●●●●●
5. Mendayung Kenikmatan Bersama Nenek
NENEK pulang dari taman ngumpul dengan teman-teman sebayanya sebulan sekali.
"Bagaimana tadi ngumpul-ngumpulnya, Nek? Seneng nggak, Nek?" tanyaku.
Taman itu ramai pada hari Sabtu dan Minggu, khususnya di pagi hari para pengunjung berolahraga di sekitar taman atau duduk dengan keluarga kulineran.
Pada hari biasa tidak begitu ramai. Mungkin Nenek dengan teman-temanya sengaja memilih hari yang tidak begitu ramai untuk ngumpul di taman itu supaya bisa ngobrol dengan santai sambil bercerita tentang masa lalu mereka yang kesemuanya adalah wanita berjumlah sekitar 15 orang.
"Nenek harus ke dokter kali, Jal..." jawab Nenek.
"Kenapa Nek, pulang dari taman kok ke dokter? Apa Nenek sakit?" tanyaku bingung.
"Paha Nenek gatel sekali Jal, digigit binatang apa kali... soalnya tadi kita duduk di rumput nggak pakai tikar. Ada 2 temen Nenek yang seperti Nenek juga, Jal... gatel-gatel di paha..."
"Coba Ijal lihat, Nek." kataku.
"Nenek tukar pakaian dulu ya Jal..." kata Nenek masuk ke kamarnya.
Tak lama kemudian Nenek memanggil aku dari kamarnya. "Sini, Jal."
Aku pergi ke kamar Nenek membuka pintu kamarnya. Nenek sedang duduk di tempat tidur memakai daster selutut, sedangkan di samping Nenek tergeletak baju yang tadi dipakainya. Kulihat juga BH dan CELANA DALAM Nenek.
Kusimpan di dalam hati apa yang kulihat. Nenek lalu menaikkan dasternya sampai ke ujung pahanya. Darahku berdesir sewaktu melihat paha Nenek yang putih masih mulus belum keriput meskipun Nenek sudah berusia 66 tahun, apalagi aku tahu Nenek sedang tidak memakai celana dalam saat itu.
"Ini, coba kamu lihat digigit binatang... apa bukan?" kata Nenek padaku sambil memegangi dasternya yang berkumpul menjadi satu di daerah selangkangannya yang saya yakin, selangkangan Nenek pasti telanjang. Maka itu ditutupinya rapat-rapat dengan dasternya.
Terlihat olehku di ujung paha Nenek bagian dalam; kulitnya memerah cukup tebal dan meluas.
"Iya kali Nek, digigit serangga..." jawabku dengan jantung berdebar. "Tapi coba Nenek baring deh biar kelihatan lebih jelas." kataku.
Nenekpun merebahkan tubuhnya berbaring di tempat tidur. "Coba Nenek miring, Ijal mau lihat yang di bagian belakang." kataku.
Setelah Nenek sudah berbaring miring, aku bebas menaikkan daster Nenek setinggi yang aku mau, sehingga saat itu selain aku bisa memandang seluruh paha Nenek, aku juga bisa memegang-megang pantat Nenek yang telanjang seolah-olah memeriksa pantatnya, padahal bukan, aku memang sengaja ingin memegang pantat Nenek yang masih kencang plus mulus dan putih.
"Naikkan kakinya, Nek." suruhku membantu Nenek menekuk satu kakinya berdiri di kasur, sehingga dengan demikian, wowww...
Terlihatlah olehku anus Nenek yang berwarna kehitaman berkerut-kerut mengelilingi liang anusnya yang bergerak kembang kempis serta memek Nenek yang sudah layu dan dari memek itu lahir Mami 44 tahun yang lalu, kemudian ketiga adik Mami, yaitu 1 tanteku dan 2 omku.
Sebenarnya aku bukan ingin memeriksa tempat gatal-gatal Nenek, karena tempat gatal Nenek hanya disatu tempat itu saja, tetapi memang aku sengaja ingin melihat memek Nenek. Kesempatan emas, kenapa tidak kumanfaatkan?
