Keesokan harinya jam 10 pagi kami berangkat menggunakan mobil tanpa persiapan matang. Kami hanya membawa beberapa pasang pakaian, handuk, dan kacamata hitam. Shampoo, sabun, dan lainnya bisa dibeli di kota tujuan.
Perjalanan memakan waktu sekitar 3 jam saja karena jalan lintas kota yang sepi. Kami langsung mencari hotel terdekat di area pantai, tapi tidak menemukannya. Perut yang lapar menuntun kami ke sebuah warung nasi. Aku melihat seorang wanita yang sedang membungkuk sambil menyapu menggunakan sapu lidi. Wanita itu adalah yang punya warung nasi ini, warna kulitnya cokelat, hanya mengenakan bra dan rok. Susunya yang besar bergoyang-goyang mengikuti gerakan tubuhnya.
Arlene melihatku memperhatikan susu itu, dia menyenggolku dengan sikutnya lalu berbisik, "Mau?" "Ssttt... nanti kedengeran," jawabku. Kami memesan makan lalu duduk di tempat lesehan. Ibu pemilik warung ikut duduk dan terlihat antusias menanyakan asal kami dan alasan datang ke daerah ini.
Alasan kami adalah ingin melihat pantai dan ini adalah pantai terdekat dari kota asal kami. Dia orang yang asik untuk diajak ngobrol dan suka bercanda, namanya adalah Bu Endah. Dalam beberapa menit saja, kami seperti sudah kenal lama. Dia sudah 8 tahun menjanda dan memiliki seorang anak berumur 12 tahun.
Aku: "Bu, di dekat sini ada hotel nggak?"
Bu Endah: "Jauh dek, hotel terdekat sekitar 6 km"
Aku: "Aduh malas juga kalau jauh, bingung parkirnya saat ke pantai,"
Bu Endah: "Iya disini jarang pengunjung soalnya,"
"Tapi ada beberapa warga yang menyewakan kamar,"
"Di sini juga bisa, kamu berdua tidur di kamar ibu,"
"Ibu nanti tidur di kamar anak,"
"Tapi kotor dan berantakan, berbeda sama hotel."
Arlene: "Disini saja beb, lebih dekat ke pantai,"
"Lagian cuma semalam doang."
Aku: "Ya sudah bu, kami menginap disini saja."
Bu Endah memberikan tarif 200rb per malam plus makan gratis dari warung nasinya dan kami menyutujuinya. Kami langsung menaruh barang bawaan kami di kamar Bu Endah, Arlene berganti baju mengenakan kaos oversize untuk menutupi bikininya, sedangkan aku hanya mengenakan celana pendek. Kami langsung berjalan kaki menuju ke pantai yang berjarak 700 meter.
Pantai ini terlihat kotor dengan pasir berwarna gelap membuatnya kurang menarik untuk dijadikan tempat wisata. Banyak perahu kecil yang sedang disandarkan dan banyak nelayan yang sedang bekerja sama menarik tali jala yang sangat panjang dan berat. Arlene membuka kaosnya, aku mengalungkan kaos itu di leherku, lalu kami bermain air. Semua mata bapak-bapak yang lewat tertuju ke tubuh Arlene. Kami tidak menemukan spot yang sepi jadi kami tidak mungkin bercinta disini.
Tiba-tiba ada seorang nelayan yang menawarkanku untuk menyewa perahunya seharga 150 rb. Dia bilang kalau pantai disini jelek, tapi ada satu pantai kecil tersembunyi di bagian paling ujung kanan yang jarang dikunjungi dan indah, berpasir putih, airnya biru dan banyak terumbu karang. Lokasinya sekitar 3 km dari pantai ini dan hanya ada dua akses ke sana, yang pertama adalah berjalan kaki melewati hutan, dan yang lebih mudah adalah dengan perahu.
Tentu saja aku tidak langsung percaya mendengarnya, apalagi ini orang asing yang sepanjang mengobrol tidak berhenti melihat tubuh Arlene. Aku menyuruh pacarku untuk kembali ke rumah Bu Endah dan menunggu selagi aku mengecek pantai itu. Bu Endah bilang kalau pantai itu benar adanya, tapi aku mau memastikannya.
Aku berjalan masuk ke hutan itu tanpa tahu akan berakhir dimana. Di dalamnya sangat teduh dan sejuk karena pepohonan yang besar menghalangi sinar matahari. Aku mengikuti jalur tanah selebar 30 cm yang tidak ditumbuhi rerumputan. Banyak jejak kaki menandakan kalau jalur itu sering dilalui orang dan aku tidak akan tersesat. Sampai akhirnya aku keluar di pantai kecil berpasir putih yang indah. Lebar pantai ini paling hanya 1 km, daratannya berbentuk setengah lingkaran yang dikelilingi hutan.
