimana mungkin seorang penipu justru yang mereguk kerugian sangat besar? Jelas sekali. Karena dia harus bersusah payah menyembunyikan dirinya agar jati dirinya tidak terbongkar.
Untuk itu, seorang penipu tidak cukup melakukan satu dua kali tipuan. Berkali-kali hingga dia benar-benar kehilangan dirinya, lupa secara permanen terhadap jatidirinya saking seringnya bersembunyi.
Dalam persembunyian ini, aku akan jujur, setidaknya kepada diriku sendiri bahwa tidak ada yang patut dipercayai, bahkan kepada diri sendiri, karena terlalu banyak kebohongan dan kepura-puraan di kehidupan ini.
Dalam persembunyian ini, kutulis cerita ini untuk kalian semua; pemilik ambisi yang semakin membesar, tak pernah tertuntaskan; kepada kalian penggenggam idealisme yang sering kali bersebalikkan dengan kenyataan; untuk kalian para pendendam yang sering gagal dan diinjak-injak oleh kehidupan.
Di sinilah, kemarilah, dan ikut bersembunyilah; akan kutunjukkan putihnya kehidupan yang terlihat itu sebetulnya adalah kegelapan.
Di balik kegelapan ini kuceritakan tentang sesuatu yang terang tanpa sinar dan sesuatu yang gelap meski bercahaya.
Bagian 1: Namaku Cahaya
Panggil saja aku Cahaya. Tak perlu kusebutkan nama lengkap maupun nama asliku. Toh, siapapun bakal tahu namaku saat disebutkan dalam bahasa Arab. Kalian bisa menebaknya?
Mungkin orang tuaku berharap banyak kepada diriku sebagaimana yang terukir dalam namaku. Cahaya atau sinar. Yang mampu memberi petunjuk dalam kegelapan, menunjukkan jalan, dan menjadi penerang. Meski saat ini aku sadari bahwa aku adalah kegelapan yang berharap banyak mendapat cahaya kehidupan.
Ah, betapapun indah arti namaku, semua itu tak mampu mengubah kenyataan hidup ku saat ini. Biarlah doa yang disematkan oleh orang tua dalam namaku ini mewaris menjadi doaku pula yang senantiasa berharap mendapat cahaya-Nya.
Aku adalah seorang gadis, bukan perawan. Umurku 22 tahun. Soal fisik dan penampilan tak perlu dijelaskan. Yang jelas diriku sering membuat perempuan-perempuan lain iri hati saat melihat penampilan ku.
Sering kali aku merasa bangga dengan pandangan laki-laki yang terlihat nyata mengagumi kecantikan dan keindahan jasmani yang kumiliki, meski sesekali aku merasa risih dan takut dengan tatapan mereka yang seolah menelanjangi tubuhku dan hendak menerkam dan memangsanya.
Apapun itu aku merasa bersyukur karena dianugerahi keindahan fisik yang menurut kata orang-orang sangat memesona. Dengan begitu aku bisa berbisnis dengan ini.
Terus terang saat ini aku menyamar sebagai seorang mahasiswi di sebuah kampus negeri di kota yang memiliki ikon The Little Netherlands.
Dalam penyamaranku ini telah berhasil mengelabuhi siapapun bahwa aku adalah seorang pramunikmat atawa pelayan kenikmatan.
Iya, tepat sekali. Bisa dikata aku adalah seorang yang menjual jasa kehangatan dan kenikmatan. Sebelas dua belas dengan dokter yang menjual jasa pelayanan kesehatan atau seorang guru yang menjual jasa pengajaran.
Mungkin, istilah pembanding tersebut terlalu berlebihan. Sangat timpang dan tidak etis sama sekali. Baiklah kalian boleh menyebutku sebagai penjaja seks komersial, pebisnis lendir dan selangkangan, atau pelacur sekalipun. Oh, ya, orang-orang di sekitarku sering menyebutnya sebagai lonte.
Apapun itu aku tidak peduli. Toh, tidak ada satu pun yang peduli padaku saat aku tak bisa makan, tak bisa membeli pakaian dan tidak mendapat tempat tinggal serta kehidupan dunia yang layak. Tak ada seorang pun yang berbaik hati untuk menolong atau setidaknya peduli terhadap kesusahan orang lain.
Dongeng tentang keberadaan orang baik di kehidupan ini hanya omong kosong belaka. Mana ada orang baik di zaman kapitalistik seperti sekarang ini dengan merebaknya sikap individualistik yang diagung-agungkan itu?
Apalagi saat orang-orang tahu bahwa diriku adalah seorang pelacur, masih adakah yang peduli kepadaku dan mengulurkan tangannya untuk membantuku? Aku 100 persen yakin bahwa yang ada adalah orang-orang yang sok suci. Dan, dengan kesuciannya itu mereka mengolok-olok, mengejek, mencibir, sekaligus merendahkan orang macam diriku ini dan menyematkan stigma negatif sebagai sampah masyarakat.
Hmmm, tak apalah menjadi sampah di masyarakat yang suka nyampah.
Begitulah ketidak-pedulian telah menjangkiti manusia-manusia pasca-moderen. Bagaimana caraku agar tetap bisa bertahan? Aku ikut-ikutan tidak peduli kepada apapun dan siapapun, meski dalam segi tertentu aku masih memiliki sedikit rasa peduli. Mengapa bisa begitu? Aku tak tahu. Aku hanya merasa bahwa kepedulian adalah bagian dari sikap manusiawi.