Aku senter dengan lampu senter handphoneku dan aku juga memotret selangkangan Nenek yang telanjang itu. Setelah puas, aku baru menurunkan kaki Nenek. "Nggak usah ke dokter ya Nek..." kataku. "Ijal belikan salep untuk gatel-gatel saja di apotik."
"Ya sudah sana." jawab Nenek.
Aku usahakan diriku biasa-biasa saja jangan sampai membuat Nenek curiga. Demikian juga setelah aku membelikan salep gatal-gatal untuknya, aku membantu Nenek mengoleskan salep itu pagi dan sore seusai Nenek mandi.
Kadang-kadang Nenek memakai celana dalam, kadang-kadang tidak sehingga aku bisa memuaskan mataku melihat memek Nenek saat aku mengoleskan salep ke tempat gatalnya.
Nenek kulihat sama sekali tidak malu, mungkin karena terpaksa, atau aku ini cucunya yang mengobatinya, tetapi di dalam diriku, jantungku berdebar-debar, dan penisku sangat tegang.
Setelah 3 hari, pagi itu Nenek keluar dari kamar mandi, Nenek berkata padaku, "Jal, merah-merah di paha Nenek sudah lenyap dan sudah nggak gatel lagi." kata Nenek senang.
Aku juga senang, tetapi birahiku yang bergelora sejak aku mengenal memek Nenek belum terselesaikan, kecuali aku puaskan diriku dengan masturbasi sambil mencium bau celana dalam Nenek atau sambil berkhayal memandang foto-foto memek Nenek di hapeku.
Apakah Nenek tau aku membuang air mani di celana dalamnya sehabis aku masturbasi, aku tidak tahu!
"Coba Ijal lihat, Nek." kataku.
Seperti biasa aku mengoles salep di tempat gatalnya, Nenek berbaring di tempat tidur menyingkapkan handuknya. Nenek saat itu tidak memakai celana dalam, lalu aku periksa pahanya dengan mengabaikan memeknya yang telanjang.
"Bener Nek, sudah bersih dan mulus." kataku. "He..he.." aku tertawa senang.
"Selama ini mamimu tau nggak paha Nenek gatel diobati sama kamu?" tanya Nenek.
"Nggak sih, Ijal nggak ngomong kok." jawabku. Setelah itu dengan berani aku pegang memek Nenek dengan tanganku. "Berhubung paha Nenek sudah sembuh, ini buat Ijal ya, Nek..." kataku.
"Jangan, nggak boleh Jal, ini nenekmu. Nenek yang melahirkan mamimu, dan lagi pula sudah lama itu nggak dipakai, nanti sakit kalo dimasukin... bisa luka, apalagi kamu anak muda, pasti keras..." jawab Nenek.
Aku tidak menyerah begitu saja, aku harus mendapatkannya, tegasku dalam hati.
"Ah... Nenek...! Nenek kan sudah gak bisa hamil... ayolah, Nek..." rayuku sambil mengelus-elus lembut paha Nenek dengan telapak tangan. "Ijal akan masukin pelan-pelan..."
"Jangan Jal, nanti kalau ketahuan sama mamimu, mamimu bisa marah sama Nenek ngajarin kamu yang nggak-nggak..." jawab Nenek.
"Kalau Nenek nggak ngomong, dan Ijal juga nggak ngomong, mana Mami tau sih, Nek?" balasku menunduk mencium memek Nenek dan rambut kemaluannya yang cuma tumbuh sejumput di bagian atas gundukannya.
Wangi sabun mandi di daerah itu.
"Nenek ngomong, jangan ya jangan, Jal. Nanti kualat... Nenek sudah tua..."
Sambil berkata begitu paha Nenek posisinya bukan tetap tertutup, tetapi pelan-pelan dibukanya melebar.
Allaaa.... Nenek, kataku dalam hati. Nenek juga pengen, tapi gengsi mengucapkannya.
Maka itu segera kulepaskan celana pendekku dan Nenek melongo melihat penisku yang ngaceng berdiri keras menunjuk, sehingga Nenek tidak sempat lagi menghentikan kenekatanku naik ke tempat tidur membuka lebar pahanya dan menghunus penisku langsung ke memeknya yang layu tertutup rapat oleh bibir memeknya.