Arlene tidak akan mau jalan kaki di hutan seperti ini, jadinya aku menjemputnya dan kami menemui bapak itu untuk mengantarkan kami menggunakan perahu mancing bermotornya. Sama sepertiku, bapak itu juga sepertinya tidak percaya dengan orang asing dan menyuruh seorang temannya menemaninya. Kami berempat naik perahu dan menuju pantai kecil itu.
Setelah sampai, dia meminta bayaran dan bertanya apakah mau ditinggal atau ditunggu? Aku menyuruhnya menunggu saja, daripada ditinggal lau dia tidak menjemput lagi. Aku juga bilang akan membayarnya nanti setelah kembali ke pantai nelayan. Dia menyetujuinya lalu menyandarkan perahunya.
Aku dan Arlene pergi sejauh mungkin dari mereka. Aku menyuruhnya membuka kaos dan bikininya lalu kami berdua berenang telanjang. Langit sangat cerah, air pantai berwarna biru dan jernih, di bawahnya banyak terumbu karang yang indah. Sesekali kami bercanda saling menggelitik satu sama lain di dalam air.
Setelah puas berenang, kami duduk di pinggir pantai sambil mengobrol. Dia tahu apa yang aku inginkan dan mengijinkanku kalau aku mau bercinta dengan Bu Endah. "Kamu serius beb? Nggak ah, nanti marah," ucapku tidak percaya. Arlene duduk di pahaku sambil memelukku, "Serius beb, aku nggak akan marah. Tapi seks doang jangan pakai hati." "Nggak mungkin pakai hati beb, masa aku pacaran sama yang tua," jawabku.
Kulit Arlene yang sawo matang menjadi terlihat putih di bawah teriknya sinar matahari. Rambutnya diikat ke belakang, terlihat keringat di leher dan tubuhnya. Aku mulai meremas susunya yang bulat lalu mencumbunya. Dia naik ke atas selangkanganku lalu mulai memompa penisku yang sudah tegang. Kami berganti posisi beberapa kali sampai akhirnya orgasme.
Kami tiduran terlentang di atas pasir. Bercinta di pantai seperti ini terasa bebas menyatu dengan alam. Aku sampai lupa kalau kita tidak hanya berdua dan meloleh ke kedua orang nelayan itu. Dari kejauhan mereka terlihat duduk menghadap ke arah kami dan sepertinya dari tadi memperhatikan. "Bapak-bapak itu gagah ya beb, kekar berotot dan kulitnya gelap," ucap Arlene. "Cobain saja beb kalau kamu penasaran. Aku panggil mereka kalau kamu mau." "Boleh beb? Panggil beb," jawabnya.
Aku melambaikan tangan memanggil kedua orang itu. Mereka datang dan tidak berhenti melihat tubuh Arlene yang sedang berbaring terlentang. Aku menjelaskan apa yang pacarku inginkan, dan mereka terkejut mendengarnya. "Serius ini dek? Bapak belum pernah dapat cewek secantik ini." "Badannya montok masih kencang, saya mau," sahut temannya.
Mereka menurunkan celana dan celana dalam lalu memastikan lagi beberapa kali, "Benar boleh dek?" "Serius kan?" "Benar pak, tapi jangan keluar di dalam, dan saya nggak bisa tinggalin, nanti takut pacar saya kenapa-napa," jawabku. Mereka terdiam kebingungan sambil melihat tubuh Arlene. "Saya akan diam saja pak, nggak akan ganggu," lanjutku. "Nggak apa-apa pak, aku yang mau," ucap Arlene. Mereka hanya diam. "Beb, mendingan kamu yang mulai deh, mereka grogi kayaknya," ucapku sambil bergeser sekitar satu meter.
Arlene mulai berlutut di depan salah satu bapak. Dia mulai mengecek penis itu apakah ada penyakit atau tidak, lalu mulai menghisapnya. Setelah beberapa saat, dia berganti menghisap penis teman bapak itu. Umur mereka 40an tapi tubuh mereka masih kekar berotot, hasil dari sering menarik jala dan mendorong perahu. Aku yakin ini pertama kalinya mereka mendapatkan cewek seperti Arlene, aku tahu benar apa yang mereka rasakan, grogi, antusias, dan nafsu. Baru dihisap sebentar, bapak itu menyuruh pacarku berhenti, "Tahan dulu neng, sudah mau keluar." Dia berganti tempat dengan temannya.
Penis temannya yang berwarna lebih gelap dihisap Arlene. Aku sudah terbiasa dengan tatapan pria-pria yang melihat ke baju seksi pacarku. Tapi kali ini berbeda, pacarku sedang telanjang sambil menghisap penis orang lain dan sebentar lagi dia akan bercinta dengan mereka. Ada perasaan tidak rela dan ingin rasanya menyudahi semua ini. Tapi aku juga ingin kebebasan untuk bercinta dengan STW dan aku tidak bisa egois.