Entahlah, ilmu yang kudapat di kampus sesekali membuat ku berpikir filosofis seperti itu, meski hanya di permukaan alias tidak mendalam. Namun, secara praktis, ilmu yang diajarkan di kampus lebih banyak tak ada gunanya. Mungkin, karena aku tak pernah merasa mementingkannya. Bukankah kalian sudah kuberi tahu bahwa kuliahku hanya kamuflase belaka, kedok semata.
Kedokku berikutnya adalah hijab. Iya, selembar kain yang menutup bagian kepala dan menyisakan wajah yang masih terbuka itu. Aku berpakaian tertutup dan berhijab seperti ini karena masyarakat di sekitarku sedang sangat gandrung dalam beragama. Mereka mengukur tingkat kesalehan seseorang dari apa yang dikenakannya. Saat menjumpai orang yang tak berpakaian seperti mereka, langsung, deh, mendapat cap buruk.
Untuk itu, kalian kuberi tahu satu hal. Jangan pernah percaya dengan penampilan seseorang. Bisa jadi apa yang ditampilkan secara lahiriah berbeda sekali dengan batiniahnya. Cermat dan telitilah. Bungkus tidak serta merta mencerminkan isi. Seperti aku ini. Tubuhku dibalut oleh pakaian yang agamis tapi hal itu tidak mencerminkannya sedikit pun. Aku justru terjerembab dalam lubang gelap prostitusi.
Oh, ya, aku tinggal di sebuah kos eksklusif yang berjarak belasan kilometer dari kampus. Sedangkan kota kelahiranku, tempat bapak, ibu, dan saudaraku tinggal, berjarak hampir seratus kilometer di sebelah timur laut. Tidak ada sanak famili di kota ini.
Dengan begitu aku bisa merayakan kebebasanku. Kalian tahu kan apa yang aku maksudkan dengan kebebasan? Yaitu saat aturan, perintah, batasan dan kekangan yang diberikan oleh orang tua selama ini bisa dengan mudah dikecualikan. Tak perlu memusingkan lagi perkataan orang tua dengan kecerewetannya itu yang apa-apa harus ini, tidak boleh itu, harus begini dan dilarang begitu. Itulah yang namanya kebebasan.
Tempat kos yang aku tinggali saat ini sangat bersih, nyaman, dan dihuni oleh orang-orang yang tak peduli satu sama lain. Tentu ini menjadi keuntungan berarti bagi diriku.
Untuk menjangkau kampus, aku sengaja menggunakan sepeda motor matic hitam dengan striping berwarna merah. Bukan apa-apa. Aku bisa saja menggunakan city car, namun hal itu akan membuatku mencolok.
Aku tak mau menjadi pusat perhatian karena hanya akan membuat orang-orang gampang menaruh curiga dan sangka sekaligus memancing keingin-tahuan yang menggebu. Tentu aku tak mau penyamaranku mudah terbongkar.
Biarlah aku tetap terlihat seperti mahasiswi biasa dengan pesona dan daya pikat yang luar biasa. Hehehehe. Sering kali sifat narsisku muncul. Maafkan, ya...
Padahal aku sering terlihat sebagai mahasiswi unyu-unyu dengan keluguan dan kepolosannya. Sama seperti mahasiswi lainnya.
Aku tak memiliki sahabat. Hanya ada seorang teman yang sering kuajak bersenang-senang sewajarnya ala mahasiswi biasa. Dia bernama Dina. Makan, jalan-jalan, dan nonton bioskop adalah aktivitas yang sering kami lakukan berdua.
Meski kami terlihat runtang-runtung berdua kemana-mana, aku tidak bisa menyebut Dina sebagai seorang sahabat. Meski aku banyak tahu tentang dirinya, tapi dirinya tidak banyak tahu tentang diriku. Aku tak banyak cerita kepada Dina tentangku. Bahkan sekalipun aku tidak pernah mengajak Dina ke kosku, meski aku sering berkunjung ke kosnya.
Aku tidak begitu percaya kepada orang lain. Maka, aku pun tak menjalin hubungan sosial dengan siapapun secara baik. Khusus kepada Dina adalah sedikit pengecualian. Dia sering membantu ku dalam menyelesaikan tugas-tugas kuliah. Atas dasar itu, aku menjalin pertemanan dengan Dina. Iya, semacam simbiosis mutualisme antara kerbau dan burung jalak.
Hmmm, tapi akhir-akhir ini aku merasa pertemananku dengan Dina semacam simbiosis komensalisme. Aku mendapat keuntungan dari Dina dan Dina tak apa-apa, juga tidak mengharap keuntungan apapun dariku.
Ya, bagitulah sedikit cerita tentangku. Aku akan berusaha bercerita kepada kalian. Bukan untuk mengharap kepedulian dari kalian, apalagi belas kasihan. Aku hanya bercerita agar aku lega. Bisa berkata apa adanya. Karena aku terlampau sering berdusta.
Dan, supaya aku bisa mengartikan makna kejujuran, khususnya jujur kepada diri sendiri. Agar aku bisa memaknai hidupku ini dan kembali dapat merasakan kebahagiaan sejati yang bukan sekedar kesenangan.
Mungkin kalian bertanya mengapa aku bisa menjalani kehidupan hina ini? Ceritanya panjang, tapi aku akan menjawab pendek. Aku menikmatinya.
Itulah kejujuran pertamaku untuk kalian. Semoga kalian menjadi tahu bahwa dunia yang bercahaya gemerlap itu, juga diisi oleh kegelapan.
Namaku Cahaya dan kalian bisa menggunakan layananku kapan saja. Asal ...