Malahan Nenek memegang batang penisku dan menggosok-gosokkan kepala penisku ke belahan memeknya sebelum dimasukkan ke lubangnya yang sudah kelihatan terbuka menganga.
Setelah itu Nenek menyumbatkan kepala penisku ke lubang memeknya, lalu kudorong pantatku ke depan.
Upss... kepala penisku seperti terbentur sesuatu.
"Susah masuknya, Nek." kataku.
"Ya kan?" jawab Nenek. "Sudah deh, jangan... nanti malah bikin memek Nenek sakit dan luka, bukannya enak..."
Tidak kuhiraukan kata-kata Nenek. Kusingkirkan penisku dari lubang memek Nenek, lalu kutunduk menjulurkan lidahku menjilat memek Nenek.
"Shiiittss... ohhh, Rijalll... geli setengah matiiii.... tapi enak... uffff... ahhh... ohh, Jaa...all..." seru Nenek.
Lidahku yang basah oleh ludahku kudorong masuk ke lubang memek Nenek. Memek Nenek tercium sedikit berbau amis. Tak kupedulikan, aku ingin menaklukkan Nenek.
Kudorong dalam-dalam lidahku menjilat rahimnya. Nenek menggelinjang, pinggulnya meliuk-liuk sembari mendesah, "Ohhh... Jall... ohh... Rijal...."
Kukeluarkan lidahku dari lubangnya, kemudian kusantap kelentit Nenek yang sebesar kacang tanah. Kujilat kelentit Nenek, kuhisap dan kusedot-sedot biji itu sehingga membuat pinggul Nenek semakin meliuk-liuk tidak teratur. Suara desahan Nenek berubah menjadi jeritan tertahan.
"Sudah Jall... sudd...dahh... sudd..dahh... sudd...dahh... cepat masukin..." kata Nenek tak sabar dengan napas tersengal-sengal.
Sekarang penisku tanpa dipegang oleh Nenek, kudorong sendiri ke lubang memek Nenek yang sudah mekar terbuka akibat Nenek yang sudah terangsang hebat. Srettt... sreettt... srrettt... bleesssssssss....
Nah.... penisku yang panjang dan besar itu tertelan lubang memek Nenek. Aku berhasil. Penisku menyatu dengan lubang memek Nenek.
Entah bagaimana perasaan Nenek memeknya dimasuki penis cucunya sendiri.
"Enak Jal kontolmu, memek Nenek rasanya penuh sekali..." kata Nenek.
"Iyalah, Nek." jawabku.
Lubang memek Nenek rasanya seret dan sempit sehingga sangat mencengkeram batang penisku. Sewaktu aku menarik penisku, seperti ada daya hisap dari dalam, tapi lama-lama gerakan maju-mundurku menjadi lancar ketika lubang memek Nenek sudah bisa menyesuaikan diri dengan penisku.
Apalagi kemudian Nenek juga ikut menggoyang-goyang pinggulnya sembari meracau. Persetubuhan sedarah kami jadi semakin nikmat saja.
Tidak sampai 15 menit aku menggenjot lubang memek Nenek, rasanya penisku sudah geli-geli gatal ingin mengeluarkan sesuatu.
Kugenjot terus lubang memek Nenek dengan irama lebih cepat, dan akhirnya...
[ sherrrrr.... choootttt.... chootttttttt.... croootttt... crootttt.... croottttt.... croottttt.... ]
Air maniku yang hangat dan kental menembak sangat kuat dan kencang ke rahim Nenek sampai mulut Nenek ternganga dan matanya terbelalak hanya kelihatan putihnya saja.
[ croootttt... crootttt.... croottttt.... croottttt.... croootttt... crootttt.... croottttt.... croottttt.... ]
Kucium bibir Nenek yang pucat. Setelah itu aku terkulai lemas, tapi nikmatnya luar biasa menerobos sampai ke tulang sumsumku.