Arlene menghentikan hisapannya lalu meludah beberapa kali. Ternyata bapak itu sudah keluar di mulutnya. Bapak itu mengurut penisnya mengeluarkan sisa-sisa sperma sambil tangan kirinya meremas-remas susu pacarku lalu bergeser digantikan temannya.
Arlene membalikan tubuhnya lalu merenggangkan kedua kakinya. Bapak itu langsung memasukan penisnya ke vagina pacarku. Dia langsung menggenjotnya dengan sangat cepat dan kasar. Kulitnya yang sangat gelap terlihat kontras dengan Arlene. Tubuh pacarku tersentak-sentak ke depan, kedua susunya yang menggantung bergoyang-goyang.
"Jangan keluar di dalam pak," ucapku mengingatkan. Dia hanya mengangguk sambil tidak berhenti menghajar pacarku.
Tidak lama kemudian dia mencabut penisnya lalu crot dengan kencang di punggung pacarku sampai muncratan pertamanya mengenai bagian rambut pacarku yang diikat. Arlene mau membalik tubuhnya tapi bapak yang sudah crot saat dihisap tadi menahan lalu mulai memasukan penisnya. Sama seperti temannya, dia menggenjot Arlene dengan kasar.
Rasa tidak rela di hatiku sudah hilang, ternyata melihat Arlene diewe orang lain membuatku bernafsu. Aku mendekat lalu memasukan penisku ke mulut Arlene. Dia menghisap penisku dengan susah payah karena kepalanya bergerak maju mundur mengikuti gerakan tubuhnya yang sedang disodok.
Akhirnya bapak itu crot juga di punggung Arlene. Arlene membalikan tubuhnya dan tidur terlentang kelelahan sambil beberapa kali menarik napas panjang. Kedua bapak itu duduk dengan raut wajah masih kebingungan, tidak percaya dengan apa yang terjadi, penis mereka sudah lemas. Aku belum crot saat dihisap tadi dan masih terbakar nafsu tapi kasihan melihat Arlene yang kelelahan.
Arlene melihat ke arah penisku dan dia mengerti apa yang kurasakan, "Ayo beb, aku bantu keluarin." "Nggak usah beb, kasihan kamu capek," jawabku. Dia tidak membalasnya dan langsung menarik lenganku, menyuruhku menggagahinya. Aku mulai memasukan penisku dan menggenjotnya perlahan sambil terus menaikan ritme menjadi semakin cepat. Kedua tanganku meremas-remas susunya, memilin-milin putingnya.
Bapak yang satu mencoba mencium bibir Arlene tapi Arlene tidak mau dan menghindar. Ada perasaan lega melihatnya, berarti pacarku hanya ingin memuaskan fantasi saja, dia punya batasan dan tidak pakai hati. Aku menghentikan remasanku untuk memberikan kedua bapak itu kesempatan. Mereka meremas-remas kedua susu Arlene dan tidak berhenti menggerayangi tubuhnya.
Aku terus menggenjotnya sampai crot di perutnya. Kami semua berpakaian setelah membersihkan diri menggunakan air laut. Kedua bapak itu berterima kasih beberapa kali, mereka merasa beruntung bisa bercinta dengan cewek secantik Arlene. Mereka pergi meninggalkan kami berdua untuk menyiapkan perahunya.
"Mau lagi sama mereka nggak?" tanyaku. Arlene memelukku dengan erat, "Nggak ah, sudah nggak penasaran, lagi pula lebih enak sama kamu, mereka mainnya ngasal." Kami berempat kembali ke pantai nelayan.
Mereka sempat menanyakan dimana kami menginap dan aku bilang di hotel yang jauh. Arlene sudah tidak mau dan ini demi keselamatan dia juga, takutnya bapak itu datang bersama 10 orang temannya yang aku tidak tahu mereka orang baik atau jahat. Bapak itu sempat menolak uangku, tapi aku memaksanya.
Sesampai di warung nasi, Bu Endah menanyakan kabar kami dan kami bilang hanya berenang melihat terumbu karang. Aku dan Arlene memutuskan untuk jalan-jalan keliling kota, ke taman, mencoba berbagai jajanan daerah, sampai tidak terasa sudah jam 8 malam saat kembali ke rumah Bu Endah. Warung nasinya sudah tutup.
Anaknya sudah tidur, dan dia membuka pintu, "Aduh ibu lupa ada yang akan menginap." Dia mematikan TV di tempat lesehan lalu mengantar kami ke kamarnya. Kali ini dia hanya mengenakan bra dan celana dalam. "Maaf ya ibu telanjang begini, ibu biasa kalau malam begini doang," ucapnya sambil merapihkan bantal. Celana dalamnya berloreng hitam seperti macan yang membuatku penasaran dengan isinya.
Tadi Arlene sudah mendapatkan apa yang dia mau, sekarang giliranku...