Pantesan laki-laki menyukainya. Tapi aku sedikit menyesal juga. Kenapa nenekku yang sudah tua ini kucabuli?
"Bagaimana perasaannya, Nek?" tanyaku.
"Jangan sampai mamimu tau, ya. Enak kok, nggak sakit..." jawab Nenek.
Aku jadi berubah pikiran mendengar jawaban Nenek. Dari menyesal, aku kembali nafsu pada Nenek.
"Asyik ya Nek? Kenapa tadi Nenek nolak..." kataku. "Sekarang Nenek jadi kecanduan deh dengan kontolnya Ijal ya kan, hi.. hi.... Ijal mencintai Nenek. Nenek jadi istri Ijal ya, Nek... Nenek cantik... memek Nenek masih kenyal, harus terus dipakai, Nek... biar Nenek awet muda..."
"Iya Jul, Nenek menurut saja apa kata-katamu, asalkan kamu jangan ngomong dengan siapa-siapa ya..."
Karena penisku tadi sudah mau lembek tegang lagi di dalam lubang memek Nenek yang hangat dan basah, aku genjot lagi lubang memek Nenek.
"Ohhh... Jaa..aalll... jangan Jal, sudah... minta ampuu...unn... nih anak, kuat banget...." kata Nenek.
Tidak kupedulikan Nenek. Kubuka handuknya. Tetek Nenek kini terhampar di depan mataku bersama seluruh tubuhnya yang telanjang. Aku juga melepaskan kaosku, telanjang bersama Nenek.
Kami saling berpelukan hanya dibatasi oleh kulit di tubuh kami masing-masing. Kami terbang melayang tinggi bersama-sama merengkuh kenikmatan.
Kulumat bibir Nenek sambil tanganku meremas teteknya yang masih kenyal berisi.
Tak lama kemudian, kubalik Nenek ke atas. "Ohh... Jal, Nenek malu ah..." kata Nenek, tapi didudukinya juga penisku, lalu penisku menikam-nikam lubang memek Nenek dari bawah.
Nenek mulai mengimbangiku. Ia menaik-turunkan tubuh telanjangnya dan pantatnya bergoyang maju-mundur. "Sesstt... oohh... Jalll... nikmat banget, Jalll... ohhh... ohhh..." rintih Nenek memejamkan matanya.
Penisku seperti diurut-urut dan digoyang-goyang oleh lubang memek Nenek. Sekitar 10 menit, kubalik Nenek ke bawah lagi.
Kucabut penisku dan meminta Nenek nungging. Nenek melakukannya untukku, lalu kumasukkan penisku ke lubang memek Nenek dari belakang. Sambil memegang pinggul Nenek, kugenjot lubang memeknya.
Tak berapa lama lantas kucabut penisku dan kuletakkan penisku di depan lubang anus Nenek. "Ohhh... Jalll... shiittss... ohhh... Nenek jadi pengen berak, Jaaa..aallll... oohhh... ohhh... kamu masukin ke situ...."
Kuayunkan penisku perlahan keluar-masuk di lubang anus Nenek yang sempit sembari kutekan-tekan masuk semakin dalam. Ketika sudah lancar, aku kupompa lubang anus Nenek sampai air maniku keluar.
Aku dan Nenek terjerembab jatuh ke kasur dengan penisku masih tertancap di lubang anus Nenek dan peluh yang membasahi tubuh telanjang kami.
Sejak peristiwa itu persetubuhan aku dan Nenek bukan menjadi sesuatu yang tabu lagi. Nenek sudah tua, aku ingin Nenek menikmati masa tuanya karena cucunya mengingininya dan mencintainya.
Kami melakukan persetubuhan dengan berbagai gaya. Nenek sudah seperti menjadi istriku. Hampir setiap hari kami bercinta. Tubuh kami yang telanjang bukan lagi menjadi masalah.
Kuingin mendayung terus kenikmatan itu bersama nenekku karena nenekku juga sangat menikmati persetubuhan kami ini. Apalagi Papi dan Mami tidak pernah curiga, maupun para tetangga... (2023)